Personifikasi Politisi Dalam Soal Ujian Negara

by
Ujjan Nasional. Foto: Jawapos.com

. Oleh: Nindira Aryudhani

Beberapa minggu belakangan ini adalah masa ujian bagi para peserta didik. Baik yang ujian kelulusan, kenaikan kelas, maupun yang hendak masuk perguruan tinggi. Suasana belajar pun tak ayal meningkat. Demi meraih nilai berikut menggapai cita-cita terbaik.
.
Wartapilihan.com, Jakarta –Namun demikian, santer pula diberitakan bahwa soal-soal ujian tersebut rata-rata dirasakan sulit oleh para siswa. Terlebih saat UNBK beberapa waktu lalu, dengan adanya standar HOTS (High Order Thinking Skill/Keahlian Berpikir Level Tertinggi). Hingga sempat viral cuitan isi hati sejumlah siswa yang memicu tawa hebat warganet di media sosial. Banyak soal dalam ujian tersebut yang tidak sesuai kenyataan sehari-hari. Akibatnya, soal-soal tersebut dianggap tidak relevan dengan logika hidup pada umumnya.
.
Tak hanya itu, soal-soal ujian negara untuk masuk perguruan tinggi juga diprediksi akan sulit. Belum lagi dengan konsep baru penilaian hasil ujian tersebut, jelas membuat para peserta harap-harap cemas, lolos atau tidak.
.
Akan hal ini, seyogyanya ada titik poin kritis. Diantaranya tentang tingkat kesulitan soal. Andai mau sadar, soal yang sulit atau tidak bisa dikerjakan oleh peserta ujian, seringkali bukan semata akibat peserta kurang belajar atau salah strategi belajar. Namun, soal-soal tersebut telah berpijak pada kasus khayali. Jadi, tidak bisa dibayangkan kejadian/kasusnya.
.
Kita dapat berkaca pada soal UNBK yang lalu. Soal-soal ini dikatakan tidak relevan dengan logika umum tadi hingga dikatakan sebagai peristiwa malpraktik pendidukan. Padahal soal-soal ujian semestinya memuat pesan dalam rangka problem solving. Yakni mengatasi permasalahan kehidupan.
.
Sejatinya, sekolah adalah inkubator kehidupan. Soal-soal yang diberikan kepada siswa seharusnya menjadi bagian pembelajaran agar sesuai dengan realita kehidupan yang ada. Jika demikian halnya, tentu siswa akan lebih mudah mencerna dan menyelesaikan soal. Karena isi soal tersebut sesuai dengan fakta keseharian hidup.
.
Akan tetapi, jika soal tak bisa dilogikakan atau tak sesuai dengan fakta keseharian, maka dijamin soal tersebut akan terasa sulit. Misalnya dalam salah satu bahasan mata pelajaran Matematika, yakni Diferensial dan Integral. Jika kedua bahasan ini hanya sebatas ilmu berhitung, maka jangan heran ketika suatu saat siswa akan sampai pada titik jenuh dan selalu berujung kesulitan saat mengerjakan soal. Ini karena siswa tidak dibiasakan untuk diberi gambaran kasus yang akan diatasi dengan ilmu berhitung Diferensial dan Integral tersebut.
.
Pasalnya, kondisi ini kian mempersuram arah pendidikan kita secara sistemik. Standar dan pola pendidikan ciptaan akal manusia justru mengkerdilkan kemampuan peserta didik. HOTS adalah jiplakan dari Barat, yang sudah ditinggalkan karena tidak mampu melahirkan keterampilan berpikir siswa.
.
Beda halnya, jika siswa diberi gambaran penerapan konsep berhitung semacam Diferensial dan Integral tadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya gambaran tentang pembuatan mesin, merancang suatu bangunan, proses pengolahan produk pangan, dsb. Dengan ini maka logika menuju penyelesaian soal ujian sebagai problem tataran mikro berikut permasalahan kehidupan sebagai problem tataran makro, akan segera menemukan solusinya. Inilah yang sesungguhnya disebut ilmu lil amal. Suatu ilmu dipelajari memang untuk diterapkan. Konsep ilmu lil amal ini adalah kurikulum sejati yang dapat ditunaikan dalam menjalani kehidupan.
.
Metode dan pola pembelajaran semacam inilah yang semestinya diadopsi. Semata demi terwujudnya generasi terdidik yang tak sekedar bangga meraih gelar, tapi juga yang paham akan urusan-urusan keumatan yang harus mereka atasi berdasarkan keilmuan yang dimilikinya. Sistem pendidikan semacam ini memerlukan naungan supra sistem kehidupan yang juga bervisi-misi untuk mengurusi urusan umat.
.
Maka sungguh sedemikian urgennya personifikasi politisi dalam soal-soal ujian yang merupakan prototipe problematika kehidupan manusia itu sendiri. Politisi di sini adalah dalam konteks mengurusi dan menyelesaikan beragam persoalan kehidupan.
.
Bayangkan andai para peserta didik dalam sistem pendidikan kita sejak dini terbiasa mengerjakan soal-soal yang bervisi problem solving. Mereka tidak akan menjadi intelektual pragmatis yang tersekat antara ego sektoral akademik dengan proses pengelolaan solusi bagi isu-isu kemasyarakatan. Dan tentunya akan mudah ditemukan para intelektual yang sekaligus mampu menjadi politisi problem solver. Yakni politisi yang mampu mengurusi dan menyolusi urusan masyarakat. Bukan politisi berupa generasi problem maker atau malah corruption maker.
.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *