Satu bab baru dalam sejarah pemikiran Islam telah tercatat, pada 15 Juni 2019 lalu. Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud dilantik sebagai pemegang pertama Kursi Pemikiran Islam Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas di RZS-CASIS UTM. Alhamdulillah, saya sempat hadir dan menyaksikan langsung peristiwa bersejarah itu.
Wartapilihan.com, Kuala Lumpur— Yang terakhir itu – RZS-CASIS UTM – singkatan dari Raja Zarith Sofiah-Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization – Universiti Teknologi Malaysia. Yakni, satu institusi pendidikan tinggi setingkat S2 dan S3 di bawah naungan Universiti Teknologi Malaysia. Prof. Wan Mohd Nor sendiri adalah pendiri CASIS pada tahun 2011.
Pada 15 Juni malam itu, secara resmi nama CASIS berubah menjadi RZS-CASIS. Perubahan itu menandakan perhatian besar dari pemimpin tertinggi kampus UTM (Permaisuri Johor Raja Zarith Sofiah binti Almarhum Sultan Idris Shah) terhadap dunia pendidikan dan pemikiran Islam. Tidak banyak penguasa yang memiliki perhatian besar terhadap dunia pemikiran Islam yang tinggi, seperti pemikiran Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Malam itu saya menyaksikan suatu peristiwa yang tidak biasa. Ruangan berkapasitas 500 orang nyaris penuh dengan hadirin yang berasal dari berbagai negara. Sejumlah duta besar hadir, seperti duta besar Bosnia, Yaman, Irak, dan Palestina. Cendekiawan dari sejumlah negara pun tampak hadir.
Prof. al-Attas telah menyetujui pembentukan “Kursi Pemikiran Islam Syed Naquib al-Attas”. Semula ide ini datang dari Syaykh Hamza Yusuf, seorang muslim berpengaruh di USA. Prof. al-Attas menyetujui Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud sebagai orang pertama pemegang kursi pemikiran Islam tersebut.
Prof. SMN al-Attas menyebut Prof. Wan Mohd Nor sebagai ilmuwan sejati yang ikhlas, jujur, dan setia kepada guru serta memiliki akhlak yang terpuji. Selama berpuluh tahun, Prof. Wan Mohd Nor telah menemaninya sebagai sahabat dan mengembara ke lembaga-lembaga keilmuan di berbagai pelosok dunia.
Saat saya tiba di kampus UTM Kuala Lumpur, Permaisuri Johor yang juga Canselor UTM, Raja Zarith Sofiah, sedang menyampaikan pidato ilmiahnya. Ia menekankan peranan penting Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam membina kemajuan suatu bangsa dengan tetap memegang asas pemikiran Islam yang kokoh. Peranan itulah yang kini diamanahkan kepada Prof. Wan Mohd Nor, yang telah belajar dan mendampingi Prof al-Attas dalam lapangan ilmiah dan pribadi selama lebih dari 30 tahun.
Wan Mohd Nor
Perjalanan intelektual dan ruhani Prof. Wan Mohd Nor memang sangat menarik. Sempat mendalami Ilmu Biologi dan Kurikulum Pendidikan di AS, kemudian belajar pemikiran Islam kepada Prof. Fazlur Rahman di University of Chicago. Di Kampus inilah ia bersahabat karib dengan Amies Rais dan Syafii Maarif. Mereka bertiga dikenal sebagai ‘Trio Chicago’.
Tahun 1994, Amien Rais pernah menulis sebuah artikel di Harian Republika, berjudul “Kecemerlangan”. Artikel itu berkisah tentang pengalamannya menghadiri seminar di Malaysia awal September 1994. Di situ ia berjumpa dengan sahabat dekatnya, yakni Wan Mohd Nor, yang ditulisnya sebagai “sahabat akrab saya”.
Menurut Amien Rais, saat masih kuliah di Chicago, Wan Mohd Nor “masih belum apa-apa”. Bahkan, dibandingkan dengan Syafii Maarif dan Nurcholish Madjid, ilmu agamanya masih jauh ketinggalan. “Tapi, sekarang?” tulis Amien, “Jangan Tanya. Saya sangat bangga ketika ia menunjukkan beberapa bukunya yang diterbitkan oleh beberapa penerbit prestisius, antara lain dari London. Ia telah menjadi seorang intelektual yang andal, berilmu luas, dan sangat matang. Dari beberapa kali berbincangan dengan dia, saya merasakan keluasan ilmu dan kematangannya. Ia sekarang menjadi tangan kanan Prof. Naquib al-Attas, seorang pendekar Islam yang sangat terkemuka di Malaysia.”
Itulah penilaian dan kesan Amien Rais terhadap Wan Mohd Nor, 25 tahun lalu (1994). Padangan Amien terhadap sahabatnya itu bisa dibaca dalam buku berjudul “Rihlah Ilmiah Wan Mohd Nor Wan Daud: Dari Neomodernisme ke Islamisasi Ilmu Kontemporer.” (CASIS-UTM dan INSISTS, 2012).
Wan Mohd Nor mengakui, dua guru yang sangat berarti dalam perjalanan intelektualnya, adalah Prof. Dr. Fazlur Rahman dan Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Uniknya, kedua ilmuwan ini merupakan tokoh dari dua arus besar pemikiran dan studi Islam yang berkembang di Indonesia saat ini: yaitu neomodernisme dan Islamisasi Ilmu. Meskipun mengakui jasa-jasa besar Fazlur Rahman dalam pengembangan intelektual Islam, Wan Mohd Nor tak segan-segan memberikan kritik tajam kepada gurunya tersebut. Katanya, sikap kritis itu ditanamkan oleh Rahman sendiri.
Ia mengkritik secara tajam dan santun, metodologi Fazlur Rahman dalam memahami al-Quran yang menekankan aspek sosio-historis dengan pendekatan hermeneutika. Dalam bukunya The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), Wan Mohd Nor menulis satu judul sub bab, “Tafsir is not Hermeneutics”.
Kisah hijrah Wan Mohd Nor dari neo-modernisme ke Islamisasi ilmu itu menjadi sangat bermakna, sebab, hanya dialah satu-satunya ilmuwan Muslim di muka bumi ini yang sempat berguru secara intensif kepada Fazlur Rahman di tahap doktoral dan Naquib al-Attas di tahap pasca-doktoral. Perjalanan intelektual dan perjuangan Wan Mohd Nor kemudian memang berlabuh pada gagasan Islamisasi Ilmu. Bisa dikatakan, Wan Mohd Nor sekarang berada pada posisi garda depan dalam perjuangan Islamisasi Ilmu di dunia Islam. Banyak karyanya sudah diterjemahkan dalam pelbagai bahasa. Diantara karyanya yang terkenal ialah, “The Concept of Knowledge in Islam: Its Implications for Education in a Developing Country” (New York and London, 1989); “The Beacon on the Crest of a Hill” (ISTAC, 1991); “Penjelasan Budaya Ilmu” (Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990); edisi keduanya diterbitkan Pustaka Nasional Singapura, 2003; “The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas : An Exposition of the Original Concept of Islamization” (ISTAC, 1998).
Mengomentari buku The Educational Philosophy…”, Syafii Maarif menulis surat kepada Wan Mohd Nor: “This great and important work was only possible because its author is a very serious and prolific scholar. I am proud of you. Good luck and please never stop writing.” (Surat Syafii Maarif kepada Wan Mohd Nor, 6 Oktober 2001).
Syed Muhammad Naquib al-Attas
Situs ‘Berita Harian’ Malaysia, 25 Juni 2019, menurunkan artikel Latifah Arifin berjudul “Konsep adab mampu selesai masalah dunia Islam sejagat”.
Mengutip pernyataan Prof. Wan Mohd Nor, penulis mencatat bahwa, Prof. Naquib al-Attas adalah salah satu tokoh yang layak disebut sebagai ‘pembaru’ dalam Islam. Tokoh seperti ini bukanlah yang mengubah-ubah hukum dan prinsip Islam, tetapi justru melakukan rekonstruksi pemahaman terhadap ajaran Islam yang memperkuat ajaran Islam, sejalan dengan kandungan al-Quran dan hadits Nabi Muhammad saw.
“Ia antara lain bagi membantu umat Islam menghadapi pelbagai isu termasuk salah faham, manipulasi, kekeliruan dan gejala ekstremisme yang berlaku dengan melihat kesesuaiannya mengikut konteks serta keadaan semasa,” tulisnya.
Prof Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas (88 tahun) selama ini dikenal dengan sumbangannya dalam pelbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti metafisika, falsafah sains dan pendidikan, perbandingan agama, sastra, sejarah dan kebudayaan.
Tokoh muslim berpengaruh di AS, Syaykh Hamza Yusuf menulis dalam akun media sosialnya, bahwa Prof. Naquib al-Attas adalah pemikir besar yang memberikan pengaruh terbesar pada pemikirannya, dalam hal memahami krisis yang menimpa umat Islam dan cara untuk mengatasinya: “I have been Muslim now for 42 years, I can say with a great deal of conviction that Syed Naquib al-Attas is probably the greatest influence on my understanding on the crisis in the Muslim world and also, of what needs to be done in order to heal that crisis.”
Dalam pidato pengukuhannya sebagai pemegang Kursi Pemikiran Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prof. Wan Mohd Nor menyebutkan bahwa diantara gagasan utama dan terpenting yang disampaikan Prof al-Attas adalah konsep adab melalui pelbagai dimensi yang ditawarkannya kepada pemikiran modern dalam Islam.
Adab ialah konsep tradisi Islam yang diperkenalkan semula dan diuraikan secara sistematik oleh Prof. al-Attas. Adab juga dikaitkan dengan terma serta konsep Islam dalam ontologi, epistomologi, pendidikan, etika, mau pun ekologi.
Menurut Prof. Wan Mohd Nor, definisi adab menurut Prof al-Attas ialah pengiktirafan (pengakuan) terhadap realitas bahwa ilmu dan makhluk disusun secara hirarkis berdasarkan tahap dan kedudukan masing-masing. “Ia juga tempat paling sempurna bagi seseorang dalam perhubungan dengan realiti sama ada secara fizikal, intelektual, kapasiti kerohanian dan potensi seseorang,” katanya.
Setelah bertahun-tahun mengkaji, mengembangkan, dan menerapkan konsep adab Prof. Naquib al-Attas dalam dunia pendidikan, Prof. Wan Mohd Nor menegaskan, bahwa Prof al-Attas ini adalah seorang reformis dan pemikir besar yang mampu merumuskan ulang konsep adab secara dinamik. Sebab, beliau merumuskan konsep itu sebagai hasil aktivitas mental dan fisikal yang berkelanjutan dalam usahanya untuk menyelesaikan beberapa masalah sejarah dan konsep tertentu yang membelenggu ilmuwan dan masyarakat secara umumnya.
Demikian catatan singkat tentang Peristiwa Bersejarah pada 15 Juni 2019 lalu. Semoga peristiwa itu menjadi tonggak penting dalam upaya mewujudkan kejayaan Tamaddun Melayu-Indonesia, sebagai peradaban yang unggul dan menjadi rahmatan lil-alamiin. Aamiin. (Kuala Lumpur, 25 Juli 2019).
Penulis: Dr. Adian Husaini
(Direktur At-Taqwa College, PP at-Taqwa Depok)