Judul Buku: Sastra itu Sederhana; 70 Tahun Ahmad Tohari
Editor: Hadi Supeno dan Muji Prasetyo
Penerbit: Kepel Press; Yogyakarta, Juni 2018, 214+XXX halaman.
Sastrawan Ahmad Tohari berusia 70 tahun. Diperingati dengan meluncurkan sebuah buku. Juga, dimulainya pembangunan Taman Sastra Ahmad Tohari di kawasan Agro Karang Penginyongan, Cipendok, kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah.
Wartapilihan.com, Banyumas –Untuk ukuran manusia Indonesia, usia 70 tahun masih sehat wal-afiat adalah sebuah karunia yang patut disyukuri. Beragam orang mengucapkan rasa syukur itu. Salah satunya adalah dengan kesaksian orang-orang dekat terhadap sang tokoh. Testimoni tersebut lalu dibukukan. Begitulah teman-teman sastrawan Ahmad Tohari menuangkan rasa syukur atas anugerah usia 70 tahun penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk kelahiran Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948, itu.
Mereka yang memberikan “kesaksian” berlatar lintas profesi dan generasi. Dari Budayawan Emha Ainun Najib, Sastrawan Taufiq Ismail, Novelis Nh Dini, mantan wartawan yang kini jadi anggota DPD, Bambang Sadono, Artis Yessi Gusman, Sosiolog Mohamad Sobary, Prof. Dr. R.M. Teguh Supriyanto (Guru Besar Ilmu Sastra PBS Universitas Negeri Semarang) sampai birokrat-budayawan Atmo Tan Sidik (Kepala Badan Narkotika Nasional Brebes).
Ulang tahun dan peluncuran buku “Sastra itu Sederhana” berlangsung pada hari Sabtu legi (30/6) di lokasi Agro Karang Penginyongan, Cipendok, kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah. Hadir dalam acara tersebut, antara lain, Nh. Dini, Prof. Dr. R.M. Teguh Supriyanto, dan Atmo Tan Sidik.
Dengan beragam latar belakang pemberi testimoni itu, kita bisa “melihat” Ahmad Tohari dari berbagai sisi dan sudut pandang. Penulis novel “Ronggeng Dukuh Paruk” (1981)itu adalah seorang sastrawan yang menulis tentang “Wong Cilik” yang senantiasa digusur dan dikalahkan oleh perubahan zaman.
Jika para novelis Indonesia kebanyakan berkisah tentang kota dan orang-orang gedongan, Ahmat Tohari justru menarasikan tentang desa dan wong cilik yang selalu jadi korban atau yang dikorbankan. Inilah kekuatan Ahmad Tohari, selalu menampilkan dan membela “wong cilik”.
Atas dasar itulah, tidaklah berlebihan jika Atmo Tan Sidik memberi predikat sebagai pelopor sastra profetik kepada Ahmad Tohari. Pernyataan Atmo itu dibangun ketika Ahmad Tohari mengenalkan nama-nama Sakum, Mbok Ralem, Darsa, Karman, dan Srintil. Nama-nama ini karib dengan masyarakat kelas bawah.
“Sebagaimana hadits Qudsi mengatakan, “bahwa Allah berada di bilik-bilik rumah si miskin dan si yatim. Ini yang saya katakan bahwa karya Kang Ahmad Tohari memiliki ruh yang profetik.” (halaman 70)
Selain trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala, karya-karya Ahmat Tohari lainnya, seperti Di kaki Bukit Cibalak (1979), Kubah (1980), Berkisar Merah (1990), Belantik (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1991), dan Orang-orang Proyek (2002), selalu dengan latar pedesaan dan wong cilik.
Dalam setahun ke depan, Taman Sastra Ahmad Tohari akan dibangun. Nantinya, taman sastra itu dilengkapi dengan perpusataan digital, selain untuk mengenal karya-karya Ahmad Tohari, juga karya-karya sastra lainnya. Dengan dibangunnya perpustakaan tersebut, jejak-jejak Ahmad Tohari sebagai seorang sastrawan-budayawan tak akan lapuk oleh waktu. Dan akan menjadi media pembelajaran bagi generasi-generasi setelahnya.
Herry M. Joesoef