Politik patron hampir terjadi pada setiap suksesi kepemimpinan seorang politikus. Namun, kepada siapa dia mengabdi? Rakyat atau pemilik modal?
Wartapilihan.com, Jakarta –Memahami pengertian ideologis dalam perpolitikan kita semakin sulit karena berbagai situasi paradox yang banyak terjadi saat ini. Pertama, kita melihat merebaknya tema-tema ideologis dengan menonjolkan kearusutamaan rakyat dan agama dalam kampanye perebutan kekuasaan, baik dalam tingkat nasional maupun lokal, beriringan dengan berpacunya pencarian kontribusi dana politik melalui cara-cara korupsi dan cara menyimpang lainnya.
Kedua, pemisahan pengelompokan politik (political sphere) antara negara, rakyat dan swasta tidak lagi begitu jelas dan tegas. Market place dan public space bercampur aduk. Sehingga negara dan kekuasaan yang di masa lalu ditafsirkan sebesar-besarnya untuk keadilan sosial dan kemakmuran rakyat, karena bertumpu pada tafsir ideologis sebuah negara, berbenturan dengan kepentingan swasta yang bersifat akumulasi keuntungan.
Ketiga, adanya kerinduan akan kehadiran sosok atau figure yang kuat dan melindungi pada berbagai level kepemimpinan, namun pada saat bersamaan stock kepemimpinan defisit, sehingga kepemimpinan diisi oleh tokoh-tokoh yang tidak memerlukan visi,under capacity, cacat integritas, bahkan cenderung menjadi agen dari kepentingan pemilik modal.
Seorang pelaku politik nasional, Romi, ketua umum PPP juga mengakui adanya kecenderungan politik pragmatis, bertumpu pada uang, pencitraan diri, muncul instant, koruptif dan anti institusi. .(http://www.tribunnews.com/nasional/2017/09/15/ketum-ppp-paparkan-9-megatrend-politik-nasional?page=2 ). Tokoh politik lainnya, Pramono Anung, dalam disertasinya juga menyinggung politik berbasis uang semakin menonjol. Untuk menjadi anggota legislative dibutuhkan uang milyaran dan bahkan bisa puluhan milyar. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/04/30/mm2ivn-biaya-kampanye-calon-legislatif-capai-rp-20-miliar ). Bahkan, selevel wakil presiden Jusuf Kalla, dalam dialog “civilization” yang diorganisir Professor Din Syamsudin, Senin, 4 Oktober 2017 di kantor Wapres, mengeluhkan bahayanya situasi politik uang dan pragmatism yang terjadi saat ini.
Dominasi dan hegemoni struktur politik dan kekuasaan yang berbasis kepentingan dan uang, tentu saja menyulitkan pemetaan politik berdasarkan ideologi. Terutama jika ideologi diartikan bukan hanya artifisial, melainkan sebuah pemihakan mengarus utamakan kepentingan rakyat, keadilan sosial dan kemakmuran bangsa. Lalu bagaimana kita bisa membedah sebuah peta ideologi?
Romi, misalnya pada poin keempat “Megatrend” nya, tentang diferensiasi dan konsolidasi partai, melihat kecenderungan pengelompokan sebagai berikut: Kemungkinan pertama, secara sosiologis, situasi politik di Indonesia, terbelah antara kelompok Muslim (PPP, PKB, PAN, PKS dan PBB), Marhaen (PDIP), kelompok berbasis militer (PD, Gerindra, PKPI) dan berbasis modal (Nasdem, PG, Hanura). Atau disebut Romi sebagai 4 M. Kemungkin kedua, pengelompokan juga bisa semakin ideologis dengan (1) Muslim Tradisionalis yaitu PPP dan PKB, (2) Muslim Modernis adalah PAN, PKS, dan PBB, (3) Nasionalis kanan terdiri atas PG, Ger, Nasdem, PD, PKPI, serta (4) Nasionalis kiri yang berisi PDIP.
Namun, peta ini akan sulit dipertahankan jika dibenturkan dengan peta kepentingan pemilik modal, misalnya. Atau juga kepentingan koalisi pragmatis. Kepentingan pemilik modal maupun kepentingan aliansi pragmatis bukan saja mampu memisahkan partai satu dengan lainnya dalam pengertian sosiologis atau ideologis Romi, melainkan dapat memecahbelah partai partai tersebut di dalam, seperti yang dialami PPP dan Golkar. Dengan demikian, maka dalam pengertian elit dan kekuasaan, peta ideologis cenderung bersifat derifatif dari peta utama yang bertumpu pada kepentingan elit dan uang.
Peta ideologi yang semu dan peta politik kontemporer yang sangat pragmatis sesungguhnya mengalami tantangan dengan adanya kebangkitan populisme dan atau konservatisme (konservatisme istilah Romi dalam Megatrend nya). Kita melihat perlawanan rakyat hampir selama dua tahun di Jakarta, melawan kepentingan pemilik modal yang dijalankan Gubernur Ahok, memuncak dengan aksi 7 juta rakyat yang mengepung istana. Meskipun konservatisme berbeda dengan populisme, situasi yang terjadi kemudian memunculkan tema-tema ideologis dengan tekanan massa. Pergolakan rakyat berhasil menghentikan bisnis properti raksasa Reklamasi Teluk Jakarta, meski upaya ini menghadapi perlawanan kembali dari pemerintah pusat. Tema keadilan atas rakyat kecil tergusur (miskin kota dan nelayan), tema konservasi dan lingkungan hidup serta tema Islamisasi kepemimpinan local, menjadi keniscayaan di Jakarta. Karena Jakarta merupakan simbol nasional, maka dampak yang terjadi sampai ke daerah-daerah.
Gugatan rakyat di daerah daerah juga terjadi dengan mempertanyakan dominasi ekonomi kelompok tertentu atau aksi menghentikan projek-projek yang dianggap tidak menguntungkan rakyat setempat. Pada tahun 2018, isu hak rakyat versus swasta ini menjadi ajang pertarungan besar, seperti projek properti swasta “Meikarta” di Kerawang dan isu penolakan pabrik Semen Indonesia di Jawa Tengah. Begitu juga Freeport di papua dan Newmont di NTB. Apakah tantangan ini mempengaruhi elite partai sehingga semakin ideologis? Sampai saat ini belum begitu terlihat.
Namun, populisme dan atau konsevatisme ini belum berhenti. Hal pertama, kemiskinan, pengangguran dan ketidakpastian masa depan kalangan grassroot semakin membesar. Ditambah dengan ketimpangan sosial yang belum menurun, kecuali klaim BPS diangka perseratus. Situasi ini menjadi “bahan bakar” bagi tokoh-tokoh populis untuk memberi tekanan politik pada partai, dengan menunjukkan kegagalan partai memperjuangkan nasib rakyat. Kedua, trend populisme di dunia semakin besar. Fenomena ditingkat tokoh, seperti munculnya Donald Trump, Duterte, Le Pen, Habib Rizieq dan lain-lain berbarengan dengan dekontruksi eksistensi sebuah negara bangsa , seperti fenomena eksistensi baru Brexit, Catalonia, Skotlandia dan meredupnya eksistensi lembaga kapitalisme global; IMF, World Bank dan WTO. Tren populisme ini akan terus mendorong adanya gerakan rakyat yang terus militant dan radikal. Dengan demikian, persoalan ke depan adalah bagaimana dapat mengkompromikan radikalisme rakyat dengan kepentingan pertai partai politik, di mana partai partai ini sudah diasumsikan tidak ideologis.
Dengan demikian, harapan munculnya agenda-agenda besar ideologis tetap membara. Dan gerakan rakyat harus terus mengawalnya.
Syahganda Nainggolan, Direktur Sabang Merauke Circle.