Oleh: Syahganda Nainggolan, Owner Sabang Merauke Circle
Bagaimana Prabowo dan SBY bertemu hari ini, di saat saat waktu pendaftaran Capres/Cawapres yang semakin mendesak? Semoga saja mereka menekan ego mereka masing2. Pilihlah pilihan ketiga.
Wartapilihan.com, Jakarta — Prabowo dan Yudhoyono (SBY), merencanakan pertemuan politik mereka, setelah tertunda sebelumnya, karena SBY sakit. Pertemuan ini tentu merupakan pertemuan akbar (besar) karena beberapa hal.
Pertama, SBY dan Prabowo adalah eks militer Indonesia yang paling brilliant di masa karir militernya. Prabowo dikenal karena sisi “combatant” nya, sedangkan SBY karena kecerdasannya dalam bidang strategi dan sosial politik.
Sebagai sosok militer, tentu kedua pemimpin ini mempunyai kemampuan komprehensif melihat persoalan bangsa yang kompleks dan komplikasi (complicated), serta jalan keluarnya.
Sebagaimana kita fahami, kemampuan itu bersumber pada kebiasan mereka berfikir strategik dan juga memasukkan konsep wawasan nusantara dalam semua analisanya.
Kedua, adanya keinginan keduanya mencari presiden dan wakil presiden baru pada 2019, melalui pesta demokrasi.
Ketiga, adanya situasi kontradiktif bangsa Indonesia yang harus diselesaikan dalam waktu segera, yakni, a). politik dikotomi yang mempertentangkan Islam di satu sisi versus nasionalis di sisi lain. b). Adanya ambivalensi antara “Mahathir Syndrome” yakni yang tua tetap mau kuasa versus yang muda menuntut dituntaskannya regenerasi politik sekarang juga. c) Adanya kesulitan pilihan antara mendorong demokrasi sejati yang berbasis idealisme versus terjebak dalam demokrasi semu yang berbasis uang dan pencitraan.
Tentu saja pertemuan kedua tokoh ini ditunggu banyak pihak. Beberapa kemungkinan akan terjadi dalam pertemuan mereka tersebut. Pertama, egoisme kedua mereka muncul dengan dorongan untuk “saling tipu daya”. Situasi ini adalah “zero sum game”, di mana yang satu akan memusnahkan yang lain. Bagaimana ini mungkin muncul?
Tentu bagi pengamat yang lama melihat keduanya, sesungguhnya relivalitas kedua tokoh ini berlangsung puluhan tahun sejak di Taruna Akabri. Situasi rivalitas yang berlangsung lama, cenderung mendorong kedua pihak terperangkap pada ego masing masing, daripada mengedepankan kepentingan bersama.
Pada awal awal 90 an, berbagai pihak selalu membincangkan siapa diantara mereka mendapat bintang satu, lalu bintang dua dst.
Meski situasi saat ini sudah berbeda, namun selama keduanya masih eksis dalam politik dan kekuasaan, selama itu pula rivalitas dan perangkap “permusuhan” menjadi celah buruk bagi keduanya.
Dalam pilkada Jakarta lalu, sebagai contoh penting karena adanya pertarungan keras, kedua mereka terjebak dalam ego rivalitas. SBY tidak memberikan dukungan pada Prabowo pada putaran kedua pilkada, karena sebelumnya, Prabowo membiarkan SBY diserang oleh kekuatan Pro Jokowi dan Pro Ahok.
Kedua, kemungkinan kedua adalah adanya kesepakatan pragmatis. Prabowo menawarkan dirinya sebagai Capres, dan SBY menawarkan kadernya, Agus Yudhoyono (AHY), sebagai Cawapres.
Hal ini sangat rasional terjadi. Sebab, kekuatan oposisi utama, Gerindra, PKS dan PAN akan mendapatkan energi politik besar dari klan Yudhoyono, jaringan poltiknya, baik lokal maupun asing, maupun pasokan logistik.
Sebagaimana diperkirakan, Kelompok oposisi saat ini mengalami tekanan logistik, yang mengakibatkan kekalahan pilkada di Jateng dan Jabar baru baru ini.
Kemungkinan pasangan ini tentu saja harus mendapat dukungan dari kelompok2 Islam dan luar Jawa serta politisi sipil. Namun, sebagai Presiden dua periode yang faham merangkul kekuatan itu, SBY punya jurus jurus untuk dapat dukungan. Di Pilkada Jakarta lalu, SBY membuktikan, koalisi Jokowi pecah dalam mendukung Ahok akibat SBY merangul PPP dan PKB.
Di Pilkada Jabar, SBY juga berhasil mengurangi ketegangan politik berbasis isu agama dan suku, dengan merangkul dua figur yang sebelumnya berkontradiksi, yakni Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi.
Dalam pilpres 2009, SBY juga mengambil Cawapres nya dari sesama suku Jawa, bahkan satu kampung (sebagai catatan pilpres di USA melarang pasangan calon dari satu daerah/state yang sama). Saat itu SBY tetap mampu meredam kecemburuan tokoh2 luar jawa.
Dengan demikian, kita fahami bahwa kehadiran SBY dalam koalisi besar dengan oposisi, keberadaannya sangat rasional untuk terjadi.
Skenario ketiga, SBY dan Prabowo sama sama memikirkan regenerasi politik nasional. Hal ini mungkin terjadi jika mereka tidak latah dengan contoh yang diberikan Jusuf Kalla, diusia uzur, masih menyatakan ambisinya untuk kembali jadi Cawapres Jokowi. Memang di negara tetangga ada Mahathir yang sudah uzur tua renta masih menjadi Perdana Menteri. Namun, membandingkan secara simplistis situasi di sana, akan membuat kita lupa fenomena dunia lainnya, yang banyak menghasilkan orang orang muda sebagai kepala negara.
Regenerasi politik juga penting untuk memberikan kesempatan kepada orang orang tua menjalani kehidupan spritual yang membebaskan diri dari pertarungan duniawi. Sebuah kebajikan (wisdom) bangsa kita adalah mendorong orang orang tua lebih banyak waktu diluangkan di kegiatan2 keagamaan dan sosial.
Pilihan ketiga ini mungkin tercapai, sekali lagi, jikalau ego SBY dan Prabowo dikontrol oleh “wisdom” mereka, sebagai sesama “pemain tua”.
Pasangan presiden dan Wapres yang diusung mereka, serta agenda agenda kebangsaan yang dijadikan isu sentral, menjadi lebih fleksibel untuk dibahas.
Sebagai “pemain tua”, SBY dan Prabowo kita sebut sebagai “King Maker”. Mereka menjadi “pandita ratu” yang membimbing. Sedangkan Capres dan Cawapres diserahkan kepada orang2 muda.
Stock orang-orang muda sendiri di kubu oposisi sangat banyak. Jika SBY merasa AHY maksimum sebagai Cawapres, sebagaimana dia percaya dari peluang hasil-hasil survei, maka Gerindra, PKS dan PAN dapat memutuskan calon presiden. Dalam dukungan PKS, yang masih dikatagorikan muda, ada Ahmad Heryawan dan Anies Baswedan. Dalam kacamata PAN, ada Zulkifli Hasan dan Sutrisno Bachir. Dalam perspektif Gerindra ada Sandiaga Uno, Fadli Zon dan Ferry Juliantono.
Sekali lagi, pilihan ini sangat bijak. Dan membuka peluang adanya kepemimpinan baru yang dinanti #2019 Ganti Presiden.