Rohingya yang mengungsi di perbatasan akan dipulangkan secara sukarela. Namun, mayoritas pengungsi menolak sampai hak-hak mereka bisa mereka dapatkan kembali.
Wartapilihan.com, Dhaka –Bangladesh dan Myanmar pada hari Selasa (19/12) menegaskan kembali komitmen mereka untuk mulai memulangkan pengungsi Rohingya pada bulan Januari, meskipun ada kekhawatiran bahwa keselamatan mereka masih belum dapat dipastikab jika mereka kembali
Sekretaris Luar Negeri Bangladesh dan Myanmar bertemu di Dhaka untuk menyelesaikan kesepakatan yang ditandatangani pada 23 November 2017 untuk memulangkan dengan sukarela hampir tiga perempat juta Rohingya yang tinggal di kamp pengungsi di sepanjang perbatasan.
Sebuah kelompok kerja baru akan “memastikan dimulainya pemulangan dalam waktu dua bulan” dengan mengembangkan jadwal untuk verifikasi identitas pengungsi dan logistik mereka.
“Kita akan memulai langkah selanjutnya dari pekerjaan kita,” Menteri Luar Negeri Bangladesh, A.H. Mahmood Ali, mengatakan kepada wartawan setelah pertemuan tersebut.
Namun, ada keraguan bahwa minoritas yang teraniaya akan aman jika kembali ke negara bagian Rakhine. Doctors Without Borders mengatakan hampir 7.000 orang Rohingya terbunuh dalam satu bulan kekerasan.
Diperkirakan 655.000 pengungsi Rohingya telah melintasi perbatasan ke Bangladesh sejak Agustus, melarikan diri dari apa yang AS dan PBB sebut sebagai pembersihan etnis.
Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Zeid Ra’ad Al Hussein, mengatakan bahwa dia tidak menerima jaminan bahwa pengamat internasional akan diizinkan masuk ke Rakhine Utara untuk memantau kembalinya Rohingya.
“Kami tidak melihat ada ketertarikan atau keinginan untuk mengundang kantor saya masuk. Jadi, kami skeptis akan hal itu,” katanya kepada AFP dalam sebuah wawancara pada Senin (18/12).
Human Rights Watch pada hari Senin (18/12), mengutip analisis citra satelit, mengatakan bahwa tentara Myanmar membakar puluhan rumah Rohingya dalam beberapa hari setelah penandatanganan kesepakatan repatriasi tersebut.
Pengawas mengatakan bahwa kesepakatan repatriasi adalah “aksi hubungan masyarakat” dan memperingatkan Rohingya tidak akan aman di Rakhine tanpa jaminan hak dan perlindungan yang sama.
Rohingya telah menjadi sasaran pembunuhan di masa lalu di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, yang tidak mengakui kelompok tersebut sebagai etnis asli dan telah melepaskan kewarganegaraan.
Kesaksian yang dikumpulkan oleh AFP dari pengungsi Rohingya di Bangladesh menunjukkan sedikit pengungsi yang ingin kembali ke Myanmar ketika banyak orang melihat desa mereka terbakar menjadi abu dan orang-orang tercinta terbunuh.
“Kami tidak akan kembali ke negara kami sampai hak-hak kami diberikan,” kata pengungsi Rohingya, Roushan Ali, dari sebuah kamp di tenggara Bangladesh.
“Kami ingin kewarganegaraan penuh dan kembalinya tanah dan harta benda kami. Kami juga menginginkan keadilan bagi orang-orang kami yang dibunuh, disiksa, dan diperkosa.”
Badan amal Inggris, Oxfam, mengatakan dalam sebuah laporan baru, Selasa (19/12), bahwa banyak Rohingya takut untuk kembali dan tidak mau mempertimbangkannya tanpa jaminan keselamatan.
Kondisi tetap suram di kamp-kamp pengungsian Bangladesh dengan wabah difteri yang telah membunuh 19 pengungsi. Demikian dilaporkan AFP.
Moedja Adzim