Pencitraan, Untuk Siapa?

by
Foto: Istimewa

Oleh: Herry M. Joesoef

Musim Pilkada, Pemilu Legislatif, dan Pilpres adalah musim pencitraan. Semua dalam rangka menarik simpati, empati,dukungan,lalu memilih sang calon. Bagaimana jika pencitraan hanya diniatkan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dari manusia?*

Wartapilihan.com, Jakarta –Sejauh tujuannya untuk menjelaskan program-program yang hendak diusung jika terpilih menjadi pejabat, sejauh itu pula masih dalam koridor kewajaran. Menjadi tidak wajar ketika apa yang dijanjikan dan apa yang dilakukan hanya untuk mendapat pujian dan sanjungan manusia semata. Di sini, faktor niat menjadi penting.

 

Ada Kaidah Fiqih yang menyatakan bahwa “Amal perbuatan itu tergantung pada niatnya.” Jika kita mempelajri hadits, maka bab pertama adalah tentang Niat. Dan niat itu akan menentukan secara keseluruhan tentang amalan kita. Diterimanya sebuah amalan amat bergantung pada niatnya.

 

Dalam ajaran Islam, semua amal hendaknya diniatkan ikhlas semata karena Allah Ta’ala, tidak kepada yang lain, juga tidak karena manusia yang merupakan makhluk-Nya. Ketika suatu amalan diniatkan kepada selain Allah, maka amalan tersebut tertolak, pelakunya dimasukkan ke neraka.

 

Dalam sebuah hadits shahih dikisahkan ada tiga tipe manusia yang mestinya masuk surga, ternyata Allah Ta’ala memerintahkan kepada malaikat untuk memasukkannya ke neraka.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ z قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : إِنَّ اَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ, فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأََ اْلقُرْآنَ فَأُُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ اْلقُرْآنَ, قَالَ:كَذَبْتَ, وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ وَقَرَأْتَ اْلقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِىءٌٌ ، فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَاَعْطَاهُ مِنْ اَصْْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: مَاتَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ, قَالَ: كَذَبْتَ ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيْلَ, ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ. رواه مسلم (1905) وغيره

 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab : ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca al Qur`an hanyalah karena engkau.’ Allah berkata : ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al Qur`an supaya mendapat julukan (sebagai) seorang qari’ (pembaca al Qur`an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab : ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’” (HR. Imam Muslim: 1905; juga dikeluarkan oleh Imam an-Nasa’i, Imam Ahmad, dan Imam Tirmidzi)

 

Hadits ini berkaitan dengan tiga tipe manusia. Yang pertama adalah mereka yang nampak seperti mati syahid;yang kedua adalah ilmuwan dan qori yang nampak sebagai orang yang berilmu serta mengamalkan ilmunya tersebut; dan yang ketiga adalah dermawan yang nampak sebagai orang yang ringan dalam beramal dan bersedekah.

Apa yang mereka lakukan sebenarnya adalah amalan-amalan berpahala besar, dan karena itu mestinya mereka masuk surga. Tapi apa yang terjadi, ternyata mereka melakukannya karena riya’, ingin mendapatkan pujian, sanjungan, dan penghargaan dari manusia.

Ketika Sahabat Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu mendengar hadits ini, ia berkomentar, “Hukuman ini telah berlaku atas mereka, bagaimana dengan orang-orang yang akan datang?” Kemudian beliau menangis terisak-isak sampai pingsan. Setelah siuman, Mu’awiyah mengusap mukanya seraya berucap, “Benarlah Allah dan Rasul-Nya, Allah berfirman:

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka. Lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. [Hud : 15-16]. (HR. Imam Tirmidzi: 2382 dan Imam Ibnu Khuzaimah: 2482).

 

Riya’dan Sum’ah

Riya’ itu melakukan ibadah dengan tujuan mencari perhatian manusia agar memuji, menghormati, dan mengagungkan apa yang dia lakukan itu. Adapun Sum’ah adalah beramal supaya diperdengarkan kepada orang lain.

Untuk memahami dua istilah ini, dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari menulis khusus bab tentang ar-Riya’ wa Sum’ah, dengan menukil sebuah hadits:

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ . وَمَنْ يُرَائِيْ يُرَائِي اللهُ بِهِ

“Barangsiapa memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya, dan barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah akan membuka niatnya (di hadapan orang banyak pada hari Kiamat).” (HR Bukhari: 6499. Imam Muslim juga mengeluarkan dalam Shahihnya: 2987)

jadi, riya’ itu beramal untuk diperlihatkan kepada orang lain, berkaitan dengan indera penglihatan; sedangkan sum’ah berkaitan dengan indera telinga, diperdengarkan kepada orang lain.

Baik riya’ maupun sum’ah, dua-duanya menjadi sebab seseorang terhadang masuk ke dalam surga-Nya. Wallahu A’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *