Revolusi Industri 4.0 tidak selamanya tepat diterapkan. Ada banyak syarat yang harus dipetimbangkan. Salah-salah bukan berkah, malah jadi musibah.
Wartapilihan.com, Depok – Berbicara tentang Revolusi Industri 4.0, beruntung redaksi WP berhasil berbagi dengan pakar SDM, Dr. Zulfiandri. Berikut perbincangan dengan Beliau yang dilengkapi sharing dari beberapa kolega Beliau.
Dr. Zulfiandri berbagi pendapatnya mengenai penomena Revolusi Industri 4.0 di Indonesia, mari kita simak:
Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (KSP) , Dr. Ali Mochtar Ngabalin mengatakan waktu ILC di TV One kemarin (22 Jan 2019) bahwa jokowi akan membuat gerakan industri 4.0 (RI4.0) sebagai program yang diperlukan. Saya setuju ini akan menjadi fokusnya pada debat tentang ekonomi dan industri. Ada beberapa hal yang perlu dikritisi tentang RI4.0 ini:
Dari sudut pandang pengusaha, mereka tidak perlu diajari atau disuruh untuk menerapkan RI 4.0 ini. Mereka selalu mencari cara untuk melakukan efisiensi, efisiensi demi peningkatan daya saing. Namun demikian, mereka juga harus menyadari bahwa tidak semua lini produksi perlu direvolusi.
Secara sosiologis dan demografis, RI4.0 muncul pertama kali di Jerman dan negara-negara Eropa yang mengatasi defisit pertumbuhan penduduk. Menggunakan mesin manusia sebagai pekerja untuk menjawab masalah pertumbuhan yang negatif tersebut. Apakah hal ini sesuai dengan Indonesia yang sedang mengalami surplus atau bonus demografi, di mana angkatan kerja menjadi bagian terbesar di total penduduk?
Setiap periode revolusi industri yang ke 1 sd ke 3, pekerja selalu dikorbankan. Upaya ini pasti ditentang oleh serikat pekerja.
Dalam hal inovasi teknologi, kita akan selalu menjadi pasar teknologi, dan suka kecanduan terhadap teknologi baru. Saat kita baru selesai menyetujui RI4.0, pada zaman gangguan ini, diprediksi akan muncul lagi RI5.0, padahal Indonesia belum selesai dengan euphoria RI4.0.
Bagi pemerintah hal ini bisa menjadi proyek baru, tentu saja ada potensi ‘bancakan’ proyek juga ada. Bayangkan, untuk disetujui Industri 4.0 ini pemerintah menggunakan konsultan asing (AT Kearney) yang dibayar Rp. 12 M dengan hasil laporan yang tidak “membumi” alias masih mengawang-awang. Jadi, silakan simpulkan sendiri …
Bila ada yang masih bingung seperti apa anatomi RI4.0, berikut tanda-tandanya:
- Sistem fisik dunia maya: kecerdasan buatan buatan dan robotika dalam berproduksi dan pengambilan keputusan. Misalnya pencetakan 3D, robot, komunikasi mesin ke mesin, augmented reality, penggunaan sensor dalam sistem produksi, dll
- Internet hal, penggunaan internet dalam waktu nyata
- Big Data
Kesemuanya membutuhkan dukungan infrastruktur teknologi yang mumpuni.
“Maka kita akan mati gaya jika sistemnya lemot atau shutdown gitu ya….”, celetuk Bu Vina, seorang auditor senior kolega Dr Zulfiandri.
“Keamanan cyber kita juga belum jelas, karena dalam Big Data semuanya disimpan di cloud (penyimpanan online). Siapa yg bisa menjamin data tersebut aman? Tidak ada jaminan, dan issue inilah salah satunya yang dikeluhkan industri yang mau menerapkan RI4.0 di industri makanan & minuman. SDM kita juga belum siap untuk itu. Nanti akan banyak masuk TKA asing…”, tutur Dr Zulfiandri menyampaikan kekhawatirannya.
Dr Budi, pelaku industri sawit yang sudah berpengalaman puluhan tahun, berkomentar: “Lah, kan hanya beberapa industri saja yg bisa seperti itu. Mungkin di eropa dan jepang cocok ya. Tapi di Indonesia yang padat karya nggak cocok. Mungkin beberapa industri seperti otomotif, perbankan, IT, retail, bisa masuk ke era RI 4.0 ya…tapi khusus industri pertanian, perkebunan, peternakan dan sejenisnya yang jadi kelebihan Indonesia malah agak susah dan justru teknologi menjadikan dis-advantage.”
Betulkah demikian? Dr Zulfiandri memberikan penjelasan, Industri agro yang sudah menerapkan RI4.0 adalah pabrik rokok djarum. Djarum sudah menggunakan teknologi RI4.0 untuk pabrik mereka yang baru. Dengan teknologi baru ini, satu mesin bisa melinting rokok 16.000 batang per menit. Rasanya kecepatan produksi ini tidak bisa disamai cara manual.
“Saya kadang melihat orang ngerjain gorong-gorong, bikin lubang, ngangkut sampah sungai, dan sejenisnya …terpikir oleh saya kenapa nggak pakai excavator aja, tinggal garuk pakai long arm selesai….Ternyata biaya tenaga kerja lebih murah. Kalau bisa bayar separonya dan memperkerjakan banyak orang (dapur orang ngepul) kan lebih baik. Saya kerja di industri sawit selama 23 tahun, mekanisasi saja gagal. Apalagi teknologisasi…hehe… Nyemprot pupuk pakai sprayer dulu sempat populer. Eh, sekarang balik lagi pakai tenaga orang. Absensi pakai finger print aja susah. Pagi hari absen tangan masih bersih bisa. Begitu sore mau absen, tangan kotor susah absen, sering kali alatnya dibanting karena pekerja marah…”, tutur Dr Budi.
Kembali, kearifan dalam perkembangan zaman yang dibutuhkan. Pahami dengan baik, terapkan dengan hati-hati. Solusi yang rumit dan tepat guna mungkin berguna. Daripada ‘grasa-grusu’? Wallahu A’lam
Abu Faris
Praktisi Media Sosial & Pemasaran Digital