Wartapilihan.com, Jakarta – Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, walaupun ekonomi masyarakat Arab di kota Yastrib pada zaman Rasulullah sangat gemilang, namun secara tsaqofah (ilmu pengetahuan) mengalami kemunduran.
“Nabi Muhammad berhasil membangun Yastrib dengan konstitusi modern, bukan konstitusi agama Islam maupun konstitusi kuno. Yang dikenal dengan Tamaddun, masyarakatnya disebut Mutamaddin, negaranya Madinah,” kata Said Aqil Siradj ketika pembukaan Halaqah Nasional Alim Ulama se-Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Kamis (13/7).
Lebih lanjut, Said menjelaskan muhafadzat Man Maata Liajli Watanihi Maata Syahidan (barang siapa demi membela tanah airnya, berarti dia mati dalam keadaan syahid). Wa man kharaja min watanihi, Fa lam yakun damuhu wa lam yakun kaafiran (barang siapa orang Islam yang berpihak kepada Belanda maka boleh di bunuh, tetapi orang tersebut tidak kafir).
“Jangan kayak sekarang suka mengkafir-kafirkan orang. Eh tahu-tahunya yang mengkafirkan ketahuan sama Firza ha ha ha. Yang tidak ngerti gak apa-apa,” canda Said.
Begitu pula agama, pilihan Gubernur, terang Said, harus Muwathanah (citizenship) tidak pandang bulu dan kembali kepada pilihan masing-masing. Aksi 212 beberapa pekan lalu bersamaan dengan sholat Jumat yang dikaitkan dengan eskalasi politik menurutnya tidak sah.
“Shalat Jumat model apa itu di lapangan. Bukan hanya tidak sah secara fiqih, Tahaqqaqul Ubudiyyah 0 (nol), hakikat ibadah Shalat Jumat di Monas 0 (nol). Niatnya sudah Nggak benar. Yang pakai sarung biasanya pragmatis, politis, ekonomis, ‘isis’. Makanya yang biasa pakai sarung itu anaknya banyak, istrinya juga banyak, karena barakah-nya sarung he he he. Pengecualian pasti ada,” cetusnya.
Menurutnya, Nabi Muhammad mendirikan negara bukan berdasarkan Islam, tetapi Tamaddun yang didasari atas persaudaraan, persamaan, fasilitas, ekonomi, dan lain sebagainya. Begitu juga tidak pernah mendeklarasikan negara Islam, negara Arab, tetapi negara Madinah yang memajukan pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, budaya, dan administrasinya.
“Nahdlatul Ulama sejak tahun 1936 keputusannya Indonesia harus salam atau national state (negara kebangsaan), bukan darul Islam. Resolusi jihad NU saat itu dihadiri oleh ulama dari seluruh daerah di Indonesia bahwa membela tanah air adalah fardhu ain.”
KH. Hasyim Asyari mengatakan, jelas Said, barang siapa yang berkhianat kepada penjajah maka boleh dibunuh. Termasuk Bughat yang menentang pemerintahan sah hukumnya boleh di lawan. KH. Hasyim Asyari tidak pernah mengkafir-kafirkan orang.
“Oleh karena itu, saya berterima kasih kepada Pemerintah yang telah meresmikan Hari Santri Nasional dan kami sepakat sekali Pancasila diperingati setiap 1 Juni. Mudah-mudahan dengan adanya Hubbul Wathan ini, kita semua jelas sikapnya Tawassuthh dan Tasammuh (moderat dan toleransi)
“Jadi kalau ada yang tidak moderat maka goblog, apalagi yang jenggotnya panjang semakin goblog,” ujarnya.
Orang yang Tasammuh, kata Said, adalah orang yang bisa menghargai orang lain; sukunya, adat, agamanya toleran dan berakhlaq. Tasammuh menandakan orang itu berakhlaq dan Tawasuth menandakan orang itu berilmu. Yang paling sulit adalah menggabungkan antara Islam dengan nasionalisme.
“KH. Hasyim Asyari sudah mengatakan itu anugerah, sampai mengeluarkan jargon Hubbul Wathan minal Iman. Kalau kemarin mencintai negara bagian dari iman, maka sekarang nasionalisme bagian dari iman,” tandasnya.
Terakhir, terang Said, tidak ada ulama yang tidak nasionalis seperti KH. Hasyim Asyari, Hasan Al Banna, Al Hudaibi, Said Hawa, Al Ghazali, Yusuf Qardhawi, Saddam Husein, Muammar Kadafi, Muhammad Najib dan lain sebagainya.
“Hasyim Asyari ulama nasionalis, nasionalis ulama. Nasionalis Hasyim Asyari bukan nasionalis Timur Tengah. Mudah-mudahan nasionalis NU membawa berkah untuk bangsa dan negara ini. Amiin,” tutupnya. II
[Satya Wira]