Di masa sepuluh tahun SBY berkuasa, tidak ada ustadz-ustadz yang dicegat ormas untuk dilarang berceramah. Di masa kini banyak kejadian seperti itu. Siapa sebenarnya yang bermain?
Wartapilihan.com, Jakarta –ang paling menghebohkan media Islam adalah larangan Ustadz kondang Abdul Somad berceramah di Bali, Jumat lalu (8/12). Sebelum hari Jumat itu, beredar larangan ustadz asli Riau itu ke Bali. Dalam surat pernyataan yang beredar di internet, Jaringan Hindu Nusantara menyampaikan penolakannya :
“Bali sekarang terusik dengan adanya rencana kedatangan seorang UZTAD ABDUSOMAD yang rencananya memberikan Tasyah (tausiyah -red) di beberapa Masjid di Bali, kami masyarakat Bali tidak anti Islam dan UZTAD bahkan kami senang apabila UZTAD yang mempunyai bobot dan Nasionalis serta berkomitmen akan NKRI datang ke Bali memberikan Tausiyah yang menyejukkan.”
Surat itu berlanjut, “Kami YAYASAN JARINGAN HINDU NUSANTARA (YJHN) dengan tegas menolak kedatangan UZTAD ABDUSOMED yang rasis, anti ke Bhinekaan serta anti NKRI. ”
Pelarangan Ustadz Abdul Somad juga dilakukan oleh oknum dari sebuah ormas Islam. Lewat lobi-lobi yang alot, akhirnya ustadz bisa melanjutkan ceramah di wilayah mayoritas Hindu itu.
Usai ceramah di Bali, ustadz kemudian membuat klarifikasi yang beredar luas di WA. Ustadz menyatakan bahwa ia mendapat berita di group WA saat itu bahwa KRB (Komponen Rakyat Bali) menetapkan syarat bahwa saya diterima di Bali jika mau berikrar di Rumah Kebangsaan.
“Saya menolak karena saya bukan pemberontak, saya tidak terdaftar di ormas terlarang, saya mendapat beasiswa Mesir-Indonesia tahun 1998 setelah lulus Pancasila dan P4 dan saya lulus tes PNS 2008 karena bukan anti Pancasila serta sampai sekarang mengajarkan cinta kebangsaan dari kampus sampai desa terpencil,” terang Ustadz.
Esoknya, di Hotel Aston, ustadz dikerumuni sekitar 10-15 orang. “Mereka meminta saya berikrar. Saya klarifikasi bahwa semua yang dituduhkan ke diri saya adalah fitnah. Karena saya menolak berikrar mereka melontarkan kata-kata tidak layak: “Ngeles!”, “Seperti PKI”, “Panitia mendatangkan ustad otak SD”, “Pulangkan saja!”, dll.,” terang ustadz.
Ia memutuskan untuk pulang. “Saya kembali ke kamar hotel untuk siap-siap pulang ke airport. Ketua PW NU Bali yang dari awal mendampingi menangis memikirkan apa yang akan terjadi kalau saya pulang. Dari pihak Aston menyampaikan bahwa situasi tidak terkendali, hotel tidak bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Seorang bapak polisi masuk menyampaikan ada jalan belakang hotel menuju mobil jika ingin meninggalkan hotel karena pintu depan tidak terkendali. Kapolres dan Dandim masuk,” terangya.
Mereka melobi ustadz mempertimbangkan dan menyelamatkan umat. “Di masjid an-Nur ada 5000an jamaah yang siap datang ke Aston. Di Aston memanas. Suasana mencekam.
Sekitar jam 18:00. “Saya dan semua yang ada di kamar menuju ruangan mediasi awal. Pak Kapolres memberikan sambutan singkat. Gus Yadi membawa bendera, dicium semua yang ada di ruangan. Keluar ruangan menuju lobi hotel. Pengunjuk rasa bergemuruh. Pengawalan ketat. Pengunjuk rasa tetap berteriak: “Nyanyikan dari hati. Jangan di mulut saja!”. Menyanyikan Indonesia Raya. Saat bersalaman mereka menarik dan mencengkeram kuat tangan saya, Usai. Kembali ke kamar,” jelasnya.
Selepas Isya, Ustadz Abdul Somad menuju masjid an-Nur. Ceramah sekitar 100 menit. Jamaah antusias.
“Mereka masih memunculkan berita-berita di Medsos bahwa saya menolak ikrar karena benar anti NKRI. Jamaah tersakiti karena mereka menuduh saya tidak berani pulang karena sudah termakan honor. Saya sampaikan ini fitnah,” terangnya.
Ustadz menjelaskan bahwa semua honor di Bali sudah ia kembalikan ke Ketua Panitia. “Kami orang Riau walau tidak kaya masih tumbuh sebatang dua batang pokok sawit yang menghantarkan kami ke Cairo tahun 1998 saat 1 Dolar Rp.20.000.- karena ongkos dibebankan ke siswa,” tandasnya.
Ia berharap ada tindakan hukum terhadap mereka yang sudah merusak kebinekaan yang terjaga di Bali selama ini. “Hadirnya Raja Bali Dr Ida Cokorde Pemecutan XI dan beberapa tokoh Hindu pada tabligh akbar tadi malam membuktikan bahwa para provokator ini tidak mewakili rakyat Bali,” tegasnya.
Ustadz berharap agar Muslim Bali membentuk Aliansi Muslim Bali untuk menjaga interen dan ekstern tetap menjaga kerukunan dengan saudara Hindu Bali untuk mengantisipasi para provokator yang dapat merusak kerukunan di masa akan datang.
Gus Nur Dilarang di Hongkong
Berita duka datang dari Gus Nur. Sabtu 8 Desember 2017, Gus Nur dan putranya sekaligus Kameramen Muhammad Munjiat, take off dari Jakarta menuju Hongkong untuk pengajian akbar, memenuhi undangan salah satu Majelis Taklim di Hongkong.
Panitia mengundang Gus Nur dari jauh – jauh hari, beberapa bulan yang lalu. Sesampai di Hongkong ternyata hanya putranya Munjiat saja yang boleh masuk Hongkong. Sementara Gus Nur ditahan dan diinterogasi di imigrasi Hongkong kurang lebih 4 jam.
Akhirnya pihak imigrasi Hongkong memulangkan Gus Nur ke Indonesia pada hari itu juga pada penerbangan pukul 4 sorenya. Sedangkan putra Gus Nur Muhammad Munjiat boleh masuk Hongkong.
Pihak imigrasi mengaku dapat laporan dari pihak tertentu untuk mencekal Gus Nur selama 3 tahun. Ketika ditanya siapa pihak tertentu itu. Pihak imigrasi hanya mengatakan tidak tahu.
Pelarangan ceramah ini juga sebelumnya menimpa Ustadz Bachtiar Nasir dan Ustadz Felix Xiao. Alasan pencekalan ceramah itu juga tidak jelas. Mereka menuduh para uatadz itu radikal, anti Pancasila dan lain-lain.
Orde Lama dan Larangan Ceramah
Di masa Orde Lama, para ustadz banyak yang dilarang berceramah. Hamka, Mohammad Natsir dan lain-lain pernah dilarang ceramah. Bahkan mereka dipaksa mendekam dalam penjara oleh rezim Soekarno agar masyarakat tidak tersentuh pemikiran mereka.
Ada kisah yang menarik yang diungkap oleh Ustadz Salim Fillah tentang kecerdikan KH Bisri Mustofa ketika dilarang ceramah. “Suatu hari, KH Bisri Mustofa Rembang rahimahullah, Ayahanda Gus Mus, diundang untuk memberi mau’izhah hasanah pada sebuah pengajian akbar di pesisir utara Jawa. Kala itu zaman Orde Lama, dan sebuah kekuatan politik yang anti-agama kian mencengkeramkan kuku baik dalam birokrasi sipil maupun militer.
Di lokasi pengajian di mana umat membludak, penjagaan aparat tampak mencolok, lebih dari biasanya. Panitia dengan keringat dingin dleweran di wajah mendekati Kyai Bisri yang duduk di kursi depan. “Kyai”, ujarnya, “Kata Pak Polisi dan Pak Tentara, Panjenengan tidak boleh menyampaikan pengajian. Bagaimana ini Kyai?”
“Lho, kenapa katanya?”
“Katanya ceramah Panjenengan tidak mendapat izin dari komandannya. Ceramah Panjenengan dikhawatirkan membahayakan ketertiban umum.”
“O begitu, hehe… Ya tidak apa-apa, hehehe… Coba ditanyakan, kalau berdoa saja boleh apa tidak?”
Dengan langkah setengah hati, sang panitia menemui petugas keamanan lagi. Hatinya rusuh. “Lha kalau cuma untuk berdoa, buat apa mendatangkan muballigh kondang sekelas Kyai Bisri?”, pikirnya. Tapi ya bagaimana lagi. Daripada tidak sama sekali. Dan betul, kalau cuma berdoa memang dibolehkan.
Kyai Bisri dengan sumringah naik ke mimbar. Setelah mukadimah doa sebagaimana umumnya, beliau mulai berdoa dalam Bahasa Indonesia. “Ya Allah, Ya Tuhan kami… Kami berhimpun di sini tak lain hanya untuk mendengar firmanMu yang menyejukkan hati, menyimak ilmuMu untuk memperkaya jiwa kami, menadah perintah dan laranganMu agar tertata langkah kami, meneladani Kanjeng Nabi dan ndherek dhawuh para ‘ulama agar berkah hidup kami… Tapi bapak-bapak ini, mungkin karena jarang ikut pengajian bersama kami, mengira kami membicarakan hal-hal yang patut dicurigai…”
“Maka Ya Allah, Ya Tuhan kami… Bukakanlah mata dan telinga kami semua khususnya Bapak-bapak Tentara maupun Polisi, bahwa kami rakyat Indonesia sangat mencintai negeri ini… Inilah kami mengenang perjuangan para pahlawan kami. Supaya anak cucu kami tahu, mereka mewarisi negeri yang didirikan dengan pengorbanan harta dan jiwa, darah dan air mata. Ya Allah, Ya Tuhan kami… Bukakanlah mata dan telinga kami semua khususnya Bapak-bapak Tentara maupun Polisi, akan siapa musuh sejati dari negeri tercinta Indonesia Raya ini…”
Dan ‘doa’ Kyai Bisri yang sebenarnya orasi akan merentang selama 2,5 jam lagi, sementara hadirin tersenyum-senyum dan petugas keamanan terlongong keki. “ II
Izzadina