Apa saja plus minus dari kebijakan pemerintah yang menimbulkan polemik di tengah masyarakat itu?
Wartapilihan.com, Jakarta –Pemerintah melalui Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informasi) menerapkan regulasi bagi para pengguna kartu seluler untuk melakukan registrasi ulang. Hal itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nomor 14 Tahun 2017.
Pakar Keamanan Cyber Cissrec, Pratama Persadha menjelaskan banyak kerugian dan indikasi cyber crime yang lebih luas dari kebijakan tersebut. Pasalnya, kata dia, sejauh ini belum ada kejelasan apakah data Pelanggan itu disimpan di Dukcapil, Kemkominfo atau Operator Seluler.
“Contoh kemarin Tiket.com, dia bisa di hijact oleh orang lulusan SMP. Di Malaysia, 46 juta data Pelanggan di retas oleh hacker. Bank BNI, nasabah bisa kepotong Rp. 1.000,- dengan alasan yang tidak logis. Jadi sekarang masih rentan sekali, Indonesia ini sangat liar. Apalagi nanti 2018 Tahun Pilkada, kita mau jamin KPU aman? Belum tentu,” ujarnya kepada wartawan dalam sebuah diskusi di Cikini, Sabtu (4/11).
Bahkan, lanjutnya, ada pihak tertentu yang menjual nomor Pelanggan dengan harga variasi. Mulai dari puluhan ribu bahkan jutaan. Menurut dia, meskipun kebijakan tersebut sudah dijalankan, pemerintah memiliki kesempatan memasukkan Undang-Undang privasi ke dalam Prolegnas (program legislasi nasional).
“Bahkan, kemarin di Bogor ada orang yang menjual dua juta lebih nomor seluler dengan harga hanya ratusan ribu. Jadi data ini sudah tersebar liar. Akibatnya, kita di tawari layanan-layanan oleh berbagai macam kepentingan bisnis, kalau tidak mau, data kita akan disebarkan ke orang lain lagi,” paparnya.
Sementara itu, Staf Ahli Kemkominfo Bidang Hukum Henri Subiakto menampik kebijakan registrasi ulang terkait dengan suksesi kepentingan sekelompok orang dalam Pilkada dan Pilpres mendatang. Menurut dia, data yang lengkap dan akurat sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi kejahatan dunia maya.
“Dalam Undang-Undang ITE kita jelas, Operator Seluler memberikan jaminan pengamanan kepada Pelanggannya. Kalau dikaitkan dengan politik, tidak nyambung. Dukungan KTP berbeda dengan registrasi dan kemungkinan maju calon independen pada Pilpres mendatang kans-nya kecil,” tutur Henri.
Penerapan regulasi tersebut, jelas dia, merupakan upaya pembangunan sistem kepada publik dari kejahatan yang terorganisir melalui dunia maya. Pemerintah, tambahnya, juga berhak dalam menata kepentingan bisnis para pelaku usaha agar on the track.
“Menata sesuatu, harus melihat dari kepentingan yang lebih luas. Dengan registrasi ulang ini akan mempersempit perilaku cyber crime dalam menjalankan aksi bulusnya. Pelaku-pelaku yang biasa menjadikan (kejahatan sebagai) profesi itu resah. Maka dibuatlah hoax di media-media sosial,” tandasnya.
Ahmad Zuhdi