Rohingya, Etnis Yang Paling Menderita di Dunia

by
FOTO:ISTIMEWA

Dalam kajian di Insists Saturday Forum (9/12) di Kalibata Jakarta,
pengacara Heri Aryanto menyatakan bahwa etnis Rohingya adalah etnis
yang paling sengsara di dunia. Ia mengutip sejumlah pernyataan PBB
terkait hal ini.

Wartapilihan.com, Jakarta –“Seorang warga Palestina pernah menyatakan
bahwa ia salut dengan kaum Muslim Rohingya, karena mereka berjuang dan
ditindas karena aqidahnya. Sedangkan warga Palestina berjuang karena
yang dizalimi tanahnya,” kata Heri sambal bercerita bahwa warga
Palestina itu memberikan sumbangan 50 juta rupiah untuk pengungsi
Rohingya.

Heri menceritakan bahwa Arakan sebenarnya adalah salah satu negara
bagian di Myanmar yang tanahnya subur dan kaya akan minyak bumi, gas,
berlian dan sumber daya alam lainnya. Posisi Arakan terletak di
sebelah Barat negara bagian Myanmar (dulu Burma), di mana wilayah
bagian utara Arakan berbatasan langsung dengan kota Chittagong,
Bangladesh.

Daratan Arakan memanjang dari utara hingga ke selatan yang dipisahkan
oleh sungai Naf yang berhulu di Chittagong hingga kota Maungdaw di
Arakan. Sungai Naf merupaan penandabatas antara wilayah Banglades dan
Myanmar. Total luas wilayah Arakan dari utara selatan diperkirakan
13.540 mil persegi.

“Nama Arakan menurut ulama Rohingya diambil dari kata arkaan atau ar
rukun yang berarti pilar, prinsip, sendi atau asas,” kata Heri dalam
paparannya.

The Mohammedans adalah sebutan untuk orang-orang yang telah lama
menetap di Arakan. Mereka memanggil negara mereka dengan Rovingaw dan
menyebut diri mereka dengan sebutan Rohinga atau Arakan dan menyebut
diri mereka Rohingya atau penduduk asli Rohang.

Pada abad ke 8 Masehi, pengaruh Islam di Arakan memang tidak bisa
dilepaskan dari peran orang-orang Arab yang melakukan perdagangan di
Arakan. Bahkan rezim militer Burma dalam buku resmi Sasana Ronwas
Htunzepho yang diterbitkan tahun 1997, mengakui bahwa Islam menyebar
dan berakar di Arakan sejak abad ke 8 dan kemudian menyebar hingga ke
pedalaman Myanmar.

Pengaruh Islam juga semakin meluas hingga ke Chittagong selama
pertengahan periode abad ke 10. Sebuah kerajaan Islam kemudian
didirikan di wilayah ini dan raja yang berkuasa disebut dengan Sultan.
Wilayah kekuasaan Sultan diperkirakan dari daerah tepi timur Sungai
Meghna hingga ke Sungai Naf.

“Islam berkembang perlahan tapi pasti di Arakan melalui cara yang
alami. Setelah munculnya kekuasaan Islam di Bengali pada tahun 1203M,
populasi Muslim Arakan semakin meningkat. Jumlah mereka tumbuh cepat
selama kekuasaan Dinasti Mrauk-U. Terjadi konversi dalam skala yang
besar selama periode abad ke 15 sampai abad ke 18, dimana banyak umat
Budha yang beralih keyakinan menjadi Muslim,” terang Heri.

Penaklukan kerajaan Arakan pada tahun 1784 oleh Raja Boddawphaya dari
Kerajaan Burma merupakan penanda dimulainya penindasan etnis mayoritas
terhadap etnis minoritas di Myanmar. Burma sebagai etnis mayoritas di
Myanmar menempatkan diri mereka sebagai etnis suci dari kalangan raja,
sementara etnis-etnis kecil ditempatkan sebagai budak. Maka etnis
Burma melakukan penindasan-penindaasan terhadap etnis-etnis minoritas,
termasuk Rohingya di Arakan.

Penindasan yang dialami Rohingya terjadi pada saat penaklukan Arakan,
dimana Raja Boddawphaya pada saat itu mengirimkan lebih dari 30ribu
tentaranya untuk menghancurkan masjid, candi, kuil, seminari dan
perpustakaan, termasuk perpustakaan Kerajaan Mrauk-U. Dalam satu hari
penaklukan, pasukan kerajaan Burma membunuh setidaknya 40ribu orang
laki-laki. Mereka mengambil para perempuan Arakan setelah membunuh
suami mereka, mengambil para gadis Arakan tanpa menghiraukan orang
tuanya dan mengambil harta benda milik penduduk Arakan.

Ketika Arakan di bawah kekuasaan British India (1826-1942), terjadi
migrasi dalam jumlah besar penduduk Bengali Chittagong ke Arakan. Hal
ini terjadi karena kebijakan British India membuka selebar-lebarnya
pintu ke Arakan.

Diskriminasi dan penindasan yang dialami Rohingya kembali terjadi pada
masa persiapan kemerdekaan negara Myanmar. Pada tahun 1947, Jendral
Aung San mengadakan Konferensi Panglong untuk mengakui dan menyatukan
kelompok-kelompok etnis yang ada di Myanmar. Dalam konferensi itu,
negara bagian Arakan tidak diakui sebagai daerah otonom, meski Muslim
menjadi mayoritas di Arakan.

Pada 4 Januari 1948 Myanmar kemudian mendeklarasikan kemerdekaanya dan
U Nu sebagai Perdana Menteri pertama Myanmar. Pada masa pemerintahan UNu Rohingya diakui eksistensinya di Myanmar. Bahkan pada tahun 1951, UNu memberikan National Registration Card kepada Rohingya di Arakan
Utara. Dengan adanya NRC, Rohingya telah diakui sebagai bagian
warganegara dan bangsa Myanmar.

Pada tahun 1959, The Burma Broadcasting Service di Yangon mulai
menyiarkan Program Bahasa Rohingya. Tidak hanya itu, pada masa
pemerintahan U Nu, seorang tokoh Rohingya berpengaruh yang bernama
Sultan Mahmood diangkat menjadi Menteri Kesehatan Myanmar. Beberapa
orang Rohingya seperti Sultan Ahmed dan Abdul Gaffar dijadikan
Sekretaris Parlemen. Sementara orang Rohingya lainnya yaitu Abdul
Bashar, Zohora Begum, Abul Khair, Abdus Sobhan, Rashid Ahmed dan
Nasiruddin menjadi anggota parlemen dalam cabinet U Nu.

Pada tahun 1962, Jenderal Ne Win mengkudeta U Nu. Pada tahun 1965,
Program bahasa Rohingya yang telah disiarkan pada masa U Nu dihentikan
oleh Ne Win. Pada 1978, ia meluncurkan operasi Naga Min atau Operasi
Raja Naga (Operation Dragon King) di sepanjang wilayah perbatasan
Myanmar. Operasi ini akhirnya meluas dan menyasar kepada tindakan
penyiksaan, pemerkosaan dan pembunuhan secara brutal terhadap penduduk
Rohingya yang tinggal di perbatasan Bangladesh.

Pada tahun 1982, pemerintah Ne Win menerapkan Burma Citizenship Law.
Di sini Rohingya tidak diakui sebagai salah satu dari 135 kelompok
etnis yang diakui secara hukum di Myanmar hingga saat ini. “Akibatnya
Rohingya sejak tahun 1982 tidak lagi memiliki kewarganegaraan
(stateless). Tidak hanya itu, mereka pada akhirnya dianggap sebagai
orang asing yang tinggal secara illegal di Myanmar karena status
stateless tersebut,” terang Heri yang menyelesaikan master hukumnya di
Universitas Indonesia.

Status stateless dari penduduk Rohingya itu, yang menjadikan militer
Myanmar melakukan tindakan penyiksaan, pembunuhan dan pembakaran
pemukiman kampung Rohingya sehingga mengakibatkan ratusan ribu orang
mengungsi ke Bangladesh. Gerakan anti Islam ini juga didukung penuh
oleh Gerakan 969 yang dipelopori oleh biksu senior Ashin Wirathu.

“Cerita-cerita sadis para pengungsi Rohingya itu mengerikan. Kita
pernah menemui di Aceh, seorang perempuan yang menyendiri dan terus
menangis. Setelah kita telusuri ternyata perempuan ini trauma karena
suaminya digorok oleh militer Myanmar di depan matanya sendiri. Begitu
pula militer Myanmar juga melakukan banyak melakukan pembunuhan anak
di depan orang tuanya sendiri dan seterusnya,” terang Heri yang sudah
mengunjungi pengungsi Myanmar di Arakan, Aceh dan Medan.

Akhirnya Heri dan kawan-kawannya yang sejak tahun 2012 mengadakan
advokasi Rohingya ini berharap bahwa pemerintah Indonesia
sungguh-sungguh membantu pengungsi Rohingya. Selain itu, ia berharap
bahwa pemerintah juga mengusahakan penyelesaian politik di Myanmar,
sehingga kaum Muslim di sana tidak ditindas lagi. ||

Izzadina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *