Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
PKS tolak Prabowo jika tak ambil Aher atau Habib Salim Al-Jufri sebagai cawapres. Prabowo emoh. Jelas-jelas gak mau. Gak nendang. Kehilangan 15% suara NU. Akan kalah. Confirmed? Iya. Mungkin berubah pikiran? Sepertinya tidak. Buntu. Kenapa tidak cari solusi? Itulah anehnya.
Wartapilihan.com, Jakarta –Gerindra-PAN? Beberapa kali pimpinan PAN bicara tegas tidak dukung Prabowo. Mesti New Comer, katanya. Sayangnya gak di depan Prabowo. Gak juga ada media.
Prabowo-AHY? Ah, itu sekedar manuver SBY dan Demokrat. Prabowo terlalu polos untuk memahami langkah politik SBY.
Pertemuan SBY-Prabowo pertama di rumah SBY diframing media. Berhasil angkat nama AHY. Pertemuan yang kedua batal. SBY sakit? Sungguhan sakit? Mungkin iya, tapi mungkin juga hanya perlu istirahat di rumah sakit. Meski Prabowo akhirnya jenguk ke rumah sakit. Biar benar-benar kelihatan ada di rumah sakit.
Sudah diduga, SBY tak akan ikhlaskan putra mahkotanya gagal kedua kali. Gagal di Pilgub DKI, gagal pula di Pilpres. Kalau sampai terjadi, masa depan AHY gelap. Akan berpengaruh juga bagi Demokrat. Sebab, estafet Demokrat hampir pasti akan diserahkan kepada AHY pasca SBY.
Dari awal SBY siap koalisi sama Gerindra dengan catatan: capresnya bukan Prabowo. Kenapa? SBY tahu elektabilitas Prabowo tak dinamis. Meski disandingkan dengan AHY. Hanya 12,2%. Potensinya sangat kecil untuk menang. SBY yakin dan konsisten dengan kalkulasinya itu.
Syarif Hasan, utusan resmi SBY, pernah tawarkan AHY sebagai cawapres Prabowo? Ada dua kemungkinan. Pertama, Prabowo yang salah paham terhadap ungkapan Syarif Hasan. Atau sengaja dibuat dan dijebak untuk salah paham. Kedua, komunikasi dengan Prabowo didesign sebagai manuver untuk memasukkan dan naikkan nama AHY di koalisi oposisi. Boleh jadi, Syarif Hasan hanya PHP (Pemberi Harapan Palsu). Itulah politik.
SBY pemain lama yang berpengalaman dan cerdas. Hampir mustahil serahkan AHY sebagai cawapres Prabowo. Di otak SBY, Prabowo akan kalah. Begitu juga dalam pikiran sebagian kader PAN dan PKS. Sebagian kader Gerindra pun punya pendapat yang sama. Cuma gak bunyi. Silahkan dicek.
Di kompas tv semalam (18/7) Jansen Sitindaon, salah satu ketua DPP Demokrat menyebut, Demokrat siap koalisi dengan Prabowo Baru. Bukan Prabowo Lama. Maksudnya? Prabowo Lama sudah kalah dengan Jokowi di pilpres 2014. Film lama itu gak perlu diputar dan tayang ulang di 2019. Usang dan gak laku. Perlu muncul Prabowo Baru. Maksudnya, tokoh baru yang ditunjuk Prabowo.
Jansen tak mungkin berani bicara beda dengan SBY dan partainya. Bisa dipecat. Justru, apa yang diungkapkan Jansen, itulah yang dimaui oleh SBY. Sambil nonton kompas tv dari rumah sakit. Ditemani cemilan dan air hangat, SBY boleh jadi senyum-senyum mendengar ungkapan Jansen Sitindaon.
Siapa Prabowo baru? SBY kabarnya pernah menyebut nama seorang tokoh yang sekarang jadi Rising Star. Namanya populer dan sedang naik daun. Cocok jika disandingkan dengan AHY. Elektabilitasnya ok banget. Siapa dia? Tanya SBY. PKS, PAN dan Gerindra juga sudah tahu nama itu. Tokoh itulah yang dimaksud oleh Jansen Sitindaon sebagai Prabowo Baru.
Gerindra tak putus asa. Cari alternatif lain. Komunikasipun dijalin dengan Puan Maharani. Calon cawapres PDIP. Silaturahmi politik? Tak menutup kemungkinan. Tapi, Eva Sundari, kader PDIP, menanggapinya dengan dingin.
Prabowo mentok? Sepertinya begitu. Jika dipaksakan, hanya ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, terpaksa ambil kader PKS sebagai cawapres. Kalah? Sesuai yang diyakini Gerindra dan PKS. Maju untuk kalah. Meski dapat dukungan ulama dan umat? Tetap sulit. Kasusnya mirip Pilkada Jabar. Sudrajat bukan tokoh yang kuat. Umat tak mampu memenangkannya. Meski solid. Mirip Prabowo. Bukan juga tokoh yang kuat elektabilitasnya.
Kekuatan umat, meski solid, tak akan cukup. Butuh suara di luar umat. Termasuk dari kelompok nasionalis sekuler. Juga kelompok pemilih wanita dan milenial. Kelompok ini tak begitu tertarik dengan performa Prabowo yang selalu berbusana layaknya Bapak Pejuang Angkatan 45.
Ah, mendahului takdir. Hehehe. Kita akan lihat nanti. Sehari sebelum putaran pertama Pilgub DKI 2017 saya pernah posting tulisan berjudul Ahok Tamat, Anies Berkibar dan AHY Pemimpin Masa Depan (kalah, tapi punya kesempatan kedepan), ada yang bilang Tony Rosyid pengamat ngawur. Tapi, bukti bicara. Beberapa hari menjelang pilkada serentak 2018 saya juga tulis tiga calon Gerindra-PKS kalah di tiga wilayah Jawa banyak yang bilang Tony Rosyid mendahului takdir. Itu analisis dukun. Omongan paranormal. Tapi, terbukti.
Kalau politik bawa-bawa takdir Jabariyah. Analisis tak terpakai, otak diparkir, survei dianggap ngawur, itu tanda frustasi. Maka, tunggulah Kiyamat. Kalah maksudnya. Tragis lagi. Lah kok? Agama bilang: kalau suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, tunggulah kiyamat
Kemungkinan kedua, Prabowo gak dapat tiket, lalu terpaksa mundur. Tapi, tak mau berikan tiket ke siapapun. Abstain. Ini sangat berisiko. Gerindra akan ditinggalkan banyak konstituenya. Mereka kecewa. Ini otomatis akan sangat mengancam suara Gerindra di Pileg 2019.
Tapi, jika Prabowo legowo, (begitu juga dengan PKS), dan kasih tiket ke tokoh yang lebih meyakinkan, maka koalisi oposisi akan terbentuk. Siapa tokoh itu? Hasil survei mesti jadi ukuran.