Ketika gerakan perlawanan Islam, Hamas memenangkan Pemilu 2006 lalu di Palestina, Amerika dan negara-negara Eropa melakukan pemboikotan besar-besaran dana ke Palestina. Rakyat Palestina kelaparan dan pemerintah Hamas sibuk ke sana kemari mencari dana bantuan alternatif ke negara-negara Timur Tengah.
Wartapilihan.com, Jakarta — Di tengah-tengah kondisi ekonomi yang morat-marit itulah kemudian Amerika mendukung salah satu faksi di Palestina untuk ”mengkudeta pemerintahan resmi Hamas”. Dan terjadilah pertempuran berdarah antara Hamas dan Fatah. Fatah menguasai wilayah Tepi Barat dan Hamas kemudian menguasai sepenuhnya Gaza. Palestina jadi terbelah.
Kondisi ini memaksa masing-masing pemerintah di Tepi Barat atau Gaza untuk menghidupi wilayahnya sendiri. Presiden Mahmud Abbas yang menguasai Tepi Barat sibuk mencari bantuan ke Amerika, Uni Eropa dan negara-negara lain. Begitu juga duta-duta Hamas berkeliling ke negeri-negeri Islam untuk mencari bantuan bagi masyarakat Palestina.
Pecahnya Palestina ini, tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Amerika cs dalam melakukan pemboikotan ekonomi besar-besaran saat itu. Amerika yang telah mengkategorikan Hamas sebagai organisasi teroris, terus berupaya agar Hamas makin terpojok dan tidak mendapat simpati dari rakyat Palestina. Di tengah-tengah masyarakat yang lapar, tentu emosi mudah disulut dan terjadilah perpecahan Hamas dan Fatah.
Dengan berjalannya waktu, tahun 2017 ini Hamas dan Fatah akhirnya membuat kesepakatan bersma. Mereka berjanji untuk bersatu memerdekakan Palestina dan melawan kepentingan Israel di Palestina.
Dr. Nawwaf Takruri, tokoh intelektual pro Hamas, Ketua ”Rabithah Ulama Filistin” dan seorang penulis ternama di Timur Tengah pernah mengunjungi Indonesia. Beberapa bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Salah satu bukunya yang mendapat perhatian besar pembaca, adalah bukunya yang berjudul ”Al Jihad bil mal fi sabilillah” (Dahsyatnya Jihad Harta –terj. GIP).
”Buku ini sangat berbobot, baik isi, momentum maupun arah pembahasannya. ..Saya sangat menghargai materi ilmiah fiqih yang termuat begitu padat dalam buku ini, apalagi semuanya merujuk kepada Al-Qur’anul Karim dan As-Sunnah yang mulia, berlandaskan kondisi nyata persoalan-persoalan umat terutama persoalan Palestina, serta tuntutan kebutuhan yang sangat mendesak akan isu “jihad harta”. Sebuah isu yang terkait dengan kemurahan hati untuk menyumbangkan dan mengeluarkannya untuk mendukung jihad dan para mujahidin. Jihad harta adalah “saudara kandung” jihad nyawa dan pelengkapnya. Bahkan jihad nyawa tidak akan sempurna jika tidak disertai jihad harta,” demikian pujian dari Kepala Biro Politik Hamas saat itu, Khalid Misy’al.
Dalam kunjungannya ke ormas-ormas dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia saat itu, Dr. Nawwaf menyampaikan contoh-contoh yang menyentuh tentang jihad harta. Dalam ceramah di Masjid Darussalam Depok, misalnya ia menghimbau kepada para ibu-ibu agar menghemat belanjanya sehari saja dalam seminggu. Uang hasil hemat satu hari itu, diniatkan dan ditaruh di tempat khusus untuk rakyat Palestina. Begitu juga bapak-bapak diharapkan bila membelikan pakaian atau celana untuk anak-anaknya, sisihkanlah uang untuk satu anak Palestina.
”Jika mempunyai anak tiga, maka tanamkanlah dalam diri kalian anda mempunyai anak empat, satu di Palestina.” Untuk para remaja dan anak-anak, hematlah sehari saja dalam seminggu uang jajan yang diberikan orang tua. Uang hasil penghematan itu dimasukkan dalam kaleng khusus untuk anak-anak Palestina. ”Ini bukan masalah jumlah, tapi masalah mendidik dan menanamkan nilai-nilai kepada anak-anak agar mereka turut berjihad membebaskan Palestina,” tegas laki-laki enam anak ini.
Syekh Nawwaf juga menceritakan bagaimana orang-orang Yahudi di Israel mengurangi konsumsi gula di rumahnya, agar sisa uangnya dipergunakan untuk membantu pemerintah Israel. Begitu juga organisasi-organisasi Yahudi Amerika, aktif membantu Israel agar semakin kuat ekonomi dan militernya.
Hukum jihad dengan harta –sebagaimana Dr Nawwaf Takruri tulis dalam bukunya – adalah wajib, sama seperti kewajiban berjihad dengan nyawa, karena jihad kedua tidak dapat terlaksana dengan sempurna tanpa jihad pertama. Suatu perkara yang apabila sebuah kewajiban tidak akan sempurna tanpa keberadaannya, maka perkara tersebut juga menjadi wajib. Setiap Muslim dituntut untuk melaksanakan kewajiban ini, sebagaimana dia dituntut untuk berjihad dengan nyawa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, “Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, nyawa dan lisan kalian.” (HR Abu Dawud)
Ibnul Qayyim berkata, “Wajib berjihad dengan harta sama seperti kewajiban berjihad dengan nyawa.”
Ini merupakan salah satu dari dua pendapat Ahmad. Dan pendapat inilah yang benar tanpa diselubungi keraguan sedikit pun. Perintah berjihad dengan harta merupakan saudara kandung dan pasangan perintah berjihad dengan nyawa dalam Al-Qur’an, bahkan selalu disebutkan lebih dulu daripada jihad dengan nyawa dalam setiap ayat yang mencantumkannya, kecuali pada satu ayat saja. Hal ini menunjukkan bahwa jihad dengan harta lebih penting dan mendesak ketimbang jihad dengan nyawa. Tidak diragukan lagi, jihad dengan harta adalah salah satu dari dua jihad yang ada, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi, “Siapa yang memberangkatkan (mendanai) orang yang berperang di jalan Allah, berarti dia juga ikut berperang.” (HR Bukhari)
Menurut Syekh Nawwaf, setiap orang yang mampu secara ekonomi wajib berjihad dengan hartanya sebagaimana orang yang mampu secara fisik wajib berjihad dengan fisiknya. Jihad fisik tidak mungkin terlaksana tanpa ketersediaan dana. Kemenangan dalam perang tidak mungkin diraih tanpa pasukan dan perbekalan. Jika tidak mungkin memperbanyak jumlah pasukan maka harus memperbanyak perbekalan dan dana. Haji wajib dikerjakan. Bagi orang yang tidak sanggup mengerjakannya dengan fisik, apabila dia memiliki harta, maka kewajiban berjihad dengan harta lebih utama dan mendesak [daripada haji].
Sementara itu Imam al-Juwaini menyatakan bahwa bila musuh menyerang, maka jihad nyawa lebih utama dari harta.
Al-Juwaini berkata, “Apabila orang-orang kafir menyerang wilayah Islam, maka seluruh ulama sepakat, jatuhlah fardhu ‘ain bagi seluruh kaum Muslimin untuk segera bangkit dan menyerbu guna mengusir mereka, baik secara berkelompok maupun sendiri-sendiri… Ketika hal ini merupakan ajaran agama dan pandangan para ulama terkemuka, maka apa arti harta berbanding serangan gencar lawan, disaat memang sangat dibutuhkan? Seluruh kekayaan dunia ini, bila ditimbang dengan setetes darah saja, maka tidak akan sebanding atau seimbang. Ketika kondisi ini terjadi, nyawa harus direlakan menyongsong kematian. Dan, dalam upaya membela diri, harus siap dengan segala risiko yang dapat merenggut nyawa dan berhadapan musuh. Siapa yang berbeda pendapat dalam masalah ini, maka dia telah berbuat zhalim atau aniaya. Ketika darah bersimbah di ujung dan mata pedang, maka harta sama sekali tidak berharga…”
Ketika seorang Muslim berjihad dengan hartanya, berarti dia telah memenuhi seruan Allah SWT. untuk menunaikan kewajiban tersebut. Sebaliknya, jika malah menghindar dan kikir, berarti dia telah melanggar kewajiban yang ditetapkan Allah Subhanahu Wata’ala. dan tidak menjalankan kewajiban semestinya, sama seperti ketika tidak menjalankan kewajiban-kewajiban agama lainnya.
Karena itu, wahai segenap orang kaya. Bahkan, wahai segenap orang kaya dan miskin sekalian, ketahuilah, jihad dengan harta wajib dilakukan oleh semua orang sesuai batas kemampuan, kemudahan dan kesanggupan masing-masing. Jihad dengan nyawa bisa menjadi fardhu ‘ain ketika musuh menyerang wilayah kaum Muslimin, seperti Palestina, Iraq, Afghanistan, Chechnya dan lain-lain. Maka hukum jihad dengan harta mengikutinya, yakni sama-sama fardhu ‘ain atas setiap Muslim. Alhasil, setiap Muslim wajib menyumbangkan harta sesuai kemampuannya untuk memperkuat kedudukan para mujahidin dalam menghadapi dan menghancurkan musuh yang telah merampas kedaulatan wilayah Islam.
Bagi orang miskin, meskipun kemiskinan menghambatnya untuk menyumbangkan harta dalam jumlah besar, tapi tidak dapat dijadikan alasan untuk sama sekali tidak melakukannya. Ketika orang-orang kaya dituntut dalam kapasitas yang paling besar, tapi bukan berarti tuntutan tersebut tidak berlaku sama sekali bagi orang-orang miskin, melainkan tetap wajib melakukannya selayaknya kewajiban dia memberi nafkah kepada istri, anak dan sanak keluarganya. Masing-masing dituntut sesuai kemampuannya. Kadar kewajibannya sesuai dengan yang dinyatakan Allah Subhanahu Wata’ala. dalam firman-Nya:
“Hendaklah orang yang mampu, memberi nafkah menurut kemampuannya.” (QS: Ath-Thalaq: 7).
“Dan ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri.” (QS: Muhammad: 38)
Di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu Wata’ala mendahulukan jihad harta atas jihad nyawa setiap kali menyebut keduanya secara bersamaan, kecuali dalam satu ayat saja, yaitu firman Allah SWT,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, nyawa dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh…” ( QS: At-Taubah: 111)
Selain ayat tersebut, jihad harta selalu disebut lebih dulu daripada jihad nyawa. Bukan karena kedudukan jihad harta lebih utama, melainkan karena urgensi jihad harta sebagai fasilitator jihad nyawa. Jihad harta berkedudukan sebagai persiapan awal sebelum melakukan aksi jihad nyawa, selain karena fungsinya sebagai penunjang yang ideal untuk terlaksananya jihad nyawa. Allah berfirman;
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang [yang dengan persiapan itu] kamu menggentarkan musuh Allah, dan [juga] musuhmu.” (QS: Al-Anfal: 60)
Ayat ini memerintahkan agar melakukan persiapan yang berupa jihad harta dan dilanjutkan dengan jihad nyawa. Karena itulah Allah SWT. mengaitkan pahala dengan dua jihad tersebut secara bersamaan dan menyematkan keduanya sebagai sifat orang-orang yang beriman. Karena, keduanya saling mendukung dan tidak mungkin sempurna tanpa keberadaan yang lain. Selain itu, jihad harta merupakan penunjang ideal bagi terlaksananya jihad harta, seperti yang telah saya terangkan sebelumnya.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan nyawa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” ( QS: Al-Hujurat: 15)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan nyawa di jalan Allah, dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan [kepada orang-orang muhajirin], mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan, orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sampai mereka berhijrah.” (QS: Al-Anfal: 72)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, “Siapa yang menafkahkan harta di jalan Allah, maka dicatat baginya [pahala] sebanyak 700 kali lipat.” (HR Tirmidzi)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam menyetarakan kedudukan orang yang terjun langsung di medan perang dengan orang yang mendanainya, atau menggantikan posisinya untuk mengurus keperluan keluarganya. Rasulullah bersabda, “Siapa yang memberangkatkan (mendanai) orang yang berperang di jalan Allah, berarti dia juga ikut berperang. Dan siapa yang mengurusi keluarga orang yang sedang berperang dengan baik, berarti dia juga ikut berperang.” (HR Bukhari).
Rasulullah juga bersabda, “Dinar paling baik yang dinafkahkan oleh seorang lelaki adalah, dinar yang dia nafkahkan kepada keluarganya, dinar yang dia keluarkan untuk memelihara hewan yang akan digunakan untuk berjuang di jalan Allah, dan dinar yang dia sumbangkan kepada sahabat-sahabatnya yang berjuang di jalan Allah.” (HR Muslim).
Lantas, apa yang bisa kita lakukan hari ini ketika saudara-saudara kita di Palestina terus menerus dizalimi Zionis Israel kini? II Wallahu azizun hakim. ||
Izzadina