Selasa malam (30/1), Cendekiawan Islam Dr Hamid Fahmy Zarkasyi meluncurkan bukunya ‘Kausalitas : Hukum Alam atau Tuhan’. Buku ini karya disertasi doktoralnya di ISTAC Malaysia (International Institute of Islamic Thought and Civilization) tahun 2006.
Wartapilihan.com, Jakarta –Hamid bercerita bahwa proposal disertasinya ini dikoreksi langsung oleh pendiri ISTAC Prof Naquib al Attas. “Ia mengoreksi dengan pensil,” ungkapnya dengan bangga.
Kemudian Prof Alatas menjadi pembimbingnya selama setahun. “Setelah itu beliau dilengserkan dari ISTAC dan pembimbing saya diganti Cemil Akdogan dari Turki,” jelasnya di aula gedung Insists, Kalibata Jakarta Selatan.
Menurut Hamid, saat itu Prof Alatas memuji disertasinya itu sebagai kajian yang penting berkenaan dengan Imam Ghazali.
Pendiri Insists ini menjelaskan bahwa kausalitas adalah hukum Tuhan. Allah menciptakan sebab dan akibat di alam ini. “Kun fayakun, bila Allah berkehendak, maka jadilah,” terangnya.
Hamid juga menjelaskan bahwa pengaruh Imam Ghazali di kalangan pemikir Barat sangat luas. Jadi salah bila ada yang mengatakan bahwa Barat maju karena mengambil pemikiran Ibnu Rusyd dan umat Islam mundur karena mengambil pemikiran Imam Ghazali.
Pemimpin Redaksi Jurnal Islamia ini juga menjelaskan bahwa banyak saintis Muslim lahir setelah Imam Ghazali wafat. “Jadi tidak ada kematian sains gara-gara Al-Ghazali,” paparnya.
Dalam kesempatan sama, peneliti Insists Budi Handrianto menjelaskan peran Imam Ghazali sebelum mengkritik sesuatu hal, seperti kritik terhadap pendapat para filsuf yang menjelaskan kausalitas, ia mempelajari disiplin ilmu dan ditemukan dua puluh kesimpulan. Tiga diantaranya yang dikritisi terkait kebangkitan ruh, Allah hanya mengetahui hal-hal yang universal dan kekalnya alam.
“Framework Islamic worldview adalah mengkaji suatu hal dengan ilmu-ilmu yang lain dan didasarkan kepada dimensi Ilahiyah (ketuhanan). Pandangan ini menjelaskan bahwa Imam Ghazali menolak kausalitas, karena tidak selamanya sebab akibat adalah suatu hal yang pasti,” paparnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan ada klaim sepihak dari para filsuf yang menyatakan saintifik mengalami kemunduran pasca wafatnya Imam Ghazali. Padahal, setelah Imam Ghazali wafat banyak ilmuwan-ilmuwan lahir.
“Ini perlu kita luruskan bahwa Imam Ghazali tidak menolak dan memusuhi sains. Perkataan seperti itu menurut Imam Ghazali adalah perkataan orang yang bodoh,” terangnya.
Menurut Imam Al-Ghazali, teori kausalitas seperti kejadian A dan B merupakan dua kejadian yang berurutan. Dalam konteks sains hal yang terjadi karena kesinambungan atau kontinuitas dibahas pada tingkat fisika quantum.
“Seperti mendengar ayam berkokok kemudian matahari terbit, tetapi matahari terbit bukan karena ayam berkokok. Nah, kalau sebab akibat itu pasti, Allah ada dimana? Karena mereka (Filosof) menganggap semua adalah kejadian alam,” jelas Budi.
Ia menandaskan, dalam Islam ilmu agama tidak ada yang bertentangan dengan rasional, tetapi justru ilmu duniawi yang bertentangan dengan rasional. Buku Kausalitas karya Hamid Fahmi Zarkasyi, simpulnya, merupakan jawaban untuk mengakhiri debat antara Imam Ghazali dengan Ibnu Rusyd.
“Kita tidak bisa menyalahkan Ibnu Rusyd. Mungkin karena pemahaman yang salah tetapi sudah viral dan digunakan banyak orang. Jika kita ingin menerapkan Islamisasi pengetahuan, maka bisa menggunakan kausalitas Imam Ghazali,” pungkasnya.
Hal senada diungkapkan cendikiawan muslim Adian Husaini, mengutip perkataan Syed Muhammad Naquib al-Attas ia mengatakan, kaum muslim hari ini menghadapi tantangan yang sama seperti masa Imam Al-Ghazali. Yaitu muncul dari filsafat dan sains Barat modern sekular, teknologi dan ideologinya, yang menggerogoti nilai-nilai, gaya hidup, pemikiran dan kepercayaan, serta pandangan hidup muslim agar terjadi perubahan radikal yang sesuai dengan worldview sekular.
“Ketika itu, Sang Imam hidup di era pergolakan agama dan intelektual yang diakibatkan oleh masuknya pandangan alam asing ke dalam pemikiran dan kepercayaan kaum muslim secara diam-diam, yang dibawa oleh para filosof muslim dan berbagai aliran yang menyimpang,” papar Adian.
Menurutnya, orang yang berfikir sekular adalah orang yang tidak berfikir dimensi ilahiyah. Seperti penjelasan terkait penyebab banjir, selalu dikaitkan dengan ilmu empiris dan konvensional, tidak dikaitkan dengan Wahyu Ilahiyah.
“Al-Ghazali tidak hanya merevisi pemikiran batiniah, filsuf dan lain sebagainya, tetapi juga melakukan revolusi moral,” jelas pengajar tetap di Universitas Ibnu Khaldun Bogor itu.
Seperti dikatakan Mohammad Natsir di majalah Pedoman Masyarakat, April 1937, Natsir memaparkan keagungan pemikiran dan kitab Al-Ghazali dibandingkan dengan prestasi ilmuwan-ilmuwan Barat. Kitab Maqasidhul Falasifah-nya Al-Ghazali, misalnya sudah diterjemahkan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin pada abad ke 12-M. Di sini, Natsir juga menguraikan teori kausalitas Al Ghazali yang mendahului teori David Hume (1711-1776) tujuh ratus tahun sebelumnya.
Natsir membantah bahwa David Hume lah sarjana pertama yang mengungkap teori kausalitas. Natsir tidak menolak jasa David Hume dalam hal ini, tetapi tulisnya,”Jangan dilupakan, bahwa 700 tahun sebelum David Hume, telah pernah seorang filosof muslim di daerah Timur yang mengupas masalah ini dalam kitab-nya Tahafutul Falasifah. “ II
Ahmad Zuhdi/Izzadina