Penggunaan lensa kontak terus meningkat. Tetapi tingkat kesadaran dalam memakai dan memilih lensa kontak yang baik, masih rendah. Beberapa lensa kontak memiliki daya hantar oksigen rendah, sehingga bisa merusak kornea. Hasil disertasi Tri Rahayu.
Wartapilihan.com, Jakarta –Belakangan ini orang lebih suka memakai lensa kontak lunak (soft lens) ketimbang memakai kacamata biasa. Tujuan mereka tak lain untuk memperindah penampilan mereka. Mereka sepintas dipandang masih mempunyai mata yang normal, padahal mereka punya gangguan penglihatan. Selain itu, pandangannya menjadi lapang. Sebaliknya, pemakaian kaca mata yang tebal untuk mengatasi mata minus tinggi menyebabkan penampilan wajah yang tidak diinginkan.
Tak mengherankan, jumlah pemakai lensa kontak terus meningkat dan diperkirakan terjadi kenaikan 15% setiap tahun. Jumlah penjualannya pun ikut menanjak. Namun banyak pemakai lensa kontak tak menyadari akan risiko memakai lensa kontak. Mereka terkadang tidak memperhatikan bagaimana cara menggunakan lensa kontak yang baik. Misalnya, tidak mencopot lensa sewaktu akan tidur, tidak mencuci lensa secara teratur dengan cairan khusus,
Selain mereka salah memilih lensa, Ini karena belum ada pengaturan oleh Kementrian Kesehatan atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Hal ini menyebabkan konsumen pengguna lensa kontak lunak terpapar terhadap resiko efek samping penggunaan lensa kontak lunak..”Padahal ada lensa kontak yang daya hantar oksigennya lemah,yang membuat pasokan oksigen ke kornea jadi terganggu,” kata Tri Rahayu, dokter mata lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Nah Tri Rahayu, yang juga dokter spesialis mata yang berpraktek di Rumah Sakit Jakarta Eye Center, Menteng, Jakarta, membuktikan bahaya keteldoran menggunakan lensa kontak. Ia membuktikannya lewat disertasi yang berhasil dipertahankan di tim penguji di Aula IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rabu (10/1/2018). Disertasinya berhasil dipertahankan untuk meraih gelar doctor di universitas tersebut.
Dalam riset tersebut, Tri meneliti kurangnya oksigen di kornea karena pemakaian lensa kontak lunak. Lensa itu dapat menghalangi masuknya oksigen ke kornea, Di situ ia menemukan beberapa penanda biologis yang kerap muncul pada kondisi kekurangan oksigen, seperti Hypoxia Inducible Factor-1α, Lactate Dehydrogenase (LDH), dan Malate Dehydrogenase (MDH).
Senyawa itu bisa digunakan untuk deteksi dini kekurangan oksigen. Ada dua hal yang diteliti Tri, yaitu efek pemakaian lensa kontak lunak terhadap penanda biologis dan keadaan klinis kornea, serta efek penghentian pemakaian lensa kontak lunak terhadap faktor-faktor tersebut.
Sebanyak14 peserta yang berpartisipasi di penelitian pertama. Mereka adalah penderita mata minus sedang yang belum pernah menggunakan lensa kontak. Tri memberi perlakuan pemakaian lensa kontak lunak dan dipantau pada hari ke 1, 7, 14, 28, dan 56 setelah pemakaian lensa kontak lunak.
Untuk penelitian pertama, peserta menjalani pemeriksaan kornea, struktur terdepan dari bola mata yang berperan penting sebagai penghantar dan pembias cahaya dalam proses penglihatan sekaligus sebagai dinding depan bola mata. Alat yang digunakan untuk memeriksa adalah mikroskop spekular dan pemeriksaan laboratorium terhadap air mata. Tujuannya untuk melihat kandungan enzim HIF-1α, LDH, dan MDH.
Kemudian dalam studi kedua sebanyak 14 peserta pengguna lensa kontak dilibatkan. Mereka telah menggunakan lensa kontak lunak jangka panjang (2-11 tahun). Oleh Tri, mereka diminta menghentikan pemakaian lensa kontak lunaknya dan menggantinya dengan kaca mata untuk koreksi penglihatannya.
Terhadap kedua kelompok tadi, dilakukan pemeriksaan klinis kornea dan pemeriksaan penanda biomolekular air mata sesaat setelah melepaskan lensa kontak lunaknya dan setelah 1, 7, 14, dan 28 hari menghentikan pemakaian lensa kontak lunak.
Hasilnya, kata Tri, pemakaian lensa kontak lunak dengan daya hantar oksigen yang baik selama 2 bulan tidak menimbulkan keadaan kekurangan oksigen kornea. “Meski begitu, pemakaian lensa kontak lunak yang terbuat dari bahan yang daya hantar oksigennya rendah dalam jangka panjang menyebabkan gangguan berupa perubahan klinis kornea yang belum membaik dengan penghentian lensa kontak selama 1 bulan,” imbuhnya dalam rilisnya.
Risetnya juga menemukan bahwa aktivitas enzim LDH dan MDH serta rasio LDH/MDH air mata tampaknya berkorelasi tinggi dengan perubahan klinis kornea pada pemakaian lensa kontak lunak. “Perubahan enzim ini dapat dijadikan sebagai penanda biomolekular keadaan kekurangan oksigen di kornea pada pemakaian lensa kontak lunak,” ujarnya.
Penelitian Tri juga mendapatkan temuan yang membantah teori yang ada sebelumnya, bahwa pada pemakaian lensa kontak lunak yang terbuat dari material dengan daya hantar oksigen yang baik, keadaan endotel kornea, yang merupakan lapisan terdalam dari kornea, yang selama ini diyakini merupakan faktor utama yang mempengaruhi ketebalan dan transparansi kornea, tidak terbukti. “Justru kondisi epitel, bagian terluar dari kornea, mempunyai korelasi kuat dengan ketebalan dan kejernihan kornea,” sambungnya.
Menurut Tri, kerusakan kornea akibat pemakaian lensa kontak yang salah tidak hanya terjadi di bagian dalam kornea, melainkan juga bagian luar. Maka, ia menyarankan untuk berhati-hati menggunakan dan selalu berkonsultasi dengan dokter, sebelum memilih lensa kontak yang tepat.
Helmy K