Oleh: Dr. Adian Husaini
(Direktur ATTAQWA COLLEGE DEPOK)
Dalam bukunya, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), Karen Arsmtrong mencatat kisah indah tentang penaklukan Jerusalem oleh pasukan Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khathab. Peristiwa terjadi pada 636 M. Armstrong menulis:
Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.
Pujian Karen Armstrong pada Umar bin Khathab bukan tanpa dasar. Selama ribuan tahun, Kota Jerusalem menjadi ajang perebutan dan pertumpahan darah. Saat berada di bawah Kerajaan Judah (Yahudi), Jerusalem pernah ditaklukkan Babylonia selama dua kali. Yang pertama tahun 597 SM. Ketika itu, Judah dibawah pimpinan Raja Jehoiachin. Setelah itu, mereka memberontak lagi melawan Babylonia, dan pada 586 SM, pasukan Nebuchadnezzar, kaisar Babilonia ketika itu, kembali menaklukkan Judah. Rajanya, Zedekiah, dibuat buta, dan dibawa ke Babylon dengan dirantai. Kota Jerusalem dihancurkan dan Solomon Temple dibakar habis. (Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, (New York: Atheneum, 1969)).
Namun, selama ratusan tahun kemudian, ketika Yahudi mengalami pembantaian di mana-mana di dataran Eropa, kaum Yahudi justru menikmati perlindungan dari kaum Muslimin di Andalusia dan kemudian di wilayah Turki Utsmani. Karen Armstrong menggambarkan harmonisnya hubungan antara Muslim dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina. Menurut Armstrong, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di al-Andalus. Under Islam, the Jews had enjoyed a golden age in al-Andalus, tulis penulis terkenal yang mantan biarawati ini.
Memang, tidak ada tradisi dan persekusi kaum kafir dalam Islam, sebagaimana ditemukan dalam konsep heretics di abad pertengahan Eropa. Islam menyebut kaum non-Muslim sebagai kafir, tetapi itu sama sekali bukan sebuah izin apalagi perintah untuk mengeksekusi kaum kafir karena perbedaan agama. Al-Quran menegaskan: Tidak ada paksaan untuk memeluk agama. (al-Baqarah:256). Karen Armstrong dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Todays World, (London: McMillan London Limited, 1991), mencatat: “There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire.
Setelah mengalami pengusiran dan penindasan di berbagai wilayah Eropa, Yahudi kemudian mendapatkan tempat aman di wilayah Turki Utsmani. Pada bulan April 1892, Yahudi di Turki Uthmani merayakan apa yang mereka sebut sebagai the fourth centennial of their immigration to Turkey. Suatu doa khusus dipanjatkan untuk mensyukuri keberadaan 400 tahun Yahudi di Turki Uthmani, yaitu sejak mereka mendapatkan perlindungan dari Sultan Beyezid II (memerintah 1481-1512). Istilah mereka, the four hundred years since the Jews had come to find shelter under the wings of the righteous and compassionate sultan, Sultan Beyezid II (r. 1481-1512).
Ketika itu, Yahudi di Uthmani dan di berbagai penjuru dunia memberikan ucapan selamat atas kebijakannya terhadap Yahudi. Sebagai contoh, the Central Committee of the Alliance Israelite Universelle in Paris mengirimkan ucapan selamat kepada Sultan Abdulhamid II, yang isinya: Pada musim semi tahun 1492, kaum Yahudi yang diusir dari Spanyol menemukan perlindungan di Turki. Sementara mereka ditindas di belahan dunia lainnya, mereka tidak pernah berhenti menikmati perlindungan di negeri-negeri leluhur Tuan yang jaya. Mereka mengizinkan Yahudi hidup dalam keamanan, untuk bekerja dan untuk membangun. (Lihat, Avigdor Levy, Introduction , dalam Avigdor Levy (ed.), The Jews of The Ottoman Empire, (Princeton: The Darwin Press, 1994).
Kebaikan penguasa Muslim Turki Utsmani terhadap kaum Yahudi akhirnya disalahgunakan oleh gerakan Zionis. Mereka bersekutu dengan penguasa Barat dan sejumlah elemen sekular di Turki untuk menumbangkan Turki Utsmani. Dan kini, setelah berkuasa, kaum Zionis justru menebar angkara dan pelanggaran HAM di bumi Palestina. Sementara PBB dan para penguasa dunia menontonnya. (*).