Prabowo-Laila, Pesantren itu Keren!

by

Namanya Laila, lancar berbahasa Inggris padahal belum pernah ke luar negeri. Pesantren merupakan salah satu kekuatan besar yang dapat mewujudkan Indonesia berdikari. #IndonesiaBangkit

Wartapilihan.com, Depok—Cuitan Prabowo Subianto diatas yang disertai video dialog Prabowo dengan Santiwati Laila saat berkunjung ke salah satu pondok pesantren di Banyuwangi, sejauh ini sudah dilihat 174ribuan netizen.

Laila sang santriwati membuat Prabowo angkat jempol dan berucap ‘congaratulation’.  Pengucapan yang ‘very  fluent’ memancing kepenasaran Prabowo, apakah Laila pernah ke luar negeri? Dan, ternyata kemampuan bahasa Inggrisnya hanya diperoleh dari belajar di Pesantren. Prabowo sampai berujar: “Please carry on, your English is very very good!”

Zara Zetira, melalui akun twitternya (@zarazettirazr ) merespon cuitan Prabowo:Kirim ke Australi pak sekolah, tinggal dirumahku gratis..”

Pesantren, telah menggugah kekaguman karena kemampuan santrinya.  Sepi publikasi, dalam senyap mendidik generasi.  Pesantren sebagai lembaga pendidikan sudah menjadi bagian dari kehidupan kaum Muslimin di Indonesia sejak berabad-abad lalu.

Tahukah Anda, apa yang dimaksud Pesantren?

Seperti dimuat di situs web https://islamislami.com,  Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata “santri” berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berarti penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.

Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan “Tempat Santri”. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.

Ahli dan praktisi Pendidikan, Dr Adian Husaini menyebut jati diri sebuah lembaga pendidikan disebut Pesantren adalah (a) keteladanan kyai dan guru (b) pendalaman ulumuddin (tafaqquh fid-din) dan cinta tanah air, (c) penanaman adab dan akhlak mulia (d) penanaman dan pelatihan kemandirian (e) penanaman jiwa dakwah  (f) pemahaman pemikiran kontemporer.

Selanjutnya DR Adian menegaskan, Konsep pendidikan ini dengan tegas disebutkan dalam UUD 1945 pasal 31 (3): “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.”

Amanah UUD 1945 itu begitu jelas. Bahwa, tujuan utama pendidikan kita – di seluruh jenjang — harus didasarkan pada usaha pembentukan manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Tujuan ini diperkuat dengan UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Permendikbud No 20/2016 tentang SKL. Jadi, secara legal-konstitusional, tujuan pendidikan nasional sangat ideal. Simak lengkapnya di http://www.ponpes-attaqwa.com/mewujudkan-perguruan-tinggi-ideal-paparan-tentang-pesantren-tinggi-attaqwa-attaqwa-college/

Sistem Pendidikan kita haruslah fokus ke satu titik, titik itu adalah menghasilkan manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Rasanya tidak berlebihan kalau Pesantren dengan jati dirinya telah meniti jalan yang benar. Santri seperti Laila, yang walaupun selama 18 tahun hidupnya dihabiskan di Banyuwangi, begitu siap untuk berkiprah bahkan di tingkat Internasional. Insya Allah.

Menarik untuk menyimak pendapat seorang guru dari Australia yang sudah viral cukup lama di berbagai website, media sosial bahkan grup-grup chatting. Salah satunya di laman https://www.facebook.com/mienrunofoundation/ Isinya kira-kira:

“Kami tidak terlalu khawatir jika anak2 sekolah dasar kami tidak pandai Matematika. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri. Karena kita hanya perlu melatih anak selama 3 bulan saja secara intensif untuk bisa Matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga 12 Tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran berharga di balik proses mengantri. Karena tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan ilmu matematika kecuali TAMBAH, KALI, KURANG DAN BAGI. Sebagian mereka menjadi Penari, Atlet Olimpiade, Penyanyi, Musisi, Pelukis dsb. Karena biasanya hanya sebagian kecil saja dari murid-murid dalam satu kelas yang kelak akan memilih profesi di bidang yang berhubungan dengan Matematika. Sementara SEMUA MURID DALAM SATU KELAS ini pasti akan membutuhkan Etika Moral dan Pelajaran Berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka kelak”.

Selengkapnya, bisa disimak di: https://www.facebook.com/mienrunofoundation/photos/seorang-guru-di-australia-pernah-berkatakami-tidak-terlalu-khawatir-jika-anak2-s/587538824631480/

Lagi-lagi, pembentukan karakter menjadi manusia yang baik adalah nilai universal yang terpenting. Ada baiknya kita ‘ceki-ceki’ lembaga pendidikan dimana kita belajar atau emak-emak/Ibu Bangsa bisa cek juga tempat putra-putrinya belajar. Apakah pembentukan karakter yang menjadi fokus utama? Apakah pembentukan karakter terimplementasi dalam pembelajaran?  Apakah guru/pengajar memang bisa menjadi teladan? Lihat juga seperti apa model raportnya?  Dan mungkin masih banyak hal lain yang patut dikritisi. Wallahu A’lam

Abu Faris,

Praktisi Media Sosial tinggal di Depok

https://www.linkedin.com/in/kus-kusnadi-42214635/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *