Oleh: Herry M. Joesoef
Allah telah menjanjikan bahwa sedekah yang dikeluarkan oleh seseorang akan diganti dengan balasan yang berlipat-lipat, bahkan tak terbatas. Syaratnya hanya satu: ikhlas tanpa batas. Bagaimana jika penyedekah mengungkit-ungkit pemberiannya?
Wartapilihan.com, Jakarta –Dalam dua pekan terakhir, jagad selebiriti Indonesia diramaikan dengan adanya perseteruan antara seorang tante (seorang penyanyi tenar) dengan keponakannya (yang sedang merintis menjadi penyanyi). Perseteruan yang berawal dari sindir-menyindir di media sosial itu memanas ketika si tante mengungkit-ungkit pemberian yang pernah diberikan kepada keluarga penyanyi pendatang baru itu.
Si tante, dengan kemarahan yang amat, tak bisa menahan lisannya kecuali merinci apa-apa yang pernah ia berikan kepada keluarga keponakannya itu. Karena baik tante maupun keponakannya adalah muslimah, maka mari kita mengacu kepada tuntutan Ilahi ketika mengeluarkan sedekah atau membantu meringankan beban hidup seseorang atau sekelompok orang.
Sedekah adalah amalan mulia, dan mendapat ganti yang juga sangat mulia, sebagaimana dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir berisi seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 261)
Begitulah, sedekah itu ibarat sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, masing-masing bulir berisi seratus biji. Jika dihitung secara matematis, sedekah Rp 1 rupiah dibalas dengan kebaikan setara Rp 700, dan jumlah itu dilipatgandakan oleh Allah Subhanu wa Ta’ala sampai tak terbatas nilainya. Tentu saja kita tidak bisa menafsirkan ayat tersebut secara hitam-putih. Misalnya, sedekah Rp 1 juta akan diganti dengan Rp 700 juta. Mengapa? Karena pahala sedekah itu berupa kebaikan yang kita terima.
Pahala kebaikan itu tidak harus atau mesti dalam bentuk rupiah. Tapi bisa jadi berupa ketentraman, kenyamanan, dan kebahagiaan dalam hidup ini. Bisa juga berupa kesehatan, anak-anak yang sholeh-sholehah, tidak terlibat pemakaian narkba, istri yang menyenangkan suami, harta yang berkah, dan seterusnya.
Orang yang bersedekah itu menjadikan hartanya berkah. Adapun berkah itu berupa “terkumpulnya semua kebaikan bagi kehidupan seseorang”. Dan, keberkahan tak bisa diukur secara matematis, tapi bisa dirasakan secara spiritual.
Lalu, bagaimana jika penyedekah mengungkit-ngungkit pemberiannya? Coba kita simak ayat 264 dalam surah Al-Baqarah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Menyebut-nyebut pemberian itu bisa menjadi sebab orang yang diberi menjadi sakit hati. Tentang sedekah yang diikuti dengan riya dan sum’ah, Rasulullah Shallalhu ‘alaihi wa Sallam telah memperingatkannya, sebagaimana dinarasikan oleh Abu Hindun ad-Dari Radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ قَامَ مَقَامَ رِيَاءٍ وَسُـمْعَةٍ، رَاءَى اللهُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَسَـمَّعَ.
Barangsiapa yang berbuat karena riya’ (ingin dilihat) dan sum’ah (ingin didengar), maka Allah akan memperlihatkan dan memperdengarkan (niat) orang itu pada hari Kiamat. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Baihaqi)
Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, bersumber dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, “Barangsia yang memperdengarkan (amal kebaikannya supaya dipuji), niscaya Allah akan memperdengarkan (keburukan amalnya). Dan barangsiap yang riya'(memperlihatkan amal kebaikannya supaya dipuji), niscaya Allah akan memperlihatkan (keburukan amalnya).”
Adapun perbuatan riya’ dan sum’ah itu menjadikan ama-amal mereka bagaikan batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat yang menyebabkannya bersih dan licin kembali. Batu itu kembali gersang, tak bisa menumbuhkan pepohonan atau benih. Sebuah perumpaan yang begitu indah dipaparkan oleh Sang Maha Pencipta, bahwa amal-amal yang dilakukan dengan iringan riya’ dan sum’ah, akan sia-sia belaka. Tak ada pahala baginya, bahkan dosa yang diterimanya, kelak.
Karena itu, mari kita perbauiki semua amalan kita, termasuk sedekah di dalamnya, agar amalan kita tidak menjadi tekor dibuatnya. Semoga hari ini menjadikan hari Jum’at yang penuh berkah. Wallahu A’lam.