Oleh : M. Amin Djamaluddin
(Staf Khusus Pak Natsir dalam Bidang Aliran Sesat)
Pada suatu hari, Bapak M. Natsir (Allaahu yarham) bercerita di hadapan Pak Sukayat (Allaahu yarham) dan saya (M. Amin Djamaluddin) di kantornya DDII Jl. Kramat Raya no. 45 Jakarta Pusat.
Wartapilihan.com, Jakarta –-Pak Natsir berkata, “Suatu hari, Presiden Ir. Soekarno datang menemui saya (M. Natsir) dan berkata, “Saudara Natsir, saya serahkan negara ini kepada Saudara!” Kedatangan Presiden Soekarno menemui Pak Natsir itu, disebabkan Indonesia ini sudah tidak ada lagi, dan yang ada adalah negara serikat yang bernama RIS (Republik Indonesia Serikat) yang sudah terbagi menjadi 16 (enam belas) negara bagian.
Setelah didatangi oleh Presiden Soekarno tersebut serta mengatakan perkataannya, “Saya serahkan negara ini pada Sdr. Natsir!” maka Pak Natsir segera menemui gurunya, A. Hassan.
Kepada gurunya A. Hassan, Pak Natsir menceritakan bahwa Presiden Soekarno telah datang menemuinya, dan Bapak Presiden telah menyerahkan negara ini (Republik Indonesia) kepada saya. “Adakah saran dari Tuan Hassan dalam masalah ini?” Pak Natsir meminta petunjuk dari gurunya A. Hassan.
Sejenak kemudian, A. Hassan pun menjawab, “Ingat Sdr. Natsir, waktu dinding Ka’bah roboh terkena banjir, dan Hajar Aswad terbawa banjir, pada waktu itu, seluruh kabilah Quraisy berebut untuk mengembalikan Hajar Aswad tersebut ke tempatnya semula. Pemimpin kabilah yang ini mengatakan bahwa mereka lah yang berhak untuk mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula. Sedangkan pemimpin kabilah yang lain mengatakan bahwa mereka lah yang berhak untuk mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya. Pendeknya, perebutan untuk mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula hampir membuat perpecahan di antara kabilah-kabilah Quraisy di Mekkah pada saat itu.
Akhirnya Muhammad bin Abdullah mengadakan rapat dengan semua pemimpin kabilah Quraisy tersebut. Pada saat itu, Muhammad bin Abdullah belum menjadi Nabi dan Rasul, karena baru berusia 25 tahun. Rapat tersebut memutuskan bahwa yang berhak mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula adalah orang yang paling dahulu masuk Masjidil Haram nanti Subuh.
Ternyata, orang yang paling dahulu masuk Masjidil Haram adalah beliau sendiri (Muhammad bin Abdullah). Menurut keputusan rapat berarti Muhammad bin Abdullah lah yang berhak mengembalikan Hajar Aswad tersebut ke tempatnya semula.
Akan tetapi, apa yang beliau lakukan? Muhammad bin Abdullah meletakkan Hajar Aswad tersebut di atas sehelai kain tebal, kemudian beliua mengajak semua pimpinan kabilah-kabilah Quraisy itu untuk sama-sama memegang kain yang di atasnya ada Hajar Aswad tersebut, kemudian mengangkatnya bersama-sama dan dengan tangan beliau lah Hajar Aswad tersebut diletakkan di tempatnya semula. Akhirnya terhindar lah perpecahan di antara kabilah-kabilah Quraisy pada saat itu.
Mendengar kisah ini, akhirnya Pak Natsir menemui semua presiden RIS (Republik Indonesia Serikat) seorang demi seorang. Pak Natsir mengajak seluruh presiden RIS untuk kembali ke RI (Republik Indonesia).
Setelah berkali-kali Pak Natsir menemui semua presiden RIS tersebut, akhirnya semuanya sepakat untuk kembali ke RI (Republik Indonesia).
Kemudian, setelah semua presiden RIS setuju untuk kembali ke RI, barulah Pak Natsir membawa masalah tersebut ke Majlis Konstituante, yang menghasilkan keputusan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan bukan RIS.
Bagaimana sulitnya mengembalikan RIS tersebut menjadi NKRI, sangat luar biasa, menurut cerita Pak Natsir. Oleh sebab itu, Pak Natsir berpesan kepada seluruh umat Islam Indonesia dengan mengatakan bahwa NKRI itu adalah harga mati, jangan coba-coba diganggu gugat oleh kalian. Kalau kalian ingin menegakkan hukum Islam di NKRI, maka kalian harus membuat partai politik yang benar-benar islami dan pilihlah calon-calon anggota DPR RI dan MPR RI dari orang-orang yang benar-benar islami. Sehingga, jika partai-partai kalian tersebut menang di Pemilu, maka anggota DPRRI yang telah dipilih oleh rakyat bisa membuat UU yang berdasarkan hukum Islam. Cara ini lah yang harus kalian perjuangkan.
Selain itu, Pak Natsir juga berpesan kepada saya (M. Amin Djamaluddin) pada saat beliau sedang berbaring sakit, tepatnya sewaktu saya memijat kaki beliau di atas tempat tidurnya di rumah beliau, “Sdr. Amin, Kramat Raya 45 Pusat Dewan Da’wah itu adalah markas perjuangan umat Islam, jangan Saudara tinggalkan Kramat 45 itu!” II