Poligami, Kebutuhan atau Keinginan?

by
Ustadz M. Arifin Ilham bersama kedua istrinya. Foto: Dok. M. Arifin Ilham

Tidak ada keharusan bagi suami yang mau berpoligami memberitahu atau meminta izin terlebih dahulu dari istri pertama. Tapi Islam punya etika dalam hubungan antar suami-istri.

Wartapilihan.com, Jakarta –Pekan lalu beredar di media sosial bahwa istri seorang pengarang lagu yang sekaligus  penyanyi religi  menggugat cerai sang suami. Gara-garanya, si penyanyi diketahui telah “menduakan”nya. Lalu, lewat medsos pula, si istri mengeluarkan isi hatinya. Aib sang suami, yang mestinya ditutupi, dibuka dan menjadi konsumsi publik.

Januari lalu, publik dikejutkan oleh “kemarahan” istri seorang ustadz muda yang ternyata telah, lagi-lagi, “menduakan”nya. Kemarahan sang istri dipicu karena ia merasa dibohongi oleh suaminya lantaran pernikahannya
dengan istri mudanya sudah berlangsung selama 7 tahun dan membuahkan 2 orang anak. Sang istri akhirnya menggugat cerai suaminya.

Pada tahun 2006, seorang ustadz yang dikenal dengan manajemen Qolbunya, secara mengejutkan mengumumkan bahwa ia telah melakukan poligami. Ramailah khalayak, juga jamaah ibu-ibu, yang akhirnya membuat pamor Sang Ustadz meredup, lengkap dengan berbagai peristiwa yang mengiringi perjalanan pernikahan poligami-nya.

Dalam perjalanannya, Sang Ustadz akhirnya menceraikan istri pertamanya. Di tahun 2012, Pasangan ustadz dan Ustadzah itu menikah lagi. Jadilah istri kedua menjadi istri pertama, dan istri pertama menjadi istri kedua. Atas pernikahan ketiganya itu(dengan istri pertama yang ia ceraikan), pamor Sang Ustadz mulai terangkat lagi.

Beragam alasan lelaki melakukan poligami. Umumnya bersandar pada sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, ada yang beralasan karena kebutuhan, tak sedikit karena faktor keinginan yang begitu menggebu.

Meski tidak ada keharusan suami yang akan berpoligami memberi tahu atau meminta izin istri pertama, tapi sesungguhnya Islam  itu bermuatan etika, dimana hubungan suami-istri menjadi mawadah dan rahmah jika satu sama lain tidak ada “dusta” yang menyebabkan ketersinggungan atau merasa dilecehkan. Inilah yang perlu dijaga, agar keharmonisan keluarga (monogami atau poligami) tetap terawat dan langgeng. Di beberapa negara, negara ikut serta menegakkan etika tersebut.

Di Indonesia, para suami yang pegawai negeri, jika akan berpoligami, mesti mendapat persetujuan dari istri pertama dan atasannya di kantor. Di Malaysia, sebelum seseorang berpoligami, ia mesti diproses dulu oleh Pengadilan Syariah. Jika semua persyaratan telah dipenuhi, barulah seorang suami boleh menikah lagi.

Prasyarat ala Ustadz Arifin Ilham
Agar pernikahan poligami berjalan harmonis, resep dari Ustadz Muhammad Arifin Ilham, 47 tahun, bisa dijadikan rujukan. Ustadz Arifin menikahi perempuan berdarah Aceh, Wahyuni Al-Waly pada 28 April 1998 di Jakarta. Dua belas tahun kemudian, 2010, Ustadz Arifin secara terbuka mengumumkan pernikahan keduanya dengan seorang gadis bernama Rania Bawazier. Dua istrinya itu rukun, dan tinggal satu rumah di Sentul.

Sejak sebelum dan setelah melakukan poligami, Ustadz Arifin gencar mempromosikan poligami, sampai sekarang. Tapi, Ia memberi syarat sebagai rambu-rambu agar pernikahan poligami tidak menimbulkan gejolak, baik keluarga maupun sosial.

Pertama, lakukan shalat istikharah terlebih dahulu
Kedua, suami bisa menjadi imam dalam arti yang sebenarnya. Yakni, Imam dalam hal ilmu agama, dan imam dalam memimpin rumah tangga. Mampu secara rohani, jasmani, dan memberi nafkah secara layak;

Ketiga, suami tidak merokok, rutin shalat tahajud, shalat Subuh berjamaah di masjid, dan shalat-shalat wajib diusahakan untuk selalu berjamaah di masjid;

Keempat, disetujui oleh istri pertama, direntui oleh kedua orangtua dan kedua mertua: dan

Kelima, mampu berbuat adil.

Doa Nabi
Keadilan menjadi poin penting dalam berpoligami. Dalam surah An-Nisa’ayat 129, Allah SWT berfirman:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Bagaimana jika tidak bisa berbuat adil? Lewat sabdanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memberi peringatan:

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Abu Daud: 2133, Ibnu Majah: 1969, dan An-Nasai: 3394).

Yang dimaksud adil di sini, menurut mayoritas ulama, adalah dalam masalah nafkah, pakaian, giliran hari dan seterusnya.
Sedangkan masalah kecenderungan hati, itu diluar kekuasaan manusia, sebagaimana Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقْسِمُ بَيْنَ نِسَائِهِ فَيَعْدِلُ وَيَقُوْلُ اللَّهُمَّ هَذَا قَسَمِي فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِي فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ

Dari Aisyah bahwsanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membagi antara istri-istrinya dengan adil lalu Beliau berdoa: “Ya Allah inilah pembagianku pada perkara yang aku bisa, maka janganlah engkau mencelaku pada perkara yang engkau miliki dan tidak aku miliki (yaitu hatinya)” (HR. Abu Dawud: 2134, At-Thirmidzi: 1140, An-Nasai: 3943, dan Ibnu Majah: 1971).

Karena itu, berpoligami karena kebutuhan atau karena keinginan menjadi penting untuk dipertimbangkan masak-masak sebelum melangkah.

Herry M. Joesoef

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *