Pengkhianatan Barat pada Palestina

by
foto:istimewa

Mengapa dunia seolah melupakan keterjajahan Palestina oleh Israel dan kini baru terhenyak mendengar pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel?

Wartapilihan.com, Jakarta –Padahal dengan atau tanpa pernyataan Trump tersebut, faktanya negeri Palestina memang telah lama diokupasi Israel termasuk di dalamnya adalah kota Yerusalem yang oleh umat Islam disebut sebagai Baitul Maqdis tempat masjidil Aqsha berada. Sebenarnya polemik yang kini muncul terkait pernyataan Trump, bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba tiba melainkan sudah bisa diprediksi.

Sebenarnya ini hanyalah pengukuhan dan penegasan kembali dukungan Barat pada Yahudi Zionis atas pencaplokan dan penjajahan Palestina, yang dimulai dengan Deklarasi Perjanjian Balfour 2 November 1917 yang  merupakan konspirasi Internasional atas Palestina.  Dari aspek historis, deklarasi Balfour tidak bisa dilepaskan dari gerakan Zionisme yakni gerakan kaum Yahudi yang meyakini konsep nasionalisme yahudi untuk kembali ke tanah yang dijanjikan (The Promised Land) yakni Palestina.

Setelah genap satu abad  pengkhianatan Barat pada Palestina melalui Deklarasi Balfour ( 2 November 1917-2 November 2017), aksi Donald Trump yang secara sepihak memberikan pengakuan pada Israel untuk menjadikan Yerusalem (kota suci bagi umat tiga agama) sebagai ibu kota Israel jelas merupakan pengkhianatan yang lebih parah, karena mengabaikan fakta bahwa kota itu juga merupakan kota Baitul Maqdis bagi Umat Islam tempat beradanya masjidil Aqsha. Sebab dalam deklarasi Balfour pun ditegaskan bahwa Yerusalem adalah ibu kota bersama yang tidak boleh diganggu gugat.

Pernyataan Donald Trump tersebut yang seolah menantang dunia itu, segera mengundang kecaman luas dari dunia internasional, terutama dunia Islam. Presiden Turki, Erdogan yang selama ini konsisten menjadi representasi ummat Islam di tingkat global segera angkat bicara dan mengatakan bahwa AS telah melampaui batas dan melukai hati ummat Islam dunia dengan tindakannya tersebut. Di Palestina sendiri selama ini Israel telah menunjukkan tindakan represif dan pelanggaran HAM terhadap warga Palestina, maka pengakuan AS tersebut hanya akan  memperparah keadaan. Sebab pengakuan tersebut menjadi pembenaran atas sikap destruktif Israel selama ini.

Namun berbeda halnya dengan Turki yang telah secara konsisten berada di garda terdepan dalam pembelaannya terhadap perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka, sikap Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi Muslim terbesar di dunia bisa dibilang membingungkan. Presiden dan Menlu RI mengecam sikap AS tersebut, namun Dubes AS bersikeras telah mendapatkan persetujuan dari Indonesia untuk mendeklarasikan dukungannya pada Israel yang memang sejak lama sudah ingin memindahkan ibu kotanya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Pernyataan Dubes AS tersebut jelas menunjukkan ketidakjelasan sikap dan inkonsistensi pemerintah Indonesia dalam hal pemberian dukungannya kepada upaya pembebasan Palestina.

Selain berkaitan erat dengan peringatan 1 abad deklarasi Balfour yang merupakan pengkhianatan Barat pada Palestina, aksi AS kali ini juga erat kaitannya dengan ketakutan Barat akan tanda tanda kebangkitan kembali kekuatan Islam yang dipimpin Turki di tahun 2023, yakni tepat 100 tahun keruntuhan khilafah Turki Utsmani. Turki sendiri sudah melaungkan slogan: “ Turkiye hazir hedef iki bin yirmi uc (2023). Turki siap menghadapi tahun 2023.”. Dan memang dunia Islam tengah menunggu-nunggu saat kebangkitan Islam menjelang genap seabad keruntuhan Khilafah Turki Utsmani dan hal itu diyakini jelas ada implikasinya bagi upaya kemerdekaan Palestina. Dan Turki menjadi negara Islam yang ‘leading’ memimpin berbagai upaya menuju pembebasan Palestina. Israel sendiri sangat meyakini bahwa tegaknya kembali Khilafah Islamiyah dalam paradigma modern dengan dipimpin Turki akan memungkinkan merdekanya Palestina. Hal itu jelas sangat menakutkan bagi Israel yang dengan bantuan Barat telah mencaplok tanah Palestina. Maka kini Israel kembali menggunakan AS melalui pernyataan Donald Trump untuk mengamankan dan bahkan ‘menyempurnakan’ penjajahannya atas negeri Palestina.

Deklarasi Balfour bermula dari surat tertanggal 2 November1917 yang ditandatangani oleh Menteri Luar Britania Raya; Arthur James Balfour, dan ditujukan kepada Walter Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi di Inggris untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis. Pemerintah Inggris mendukung rencana Zionis mewujudkan ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina, dengan syarat tidak boleh merugikan hak-hak bangsa  Palestina yang telah ada lebih dulu di sana.

Sebelumnya Perjanjian tersebut, sebagian besar wilayah Palestina berada di bawah kekuasaan Khilafah Turki Utsmani.  Kemudian dibuatlah batas-batas baru Palestina dalam Perjanjian Sykes-Picot 16 Mei 1916 antara Inggris dan Perancis. Sebagai balasan untuk komitmen dalam deklarasi tersebut, komunitas Yahudi meyakinkan Amerika Serikat untuk ikut dalam Perang Dunia Pertama. Namun sebenarnya di Inggris memang telah ada dukungan bagi gagasan ‘tanah air untuk Yahudi.

Salah satu tokoh utama Yahudi yang ikutdalam pembahasan deklarasi ini adalah Dr. Chaim Weizmann, ahli kimia yang berhasil mensintesiskan aseton yang diperlukan dalam menghasilkan cordite, bahan pembakar yang diperlukan untuk mendorong peluru-peluru. Saat ditanya bayaran apa yang diinginkan, Weizman menjawab, “Hanya ada satu hal yang saya inginkan, tanah air buat orang-orang saya.”

Dan keinginannya itu direalisir melalui Deklarasi Balfour. Isi Deklarasi Balfour kemudian digabungkan ke dalam perjanjian damai Sèvres dengan Turki Utsmani dan Mandat untuk Palestina.

Dalam teks akhir Deklarasi Balfour frase “tanah air” secara disengaja digunakan sebagai pengganti “negara”.

Tetapi sebenarnya banyak pejabat Inggris yang setuju dengan interpretasi kaum Zionis bahwa hasil akhir yang diharapkan memang sebuah negara.  Bahkan di naskah awal ada kesan bahwa tanah air buat Yahudi tersebut adalah mencakup seluruh Palestina sebelum kemudian diubah. Demikian pula di naskah awal tidak ada persyaratan untuk tak merugikan hak-hak komunitas non-Yahudi. Perubahan-perubahan ini terjadi antara lain karena desakan Edwin Samuel Montagu, seorang anti-Zionis Yahudi yang berpengaruh yang prihatin bahwa bila deklarasi tersebut tidak diubah maka akan meningkatkan sentimen dan tindakan anti-Semit. Dan memang sebagaimana halnya Persetujuan Sykes-Picot sebelumnya, deklarasi ini pun dipandang banyak orang Arab sebagai pengkhianatan besar.

Oleh karena itu tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza hingga hari ini tak lepas dari dosa politik Inggris. Sebab, negara itulah yang mengizinkan warga Yahudi eksodus ke Palestina dan akhirnya mendirikan negara baru. Dukungan Inggris atas imigrasi besar-besaran warga Yahudi ke Palestina tertuang dalam Deklarasi Balfour pada 2 November 1917. Dalam perjalanannya, warga Yahudi ini kemudian mendirikan negara Israel pada tahun 1948. Sebuah negara yang muncul kembali setelah lebih dari 2.500 tahun menghilang dari muka bumi, karena konflik internal dan penjajahan. Israel pun lantas terlibat pertikaian perebutan wilayah dengan Palestina dan Yordania, serta negara-negara Arab lain. Selama Perang Dunia I Inggris mengambil alih Yerusalem (1917) dan menetapkan kota itu di dalam The Palestine Mandate dari tahun 1922-1948. Pada tahun 1948, Inggris sebagai pemegang otoritas tanah Palestina tiba-tiba menyatakan tidak bertanggung jawab lagi atas seluruh Palestina yang dikuasakan kepadanya oleh Liga Bangsa-Bangsa yang telah bubar.

Maka selanjutnya berdirilah negara Israel diproklamirkan David Ben Gurion, yang kemudian menjadi Perdana Menteri Israel pertama (1948-1953), tepatnya terjadi pada tanggal 14 Mei 1948 pukul 16. 00 waktu setempat. Itulah pengumuman resmi dimulainya penjajahan babak baru yang dilakukan zionis Israel sebagai kelanjutan penjajahan Inggris atas tanah Palestina. Berdirinya “Negara Israel” merupakan hasil konspirasi musuh-musuh Islam terhadap kaum muslimin di Palestina khususnya dan masjid Al-Aqsha, kiblat umat Islam yang pertama. Terbukti hanya berselang 10 menit setelah proklamasi “kemerdekaan Israel”, Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman langsung mengumumkan sikap resmi negaranya dengan mengakui dan mendukung berdirinya “Negara Israel”, serta langsung membuka hubungan diplomatik secara resmi.

Israel kemudian mulai menjajah bangsa Palestina dan sejak saat itu rakyat Palestina sangat menderita. Anak-anak kelaparan, perempuan-perempuan diperkosa, laki-laki dibunuhi dan diusir dari kampung halamannya serta bangunan-bangunan dihancurkan. Banyak yang terpaksa mengungsi karena ingin menyelamatkan aqidah dan harga dirinya. Saat ini diperkirakan ada 5 juta pengungsi bangsa Palestina di seluruh dunia atau 70 persen dari total populasi Palestina. Lebih dari dua pertiga dari total pengungsi Palestina terdaftar di UNRWA (UN Relief and Works Agency) dan sepertiga di antaranya tinggal di 59 kamp pengungsi yang tersebar di seluruh Tepi Barat, Jalur Gaza, Lebanon, Syria,Turki dan Jordan. Lebih dari 80 persen pengungsi menetap sekitar 100 km dari kamp dan kota asal mereka.

Dalam pernyataan persnya di tahun 2007 pemimpin-pemimpin Hamas di Palestina yang memperingati 90 tahun perjanjian petaka Balfour menuliskan, “Rakyat Palestina akan tetap pada garis pertahanannya semula, dan memilih melakukan perjuangan melawan perampok penjajah Zionis. Palestina adalah tanah air yang memiliki akar bangsa Arab dan Islam.” Hamas juga meminta dunia internasional turut bertanggung jawab secara historis dan moral terhadap semua dampak akibat perjanjian Balfour, yang merupakan skenario Inggris. Menurut Hamas, semua bentuk kejahatan, baik pengusiran, pembunuhan, penangkapan, penyiksaan oleh tangan penjajah Zionis yang keji adalah rentetan akibat perjanjian Balfour. Oleh karena itu Hamas meminta dunia internasional meluruskan kesalahan fatal dalam sejarah ini dengan tidak mengulanginya kembali. Hamas tegas menyatakan akan melanjutkan perlawanan bersenjata mengusir penjajah Zionis Israel dan juga melalui berbagai cara untuk mengembalikan hak-hak rakyat Palestina. Hamas menegaskan tidak akan mundur dari medan perlawanan bersenjata kecuali setelah semua hak Palestina dikembalikan dan negara Palestina berdiri.

Prospek kebangkitan kembali Khilafah Islamiyah dan relevansinya dengan pembebasan Palestina

Menurut Mehmed Ali Behan, yang dimaksud dengan Neo-Khilafah atau Neo-Ottoman adalah membentuk semacam PBB untuk dunia Islam.Pada 1955 pernah dibentuk Pakta Baghdad, tetapi banyak yang tidak setuju, seperti Mesir dan Syiria. Untuk membentuk negara federal bagi seluruh negara-negara Muslim menurut Behan nampaknya mustahil, namun negara-negara Muslim yang independen dapat membangun blok kekuatan Muslim dengan Turki yang akan memimpin, karena Turki Utsmani pernah menjadi pusat peradaban dunia. Behan juga meyakni bahwa Turki dapat menjadi negara yang menjembatani antara negara-negara Barat dan Timur.
Turki saat ini memiliki jumlah penduduk muda yang banyak, tanah yang kaya dan memiliki wibawa politik. Beliau juga optimis AK Parti atau AKP berkompeten untuk mencapai keunggulan dan kebaikan bagi Turki. Dengan adanya transparansi, kebebasan media dan kesiapan AKP untuk berkolaborasi dengan semua elemen bangsa Turki lainnya. Behan meyakini bahwa Turki akan menjadi lebih kuat lagi di masa mendatang dan dapat memimpin pakta negara-negara Muslim. Sebab hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa Turki memiliki pengaruh dandiperhitungkan baikoleh Israel, Rusiamaupun Amerika.

Adalah fakta menyedihkan di dunia Islam saat ini dan dunia internasional bahwa Palestina belum merdeka alias masih terjajah. Maka peran dunia Islam terutama Turki sangat diharapkan. Sebagaimana diketahui bersama Palestina atau Baitul Maqdis  sudah tiga kali dijajah, sebelum sekarang ini keempat kalinya dijajah oleh zionis.

Pertama, dijajah oleh kaum Jabbarin dan dibebaskan oleh Nabi Yusa bin Nun AS, seorang pemuda yang menjadi asisten Nabi Musa As dalam perjalanan mencari Nabi Khidir, dan berdiri di dekat Nabi Musa As menjelang menyeberangnya Bani Israil melewati laut merah menuju Baitul Maqdis. Nabi Yusa bin Nun adalah penerus Nabi Musa, sesudah Bani Israil selama 40 tahun dalam keadaan berputar-putar kebingungan, maka muncul generasi baru yakni generasi Yusa bin Nun yang kemudian membebaskan Baitul Maqdis.

Kedua, Penjajahan yang berikutnya adalah dibawah Romawi selama hampir 600 tahun sehingga ketika Rasulullah SAW lahir dan kemudian menjadi Nabi, Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsa masih dalam keadaan dijajah oleh Romawi. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat maka Perang Muktah 1 dilanjutkan dengan Perang Muktah 2 sebagai jihad untuk membebaskan Baitul Maqdis yang sudah dipersiapkan sebelumnya, melalui Suriah dan kemudian Mesir. Jihad tersebut mengambil rute melalui Damaskus, Homs, Aleppo sampai kemudian pembebasan Baitul Maqdis dan Yerusalem oleh pasukan Umar bin Khattab. Ketiga, adalah pada saat terjadi perang Salib dan Baitul Maqdis kemudian dibebaskan oleh Salahudin Al Ayyubi melalui Suriah.  Jadi Baitul Maqdis sudah tiga kali dijajah dan tiga kali pula dibebaskan dengan jihad. Di awal abad kedua puluh Palestina kembali dijajah oleh Inggris yang kemudian menyerahkan ke Liga Bangsa Bangsa (LBB). LBB kemudian membiarkan berdirinya Negara Israel pada tahun 1948 yang kemudian menjajah Baitul Maqdis atau Palestina hingga saat ini.

Dewasa ini PBB sendiri nyaris disfungsional, padahal dahulu kesalahan terbesar ada pada LBB (cikal bakal PBB) yang membagi-bagi tanah Palestina yang bukan haknya.  Kelicikan Israel saat itu untuk merebut Palestina atau Baitul Maqdis adalah dengan memanfaatkan negara lain Inggris yang menang Perang Dunia I dan menduduki Palestina. Tokoh Yahudi Weizmann yang dianggap berjasa membantu Inggris menang PD I mengajukan permintaan untuk menjadikan Palestina sebagai tanah air kaum Yahudi. Yahudi juga memanfaatkan peran Liga Bangsa-bangsa (LBB) setelah Inggris menyerahkan Palestina ke LBB.  LBB saat itu menyepakati tanah Palestina dibagi dua yakni bagian Palestina dan bagian Israel dengan Yerussalem menjadi ibukota bersama. Mereka menyebut Yerussalem sebagai sesuatu yang tidak boleh diganggu-gugat. Setelah dibagi dua pun yang berdiri hanya negara Israel, dan tragisnya sampai sekarang Palestina bahkan belum memperoleh bagiannya karena dicaplok juga oleh Yahudi. Saat ini penduduk asli Palestina hanya tinggal 30% yang bertahan di tanah airnya yang terjajah, selebihnya hidup dalam pengungsian di berbagai negara.

Saat ini yang juga menjadi masalah adalah tingginya apatisme dunia pada Palestina serta minimnya solidaritas dunia Islam pada Palestina. Palestina adalah  ranah jihad dan melihat sejarah pembebasan Palestina selama tiga kali, maka jelas tidak mungkin membebaskan Palestina atau Baitul Maqdis tanpa jihad. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW bahwa Bumi Syam adalah Abu Ribath. Rasulullah SAW bersabda bahwa sebaik-baik jihad adalah ribaath dan sebaik-baiknya ribaath adalah Askolan yakni  kabilah yang ada di bumi Syam. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain bila ingin menegakkan perdamaian selain dengan cara menegakkan jihad.

Memang belum dapat diketahui secara pasti bagaimana skenario pembebasan Palestina, tetapi yang jelas hal yang terjadi dimasa Rasulullah SAW dan kemudian terjadi di masa Salahudin Al Ayyubi adalah bersatunya kaum muslimin memandang Baitul Maqdis sebagai bagian dari tanah air kaum muslimin di seluruh dunia. Jika nanti tiba saatnya semua orang kaum muslimin sudah menyadari posisi penting Baitul Maqdis dalam aqidah dan kemudian menyadari dan marah sebagaimana mereka akan marah jika ada penjajah yang masuk ke Masjidil Haram dan Nabawi barulah kemudian kaum muslimin sedunia akan bergerak bersama para Mujahidin. Maka menjadi  sunnatullah bahwa untuk membebaskan Palestina adalah dengan berjihad, tidak cukup melalui perjuangan diplomasi atau siyasi. II

Sitaresmi S. Soekanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *