Teknologi internet membuahkan berbagai produk yang serba instan. Ruang-ruang peradaban perlu dihidupkan, sebagai sarana mengembalikan Islam sebagai peradaban yang adiluhung.
Wartapilihan.com, Jakarta –Saat ini, di kota-kota besar di Indonesia, kita menyaksikan sebuah pemandangan yang cukup memprihatinkan: berkurangnya ruang-ruang untuk mendiskusikan berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan. Berbagai sebab menjadi faktor utamanya.
Jika kita menengok pada generasi tahun ’70 sd ’80-an, ruang-ruang untuk mendialogkan ide atau sekadar melatih intelektual, ada di berbagai tempat. Ruang-ruang itu ada di toko-toko buku, di kedai-kedai kopi, juga di kampus, serta di masjid-masjid.
Adapun produk-produk intelektual saat ini, lebih banyak hadir di ruang-ruang “ketersendirian” yang sunyi. Tidak ada proses dialog yang mendalam guna membuahkan gagasan atau ide untuk kemanusiaan. Di kampus-kampus, para dosen memang masih mengajar, tapi proses dialog di luar ruang kuliah hampir-hampir punah. Begitu pula di sekolah-sekolah, mulai dari SD, SMP, sampai SMA. Masjid-masjid memang ramai denga kajian ini dan itu, tapi sifatnya hanyalah monolog. Tabligh Akbar subur dimana-mana, masyarakat digiring ke suatu tempat, mendengar retorika penceramah, lalu pulang. Tak ada dialog, tidak ada proses intelektual yang mampu menghasilkan buah pikiran yang genuine.
Karena itu, janganlah heran jika saat ini kita menyaksikan banyaknya penceramah yang pintar berorasi tapi miskin ide. Masyarakat lebih suka meneriakkan yel-yel daripada mendialogkan sebuah gagasan. Apa kata penceramah dianggap sebuah kebenaran dan karena itu tak perlu lagi didialogkan, apalagi dikritisi.
Lima belas tahun lalu, toko buku yang terintegrasi dengan cafe dan ruang diskusi ada di beberapa kota. Katakanlah di Jakarta dan Depok dimana Universitas Indonesia berdomisili. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, toko buku yang terintegrasi tersebut mulai berkurang atau beralih fungsi.
Di Surabaya, beberapa tahun lalu, berdiri sebuah komunitas pecinta buku. Misinya, mulai dari mengajari bagaimana menjadi seorang penulis sampai membuahkan karya, baik berupa artikel, cerpen, maupun buku. Di tempat tersebut, orang bisa datang kapan saja, berdialog sekaligus “ngangsu kaweruh”(menimba ilmu) pada mereka yang senior atau yang lebih dulu memproduksi gagasan-gagasannya dalam bentuk buku. Diskusi dan dialog tentang dunia kepenulisan dan perbukuan secara rutin diselenggarakan. Tapi entah apa yang terjadi, usianya tak sampai 3 tahun. Oleh si penggagasnya, ruang tempat berkumpulnya para intlektual muda tersebut ditutup.
Jika kita menengok para cendekiawan Muslim masa lalu, antara karya tulis dan dialog-dialog di ruang publik acap diselenggarakan. Tengoklah misalnya Abu Yūsuf Yaʻqūb ibn ʼIsḥāq aṣ-Ṣabbāḥ al-Kindi (801 – 873 M), dikenal sebagai filsuf pertama yang lahir dari kalangan Islam. Kita juga mengenal bapak Kedokteran Islam, Ibnu Sina (980-1037 M), Ibnu Rusyd (1126 – 10 Desember 1198 M), seorang filsuf dari Spanyol, dan Ibnu Khaldun (Mei 1332 – 19 Maret 1406 M), seorang ilmuwan Sosiologi dan Sejarawan dengan karya Magnum Opus-nya: Muqadimah. Mereka acap berdialog dengan para murid dan khalayak, di sudut-sudut kota dimana mereka mukim.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa generasi Islam dibangun dengan tiga landasan pokok: akidah, syariah, dan akhlak. Generasi sekarang yang dikenal dengan generasi “Now” adalah generasi gadget yang serba teknologi, cepat, dan praktis. Tapi disitulah persoalannya, yang akan tumbuh kemudian adalah generasi yang serba instan, sementara nilai-nilai kebijakan jauh dari panggang.
Karena itu, jika kita peduli pada generasi muda, yang peduli pada kejayaan dan peradaban Islam, hendaklah menginfakkan sebagian hartanya, atau, yang punya perusahaan, lewat dana CSR-nya, alokasikan sebagian dana guna membangun ruang-ruang peradaban itu.
Di daerah Tebet, Jakarta Selatan, misalnya, ada sebuah restoran yang menyajikan menu Timur Tengah merangkap Galery. Dengan sedikit sentuhan, ruang-ruang peradaban bisa digelar di sini, sebagai tempat berkumpulnya para cendekiawan dalam mendiskusikan berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan. Syukur-syukur jika restoran ini diformat sedemikian rupa, selain ada resto dan gelary, juga toko buku sekaligus ruang diskusi.
Para Penerbit yang berkecukupan, bisa juga membuat toko buku, resto atau cafe plus ruang untuk berdiskusi. Toko-toko buku milik umat Islam, mestinya diformat sedemikian rupa, tidak hanya menjual buku, tapi juga ada cafe(dalama arti menjual minuman semacam kopi dan teh serta jajanan) plus ruang untuk berdiskusi tentang buku dan peradaban. Bagaimana formatnya? Tentu, bisa disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Pekerjaan membangun peradaban bukanlah pekerjaan perorangan. Tapi pekerjaan berjamaah. Sekolah-sekolah dan kampus-kampus hendaknya “menghidupkan” perpustakaan yang ada. Begitu pula rumah-rumah keluarga Muslim, sangat dipujikan jika mau menyisihkan satu ruangan untuk perpustakaan dan tempat ngobrol keluarga.
Betapa pun kecilnya kontribusi kita, in-syaa Allah akan sangat bermanfaat dalam membangun kembali peradaban Islam. Generasi yang lahir dari ruang-ruang peradaban ini nantinya tidak hanya berteriak lantang dengan yel-yel, tapi juga benar-benar punya visi dan misi yang terarah dan terukur. Wallahu A’lam.
Herry M Joesoef