Budaya Ilmu Asas Kebangkitan Bangsa

by

Pada awal pagi
Dia mendaki gunung mencari kayu api
Sehingga larut malam
Dia menganyam selipar (daripada jerami padi)
Sambil berjalan

Dia tidak pernah berhenti membaca

Wartapilihan.com, Depok — Puisi itu mengisahkan seorang pemuda Jepang bernama Kinjiro Ninomiya yang hidup pada awal abad ke-20. Kegigihannya dalam memburu ilmu menjadi inspirasi masyarakat Jepang. Oleh pemerintah Jepang, semangat Kinjiro itu kemudian disebarkan dalam bentuk buku teks moral, tugu peringatan, dan lagu-lagu.

Semangat inilah yang banyak memberi inspirasi masyarakat Jepang untuk mengejar ilmu pengetahuan dan kemudian tampil sebagai salah satu peradaban besar.
Pada abad-abad ke-19, masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat “haus ilmu”. Budaya itu telah membangkitkan Jepang menjadi kekuatan dunia dalam bidang sains, teknologi, dan ekonomi yang mengagumkan pada masa-masa berikutnya.

Banyak ilmuwan Barat heran, bagaimana bangsa yang dikalahkan dan dihancurkan dalam Perang Dunia II itu kini mampu mengalahkan Barat dalam berbagai bidang. Profesor Ezra Vogel dari Harvard University, merumuskan, bahwa kejayaan Jepang ialah berkat kepekaan pemimpin, institusi, dan rakyat Jepang terhadap ilmu dan informasi dan kesungguhan mereka menghimpun dan menggunakan ilmu untuk faedah mereka.

Jepang telah menempatkan ilmu dalam posisi penting sejak Zaman Meiji (1860-an-1880-an). Pada akhir 1888, dikatakan, terdapat sekitar 30.000 pelajar yang belajar di 90 buah sekolah swasta di Tokyo. Sekitar 80 persennya berasal dari luar kota. Pelajar miskin diberi beasiswa. Sebagian mereka bekerja paroh waktu sebagai pembantu rumah tangga. Namun mereka bangga dan memegang slogan: “Jangan menghina kami, kelak kami mungkin menjadi menteri!” Para pelajar disajikan kisah-kisah kejayaan individu di Barat dan Timur. Contohnya, buku Yukichi Fukuzawa, berjudul Galakkan Pelajaran pada tahun 1882 terjual 600.000 naskah. Buku ini antara lain menyatakan: “Manusia tidak dilahirkan mulia atau hina, kaya atau miskin, tetapi dilahirkan sama dengan yang lain. Sesiapa yang gigih belajar dan menguasai ilmu dengan baik akan menjadi mulia dan kaya, tetapi mereka yang jahil akan menjadi papa dan hina.”


Paparan menarik tentang budaya ilmu dan kebangkitan bangsa Jepang ini disajikan dengan ringkas dan padat oleh penulis buku Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan Masa Kini, Prof. Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud, seorang pakar pemikiran internasional. Penulis juga dikenal sebagai pendiri Center for Advanced Studies on Islam Science and Civilization (CASIS) Universiti Teknologi Malaysia.
Jepang hanya satu contoh, bagaimana bangsa kecil ini mampu bangkit dengan menjadikan budaya ilmu sebagai asasnya. Bom sekutu yang meluluhlanttakkan beberapa kotanya terbukti tidak mampu menghentikan kebangkitan bangsa ini di dunia sains dan teknologi.

Buku setebal 428 halaman ini sangat menarik dan terlalu berharga untuk dilewatkan. Buku ini bukan hanya menyajikan konsep dan budaya ilmu dalam tataran normatif. Telaah historis dan perbandingan konsep budaya ilmu antar berbagai peradaban disajikan dengan gamblang, seperti budaya ilmu dalam masyarakat Yunani, Cina, India, Yahudi, Barat, dan Islam dipaparkan dengan bernas.

Dalam tradisi Yunani, misalnya, seperti dikatakan Robert M. Huchins, bekas Presiden dan conselor University of Cicago, bahwa di Athens: “pendidikan merupakan matlamat (tujuan.pen.) utama masyarakat. Kota raya mendidik manusia. Manusia di Athens dididik oleh budaya, oleh paideia.” Meskipun terbilang kecil dan tidak memiliki tentara yang kuat, peradaban Yunani berpengaruh besar terhadap masyarakat Romawi dan kemudian juga peradaban Barat. Namun, meskipun berbudaya ilmu, masyarakat Yunani mengabaikan akhlak – ciri budaya ilmu yang berbeda dengan budaya lmu dalam Islam.

Bangsa Yahudi sudah dikenal luas menghargai budaya ilmu. Ilmuwan-ilmuwan Yahudi seperti Einstein, Baruch Spinoza, Sigmund Freud, Karl Marx, memiliki pengaruh besar dalam ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Budaya keilmuan di Barat juga menarik dicermati. Setelah terlepas dari cengkeraman kekuasaan Geraja dan memasuki zaman baru (renaissance), bermunculan ilmuwan-ilmuwan Barat yang memiliki pengaruh besar dalam tradisi keilmuan seperti Galileo Gelilei (m. 1642), Charles Darwin (m. 1882), Marie Curie (m. 1934), dan sebagainya. Kini, dunia Barat tetap memberikan perhatian besar terhadap masalah keilmuan. Berbagai pusat kajian ilmu dibangun. Untuk memahami dunia Timur (Asia-Afrika) mereka membangun pusat-pusat kajian dan bidang kajian yang dikenal sebagai “Orientalisme”. Berbagai daya upaya dan biaya dikeluarkan untuk menguasai bahan-bahan literatur, baik buku, manuskrip, majalah, risalah tentang dunia Timur (termasuk dunia Islam). Penguasaan bahasa Arab, Parsi, Turki, Urdu, dan sebagianya juga digalakkan.

Bagaimana dengan Islam dan dunia Islam? Islam, menurut penulis, memiliki akar konsep dan budaya yang kuat dalam pengembangan tradisi atau budaya ilmu. Karena itulah, umat Islam memiliki potensi dan peluang besar untuk kembali bangkit sebagai satu peradaban besar, dengan konsep ilmu dan jalan kebangkitan yang khas.

Penulis memaparkan dengan sangat gamblang bagaimana keunggulan dan keunikan konsep ilmu dan budaya ilmu dalam Islam. Konsep itu bukan sekedar utopis, tetapi sudah diterapkan dalam sejarah. Peradaban Islam telah melahirkan para ilmuwan yang agung, yang bukan hanya pintar, tetapi juga berakhak mulia. Budaya ilmu dalam Islam memiliki landasan yang kokoh karena dibangun di atas wahyu dan memiliki suri tauladan abadi, yakni Nabi Muhammad saw. Ini tidak dijumpai pada peradaban mana pun.


Penulis juga memberikan kritik terhadap tantangan budaya ilmu di era modern kini. Prof. Wan Mohd Nor mengkritik konsep “spesialisasi sempit” yang membutakan ilmuwan dari khazanah keilmuan bidang-bidang lain. Ia menekankan perlunya menjelmakan sifat keilmuan yang multi-disciplinary dan inter-disciplinary.

Spesialiasi yang membutakan terhadap bidang lain, menurut Jose Ortega Y Gasset, filosof Spanyol yang berpengaruh besar selepas Nietszche, telah melahirkan “manusia biadab baru” (a new barbarian). Tradisi keilmuan dalam Islam tidak mengenal sifat “spesialisasi buta” seperti ini. Ilmuan-ilmuwan Islam dulu dikenal luas memiliki penguasaan di berbagai bidang.

Mengutip buku World Crisis in Education, karya Philips H. Coombs, (Oxford University Press, 1985), penulis mengkritik pemisahan antara pendidikan formal, non-formal, dan informal. Bahwa, seolah-olah pendidikan formal adalah yang terpenting.
Menurut penulis: “Dalam budaya ilmu semua acara pendidikan adalah formal, dari segi sikap dan peranan guru serta pelajar.”
Pembinaan tamadun atau peradaban ilmu, tegas penulis, “Hanya mungkin berhasil jika ilmu diberikan status sebagai the highest good (kebaikan mutlak) atau menduduki martabat tertinggi dalam sistem nilai individu dan masyarakat.”

Meskipun menekankan “keunikan” budaya ilmu dalam Islam dan mengajukan konsep “Islamisasi ilmu-ilmu semasa (kontemporer)”, Prof. Wan Mohd Nor mengimbau kaum Muslim tidak apriori terhadap ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban di luar Islam. Penulis memang mengkritik keras berbagai aspek konsep dan budaya ilmu dalam peradaban Barat, yang diilhami oleh semangat sekular. Namun, penulis mengajak kaum Muslim untuk mengakui, bahwa banyak ilmuwan Barat yang gigih dan bersungguh-sungguh dalam mengejar ilmu, dan banyak juga iktibar dan kebaikan dapat diperolehi dari mereka.


Prof. Wan Mohd Nor dikenal sebagai pakar tentang konsep “Islamisasi ilmu-ilmu kontemporer” yang dirumuskan dan dipelopori oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Dan sejak Juni 2019, Prof. Wan Mohd Nor resmi dipercaya sebagai ilmuwan pertama pemegang kursi (chairholder) Pemikiran Islam Prof. Syed Naquib al-Attas di Raja Zarith Sofiah (RZS) CASIS-UTM.

Kredibilitas Wan Mohd Nor sebagai ilmuwan internasional sudah dikenal luas. Berbagai buku dan artikelnya – yang biasanya ditulis dalam bahasa Inggris — tentang pemikiran dan pendidikan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Malaysia, Indonesia, Arab, Bosnia, Turki, Farsi, Rusia, Mandarin, dan Jepang.

Mengikuti tradisi guru beliau, Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Wan Mohd Nor bukan hanya berkutat dalam teori tentang budaya ilmu. Beliau telah terlibat aktif dalam menerapkan konsep budaya ilmu di institusi Pendidikan Tinggi selama puluhan tahun. Selain aktif membantu Prof. Naquib al-Attas mengelola ISTAC, beliau kemudian juga mendirikan Institusi Pendidikan Tinggi setingkat S2 dan S3 di CASIS-UTM.

Buku Budaya Ilmu edisi 2019 ini merupakan pengembangan buku Penjelasan Budaya Ilmu terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia tahun 1988. Tahun 2003 buku itu diterbitkan lagi oleh Pustaka Nasional Singapura. Dan edisi terbaru buku Budaya Ilmu dikembangkan lagi oleh penulis dengan sejumlah data sejarah dan konsep yang konprehensif.


Setelah membaca buku ini, kita patut bertanya, apakah ‘budaya ilmu’ yang melandasi sejarah dan arah perjalanan bangsa kita, ataukah ‘budaya yang berlawanan’, yaitu ‘budaya jahil’ dan ‘budaya ingkar ilmu’? Ingat, sejarah menunjukkan, budaya jahil tidak pernah membangkitkan satu peradaban.

Akhirul kalam, bagi kita – umat Islam Indonesia — yang sedang “menggeliat” dalam upaya meraih kejayaan untuk diri dan bangsa kita, buku karya Prof. Wan Mohd Nor ini sangat berharga untuk kita kaji dan renungkan.

Karena itu, sayang sekali jika melewatkan kesempatan yang sangat berharga untuk mendengar paparan langsung tentang Budaya Ilmu dari penulis dan konseptornya, langsung, dalam acara Kuliah Internasional dan Peluncuran buku Budaya Ilmu edisi cetak Indonesia, di Pesona Square Mall, Depok, 31 Agustus 2019 – sekaligus memperingati Tahun Baru Islam 1441 Hijriah.

Kejayaan umat dan bangsa Indonesia sudah di depan mata! InsyaAllah!. (Depok, 10 Dzulhijjah 1440 H).

Resensi Buku oleh: Dr. Adian Husaini
(Direktur at-Taqwa College, Pesantren at-Taqwa Depok)

Judul : Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan Masa Kini
Penulis : Prof. Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud
Penerbit : CASIS-UTM dan HAKIM Kuala Lumpur
Tahun : 2019
Tebal : 428 hlm.
Harga : Rp 150 ribu (hard cover)
Pesan : DiFA Books 085777878595

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *