Rocky Gerung dan Pendidikan Kita

by
Fatih Madini, Foto Koleksi Pribadi

Oleh: Fatih Madini

(Santri PRISTAC, PP At-Taqwa Depok)

Akhir-akhir ini, dunia maya dihebohkan oleh seorang pakar politik yang juga ‘filosof’. Namanya Rocky Gerung. Bisa dikatakan ia intelektual yang pandai berdebat. Dalam beberapa perdebatannya ia tampak tidak terbawa emosi. Justru lawan debatnyalah yang ‘termakan’ oleh omongan dia.

Wartapilihan.com, Depok– Keahliannya dalam berargumen diceritakan oleh seorang kawan kuliahnya ketika itu: “Pengalaman beberapa kali bersama-sama ambil kuliah dengan dia, saya rasakan dia seorang rendah hati dalam bersikap dan bergaul tetapi terkesan sedikit angkuh dalam berdebat serta mempertahankan pendapat. Pernah dalam sebuah kuliah, dia gigih mempertahankan pendapatnya sehingga dia berdebat dengan dosen kami yang bergelar doktor. Lama-lama dosen itu jengkel atas sikap Rocky. Akhirnya dia nyeletuk: Please Rocky, yang doktor itu lu ape gue? Kami tertawa semua, termasuk Rocky yang tentunya tertawa agak kecut.”(https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/04/12/p7212l385-kisah-seorang-teman-rocky-gerung-yang-saya-ketahui)

Dari fenomena Rocky Gerung ini, ada yang menarik untuk difahami, yakni masalah latar belakang pendidikannya. Sebagaimana diketahui, penisbatan kata profesor kepadanya, hanya ungkapan ketakjuban. Bukan sebuah ungkapan yang didasari atas gelar formal. Dia hanya lulus samapai S1 di jurusan Ilmu Filsafat Universitas Indonesia.

Sumber Foto: rilis.id

Dikabarkan, setelah menjadi sarjana, ia langsung menjadi dosen tidak tetap di Departemen Ilmu Filsafat dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Namun, ia harus menghentikan karirnya setelah ditetapkannya UU No. 14 tahun 2005 yang mensyaratkan seorang dosen harus minimal bergelar magister (S-2_. Ia dikabarkan menguasai beberapa mata kuliah seperti Teori Keadilan, Filsafat Politik, dan Metode Penelitian Filsafat. Dan diantara karya-karyanya:

  • Gerung, R. (2007). “Pluralisme dan Konsekwensinya: Catatan Kaki untuk Filsafat Politik’ Nurcholish Madjid”.” Paper PSIK Universitas Paramadina.
  • Gerung, R. (2008). “Feminisme versus Kearifan Lokal.” Jurnal Perempuan 57.
  • Gerung, R. (2010). “Representasi, Kedaulatan, dan Etika Publik.” Jentera Jurnal Hukum 20 (5).
  • Gerung, R. (2014). “Feminist Ethics against Stigma of Theocracy-Patriarchy: a Reflection of 2014 Presidential Election.” Jurnal Perempuan 19 (3): 175-182.
  • Gerung, R. (2016). “Feminist Pedagogy: A Political Position.” Jurnal Perempuan 21 (3): 265-271.

Meskipun dikenal pintar, tetapi pada dasarnya tidak semua yang dilontarkannya adalah sebuah kebenaran. Seperti misalnya ucapannya tentang kefiksian kitab suci. Tentu sebagai Muslim, bagi saya, al-Qur’an itu tidak seperti kitab suci lainnya. Al-Qur’an, keluar dari definisi fiksi dan tidak fiksi, versi Rocky Gerung. Sebab pada dasarnya ia adalah kalamullah.

Terlepas dari segala kontroversi yang bersangkutan dengannya, fenomena Rocky Gerung membuat kita bertanya, apakah sekolah-sekolah formal termasuk kampus bergengsi dan ijazah,  juga gelar-gelar formal, masih menjadi acuan utama kesuksesan ke depannya. Ingat bahwa sekarang kita memasuki era disrupsi, revolusi industri 4.0. Dimana semuanya tidak lagi bisa terbayang atau terencanakan seperti dulu.

Dalam artikelnya berjudul Menghadapi Era Disrupsi, Muhammad Nur Rizal mengatkan, “Dunia hari ini sedang menghadapi fenomena disruption (disrupsi), situasi di mana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear. Perubahannya sangat cepat, fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru. Disrupsi menginisiasi lahirnya model bisnis baru dengan strategi lebih inovatif dan disruptif. Cakupan perubahannya luas mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat, hingga pendidikan. Era ini akan menuntut kita untuk berubah atau punah. (https://republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/11/24/ozw649440-menghadapi-era-disrupsi)

Pada era inilah tidak lagi berlaku bahwa setiap mahasiswa yang sudah sampai gelar doktor akan sukses. Ketika kita berfikiran bahwa dengan kuliah, akan terbuka luas lapangan pekerjaan, maka itu sudah tidak tepat di era ini. Tidak bisa lagi hanya mengandalkan hard skill, karena yang lebih laku “dijual” di era disrupsi adalah soft skill.

Lihatlah data yang dikeluarkan oleh Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro di makalahnya, Mempertanyakan Cetak Biru Pendidikan Indonesia.  Berdasar penelitian yang termuat dalam makalah tersebut, karyawan Indonesia 92% sangat lemah dalam membaca, 90% lemah dalam menulis, 84% lemah dalam etos kerja, 83% lemah dalam kemampuan komunikasi, dan 82% lemah dalam kemampuan bekerja dalam tim. Ini artinya mereka yang dari awal sudah dipersiapkan untuk bekerja, harus kalah dengan zaman. Sebab yang dipersiapkan hanya hard skill nya saja. Dianggapnya, dengan belajar seperti itu, mereka akan siap kedepannya. (https://insists.id/reformasi-pendidikan-indonesia-memerlukan-lima-hal-penting-catatan-insists-saturday-forum-insaf-5-1-2019/)

Hadirnya sosok Rocky Gerung, membuat banyak orang sadar, bahwa urgensi dari pendidikan itu bukan sekedar mencari kampus yang bergengsi untuk kemudian mencari ijazah, gelar dan mendapatkan lapangan pekerjaan.            Dan jangan beranggapan bahwa dengan hanya belajar satu bidang keilmuan, membuat seorang percaya diri. Di zaman sekarang diperlukan penguasaan lintas bidang ilmu untuk memecahkan satu masalah.

Buya Hamka dalam buku beliau berjudul Pribadi  pernah menulis, “Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba-tiba dalam masyarakat menjadi “mati,” sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mempunyai cita-cita lain daripada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup.”

Saya setuju dengan pendapat bahwa yang membuat Rocky Gerung pintar dan diakui oleh banyak kalangan, termasuk kalangan intelektual, bukanlah gelar akademiknya. Melainkan sikap dia sebagai seorang yang pembelajar. Dia adalah orang yang senang berfikir kritis, senang diskusi, bertanya, menganalisis, dan berani. Dan yang lebih penting adalah dia seorang yang rajin membaca dan menulis.

Saat ini orang tidak bertanya, apa gelar Ustadz Abdul Somad, Ustadz Arifin Ilham, termasuk apa gelar Rocky Gerung. Maka seharusnya pendidikan kita bukan mementingkan gelar dan pekerjaan, namun bagaimana pendidikan itu mampu melahirkan seorang pembelajar. Yaitu seorang yang beradab kepada ilmu. Orang yang menjadikan tradisi keilmuan sebagai hal yang utama dengan tidak melupakan soft skill lainnya.  (Depok, Februari 2019).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *