India berencana mendeportasi pengungsi Rohingya di negaranya, bahkan terhadap pengungsi yang terdaftar di UNHCR.
Wartapilihan.com, India –Mahkamah Agung India telah mendengar argumen dari pemerintah dan dua orang perwakilan Rohingya yang telah mengajukan petisi menentang rencana pemerintah untuk mendeportasi para pengungsi yang teraniaya tersebut.
Persidangan akan dilaksanakan pada hari Selasa (13/10) dan meminta kedua pihak untuk menghentikan argumen emosional.
Sebuah persidangan yang dipimpin oleh Ketua Keak Misra meminta kedua pihak untuk menyusun semua dokumen dan konvensi internasional untuk membantu pengadilan.
Pengacara pemerintah, Tushar Mehta, mengatakan kepada pengadilan tersebut selama persidangan bahwa pengungsi Rohingya akan menyebabkan upah turun. Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa Rohingya adalah ancaman keamanan.
Ravi Nair dari Pusat Dokumentasi Hak Asasi Manusia Asia Selatan mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pemerintah India “menderita Islamofobia dan melihat setiap Muslim sebagai teroris potensial”.
“Pasal 21 dari konstitusi India dengan jelas mengatakan bahwa hak atas kehidupan tersedia bagi warga negara dan bukan warga negara, ” katanya.
Dari 40.000 pengungsi Rohingya, lebih dari 16.000 terdaftar di badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun pemerintah mengatakan bahwa bahkan mereka yang terdaftar di UNHCR tidak akan terhindar dari deportasi.
Pengacara yang mewakili Rohingya, Prashant Bhushan, telah mencela rencana tersebut. “Ini jelas merupakan kasus diskriminasi agama dan upaya untuk membangkitkan perasaan anti-Muslim,” kata Bhushan.
Pemerintahan Modi telah dikritik oleh para aktivis karena tidak berbicara menentang serangan militer Myanmar baru-baru ini terhadap orang-orang Rohingya dan kelompok sayap kanan di India telah mulai memfitnah Rohingya yang tinggal di sana.
Arijit Sen, seorang peneliti dengan Amnesty International, menyebut pendirian pemerintah Modi terjangkiti “campuran paranoia dan xenofobia”.
“Ini adalah pendekatan yang menyambut baik pengungsi Hindu dari negara-negara tetangga India, namun menutup pintu pada Rohingya yang sebagian besar beragama Islam atas nama keamanan nasional,” tulisnya dalam sebuah artikel di Al Jazeera.
“Namun, langkah ini bertentangan dengan kewajiban hukum internasional India dan juga jaminan konstitusionalnya terhadap hak asasi manusia.”
Pemimpin oposisi India dan mantan Menteri Luar Negeri Shashi Tharoor telah mengkritik pendirian pemerintah di Rohingya.
“India memiliki tradisi ribuan tahun untuk memberi perlindungan kepada mereka yang mencari perlindungan, yang seharusnya tidak diabaikan,” kata Tharoor, mantan Sekretaris Jenderal PBB, seperti dikutip oleh kantor berita UNI.
Lebih dari setengah juta orang Rohingya telah meninggalkan rumah mereka di Myanmar dan berlindung di kamp pengungsi yang kumuh di distrik Cox’s Bazar di Bangladesh dekat perbatasan, sejak 25 Agustus.
Militer Myanmar meluncurkan apa yang disebutnya “operasi pembersihan” terhadap komunitas etnis Rohingya setelah sebuah pangkalan militer mendapat serangan dari para pejuang Rohingya.
Ratusan orang Rohingya telah terbunuh, perempuan diperkosa, dan sebagian besar desa Rohingya dibakar dalam serangan pembalasan dendam yang didukung oleh massa Buddha.
“Saya tidak tahu apa yang dipikirkan pemerintah saat membicarakan deportasi,” kata Nair.
“Jika pengungsi dikirim kembali secara paksa, mereka pasti akan menghadapi penyiksaan dan mungkin menghadapi kemungkinan kematian. Jelas, ini adalah pelanggaran terhadap pasal 21. Ini adalah alasan utama Mahkamah Agung akan mendengar petisi tersebut.”
Moedja Adzim