Pertemanan dan Berjaringan dalam Dakwah

by
Bu Vina dan Bu Lisa, blusukan naik motor. Foto: koleksi pribadi

Masya Allah, di lereng Merbabu ini, Sawi putih hanya dihargai 300/kg, buncis 500/kg, kobis 500/kg, kacang panjang 1000/kg. Sebuah harga yang hanya cukup untuk membeli sebutir permen

Wartapilihan.com, Jakarta—Itulah tulisan saya, tepatnya curhat di akun facebook saya tentang harga sayur yang sangat anjlok di lereng Merbabu. Maksudnya harga pembelian di tingkat petani, bukan dari tengkulak, apalagi harga pasar. Di musim penghujan begini memang harga anjlok.

Kondisi harga anjlok ini menyebabkan sebagian petani lereng Merbabu enggan memanen sayurnya. Karena biaya panen lebih mahal daripada harga jual. Mereka membiarkan sayurnya membusuk begitu saja di ladang. Mereka rugi. Dan kondisi ini sering sekali terjadi. Sebuah siklus yang membuat petani sayur sering menangis.

Saya percaya bahwa banyak sekali orang baik di sekitar kita. Itulah mengapa kita perlu share mimpi kita, agar orang2 bisa ikut membantu mewujudkankannya. Tentu saja mimpi baik yang bisa bermanfaat bagi orang banyak.

Tak disangka tak dinyana, ada temen saya punya temen. Terus dia punya temen lagi. Rantai ketiga dari pertemanan :-).

Nah temennya temen ini merespon serius kondisi ini. Namanya Bu Vina dan Bu Lisa. Mereka sangat antusias untuk menolong dan mengusahakan harga sayur bisa lebih bersahabat. Bu Vina adalah auditor senior halal dan aktivis Keluarga Alumni LDK IPB, orang Bogor. Sedangkan Bu Lisa seorang peneliti, orang Jakarta.

Hari Sabtu kemarin (16/2/2019) mereka terbang ke Semarang. Kemudian langsung manjat ke lereng Merbabu. Masya Alloh, saya sampai takjub melihat semangat kedua ibu hebat ini.

Mereka juga ikut rapat MCKS (Muallaf Center Kab Semarang). Menjelaskan  ‘planning’ mereka untuk para petani di lereng Merbabu. Dua hari mereka blusukan ke lahan pertanian. Mengadakan survey jenis tanaman, luas lahan, harga jual dan lain-lain. Saya sendiri kurang faham tentang seluk beluk pertanian. Ada beberapa tanaman yang divakum dan dibawa ke Jakarta. Mau dijadikan ‘sampel’. Karena sudah ada beberapa teman di Jakarta yang siap menampung sayur tersebut.

Bu Vina & Bu Lisa menjelajah lereng Merbabu menggunakan motor. Saya bengong melihat mereka begitu handal motoran, padahal medannya naik turun tajam. Mereka terlihat begitu enjoy dan gembira. Tertawa lepas menikmati keindahan dan kesegaran lereng Merbabu.

Tapi ada satu hal yang membuat Bu Vina merinding. Dia terkejut melihat betapa di sepanjang lereng Merbabu berdiri berderet dengan gagah rumah ibadah agama lain. Dia merasa seperti bukan berada di pedesaan Indonesia. Biasanya di pedesaan berdiri masjid atau musholla. Pemandangan yang umum hampir di seluruh pedesaan.  Dia sudah sering menjelajah ke berbagai pedesaan di Indonesia untuk mengadakan penelitian. Tapi baru di lereng Merbabu ini dia menemukan suasana yang lain. Suasana aneh yang membuatnya serasa berada di negeri antah berantah. Suasana yang membuatnya bersedih.

Melihat kondisi lereng Merbabu yang “aneh” tersebut, membuat Bu Vina dan Bu Lisa semakin semangat untuk berbuat sesuatu. Untuk menolong para petani yang mayoritas muslim dhuafa. Bu Vina & Bu Lisa bertekad melanjutkan penelitian ini. Dan berharap bisa bermanfaat utk meningkatkan nilai jual sayur para petani lereng Merbabu.

Masya Alloh….saya sampai merinding melihat semangat mereka. Orang kota yang blusukan naik  motor di pegunungan. Semoga Alloh mudahkan penelitian ini. Dan semoga bisa menjadi keberkahan bagi para petani sayur di lereng Merbabu. Aamiin

 

Penulis: Widi Astuti

Daiyah & Aktifis MCKS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *