Pilkada Serentak 2018 (Bagian II-Habis)

by
foto:istimewa

Oleh: Herry M. Joesoef, Penulis Buku “Pemimpin Rahmatan Lil-‘Alamin”.

Bagi umat Islam, dalam menjalani hidup individual, keluarga, bermasyarakat dan bernegara, panduannya adalah syari’at Islam.

Wartapilihan.com, Jakarta –-Karena itu, jika kaum muslimin akan memilih wakil-wakilnya di DPR dan DPD, atau memilih presiden (juga walikota, bupati, dan gubernur), sedikitnya ada 9 hal yang mesti dipertimbangkan:

Pertama, dilihat partainya, yang ber-azas Islam, bukan sekedar berbasis massa Islam. Atau mengaku Islam tapi tidak sepenuh hati menjalankan syariatnya.

Kedua, adalah komitmennya atas penegakan syariat Islam, baik secara individual maupun kepartaian. Juga, jangan pilih calon yang berambisi atas jabatan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sangat tegas dalam sabdanya:

إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ

Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.(HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Pemimpin yang dipilih karena ambisi pribadi, maka tanggungjawabnya sangatlah berat. Sedangkan pemimpin yang dipilih karena kehendak rakyat, tanggungjawabnya lebih ringan. Hal ini karena ada dukungan penuh dari pemilihnya. Seberat apapun tugas yang diemban oleh seorang pemimpin, akan jadi ringan bila mendapat dukungan, baik dari rakyat maupun dari aparat bawahannya.

Ketiga, para pemakmur masjid. Karena para pemakmur masjid adalah orang-orang yang ber-iman, sebagaimana tersurat dalam At-Taubah ayat 18. Abu Said al-Kudri, Imam Ahmad, Imam Tirmidzi, Ibnu Mardawaih, dan al-Hakim meriwayatkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Jika kamu melihat seseorang terbiasa pergi ke masjid, maka saksikanlah bahwa dia beriman. Karena Allah berfirman, Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.”

Orang-orang yang beriman itu melaksanakan shalat jamaah di masjid, terutama shalat Shubuh dan Isya’ yang menjadi pembeda dengan orang-orang munafik. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits, “Sesungguhnya shalat yang paling berat dilaksanakan oleh orang-orang munafik adalah shalat Isya’ dan Shubuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.”

Keempat, akhlaknya. Baik akhlak pribadi, kepada keluarga, lingkungan kerja, maupun kepada masyarakat pada umumnya. Akhlak ini termasuk moral pribadinya. Masih terjadi, seorang pezina bisa lolos jadi wakil rakyat dan bupati. Bagaimana tanggungjawab para pemilih di hadapan Allah? Begitu juga, jika si calon terindikasi pernah menerima suap dan kasusnya masih bergulir, sebaiknya dihindari untuk dipilih. Persoalannya jadi lain ketika si calon sudah aman dari tuduhan korupsi.

Kelima, amanah. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberikan arahan pada umatnya, hendaknya amanah diberikan kepada mereka yang kompeten di bidangnya. Kompeten, bukan keterkenalan, atau kekayaan seseorang. Terkenal namanya, selebritas misalnya, kalau tidak punya kompetensi, mesti dihindari untuk dipilih. Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menarasikan sebuah hadits,”Apabila amanah itu disia-siakan, maka tunggulah kehancuran. Para Sahabat bertanya: bagaimana menyia-nyiakannya? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: Apabila sesuatu jabatan itu diserahkan kepada orang-orang-yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran.” (HR. Imam Bukhari)

Keenam, jika ada dua atau tiga pasangan, dan semuanya Muslim, maka carilah yang tingkat kemukminannya paling tinggi. Indikasi yang terlihat adalah shalat berjamaah di masjid, terutama Shubuh dan isya’. Lebih baik lagi jika lima waktu mereka shalat berjamaah di masjid.

Selain menilai dari shalatnya, lihat juga kehidupan sehari-harinya, kehidupan dengan keluarga, tetangga, lingkungan kerja, serta amalan-amalan shaleh lainnya.

Ketujuh, jika pasangan yang ada tidak ada yang memenuhi idealita keimanan sebagaimana tersebut di nomor enam, maka pilihlah yang paling rendah tingkat kemudharatannya.

Kedelapan, jika terjadi ganda campuran, bagaimana sikap kita? Jika ganda campuran dalam hal akidah, Muslim-Kafir atau Kafir-Muslim, maka carilah yang pasangannya Muslim-Muslim. Muslim-Kafir atau Kafir-Muslim itu sama. Ibarat kambing yang halal dicampur dengan babi yang haram, dibolak-balik, tetap saja jatuhnya jadi haram. Karena itu yang demikian mesti dicoret, tidak perlu direkomendasi apalagi dipilih.

Bukankah Allah telah melarang umat Islam menjadikan kafir sebagai teman setia? Coba simak firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 118:

يٰأَيُّهَاالَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لاَ يَأْلُو نَكُمْ خَبَالاً

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil jadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu…..

Juga firman-Nya dalam surah Al-Mujadalah ayat 22:

لاَتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ اْلأٰخِرِ يُوَآ دُّوْنَ مَن حَآ دَّ اللّٰهَ وَرَسُولَهٗ

Tidaklah kamu akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya….

Jika ganda campuran itu dalam hal identitas, Pria-Wanita atau Wanita-Pria, meskipun kedua pasangan sama-sama Muslim/Muslimah, maka pilihlah yang Pria-Wanita.

Tapi, jika selain ganda campuran tadi, pria-wanita, ada pasangan pria-pria dan tingkat kemukminannya relatif sama, maka pilihlah pasangan pria-pria mukmin tersebut.

Jika para pemilih ternyata tidak punya pengetahuan cukup tentang calon-calon yang ada, atau calon-calon yang ada tidak memenuhi kriteria satu sampai delapan di atas, adalah hak mereka untuk tidak menggunakan hak pilihnya.

Mengapa? Jika kita memilih tanpa ilmu, tanpa mengetahui “siapanya” si calon, maka kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban atas pilihan kita itu, sebagaimana tersurat dalam surah Al-Isra ayat 36:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya.

Kesembilan, berlombalah untuk memilih calon pemimpin yang terbaik di antara yang ada, sesuai dengan syarat-syarat kemukminan seseorang. Memilih pemimpin itu ibarat perlombaan, bukan pertandingan. Perlombaan itu akan menampilkan yang terbaik tanpa harus melakukan cara-cara yang terlarang oleh agama. Dalam berlomba, seseorang atau sekelompok orang menampilkan calonnya sedemikian rupa, menarasikan profil selengkap mungkin, agar ia mampu menyedot perhatian dan akhirnya menjadi pilihan rakyat. Tak ada hoax, tidak ada kampanye buruk, tidak ada fitnah yang ditujukan kepada pihak lawan.

Inilah makna fastabiqul khoirot, sebagaimana tersurat dalam Al-Baqarah ayat 148:

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Makna kalimat fastabiqul khairot dalam ayat ini adalah bersegera mentaati, menerima, dan mengikuti perintah/syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ayat tersebut berkaitan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengalihkan kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram. Secara prinsip, umat Islam dianjurkan untuk bersegera menjadi yang terdepan dalam melaksanakan ketaatan kepada Ilahi guna meraih ridho-Nya. Meraih ridho-Nya hanya akan bisa digapai jika kita tidak saling hasut, sikut, fitnah, apalagi saling menjatuhkan.

Dan Allah akan menolong (memenangkan) calon pemimpin yang mau menolong agama-Nya. Simaklah surah Muhammad ayat 7, ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.

Dan, kemenagan itu akan diberikan kepada mereka yang istiqomah dalam mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh yang makruf, mencegah yang munkar, serta mengembalikan segala urusan kepada-Nya, sebagaimana tersurat dalam surah Al-Hajj ayat 41:

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.

Bagi calon yang Mukmin, menang atau kalah itu urusan Allah, manusia sebatas ber-ikhtiar. Jika ia menang dalam pemilihan, in-Syaa Allah akan didukung oleh Allah, dan jika kalah ia tetap bertawakkal kepada-Nya. Menang tidak berlebihan dalam kegembiraan, kalah tidak perlu merasa rendah diri dan putus asa. Biasa-biasa saja. Kembalikan semuanya kepada Sang Pemilik Hidup ini.

Di akhirat kelak, baik calon maupun pendukungnya tidak ditanya, apakah engkau menang dalam pemilu, pilkada, atau pilpres? Yang akan ditanyakan adalah sejauh mana usaha kita dalam mendukung calon pemimpin Mukmin. Minimal tidak salah dalam memberikan dukungan.

Ketika kita salah dalam memilih pemimpin, karena tidak mengikuti petunjuk Qurani dan Nabi-Nya, maka kelak akan menuai penyesalan, sebagaimana digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al-Ahzab ayat 66-67:

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا

وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا

Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul”.

Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).

Jika salah dalam memilih? Kita tidak boleh melanjutkan kepemimpinan orang yang salah kita pilih itu untuk kedua kalinya. Cukup sekali saja. Dan kita pun wajib bertobat atas pilihan yang salah itu, sebagaimana Nabi Adam Alaihis Salam dan Ibunda Hawa ketika bertaubat karena telah terpedaya oleh bujukan Iblis, dengan memakan buah Khuldi yang menyebabkan mereka dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi:

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Al-A’raf: 23)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *