Nasib Anak Teroris, Jangan Dilupakan

by
Seto Mulyadi. Foto: Istimewa

Oleh: Seto Mulyadi, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

Sementara hukum positif tidak diselenggarakan untuk mengunci status para terduga teroris, malangnya adalah anak-anak dan isteri para almarhum terduga teroris sudah menerima ganjaran sosial tak terperi dari masyarakat.

Wartapilihan.com, Jakarta –Saat saya menulis naskah ini, tiga wajah anak mengambang di pelupuk mata saya. Anak pertama adalah putri cilik yang Allah SWT selamatkan dalam aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh orang tuanya di Mapolresta Surabaya. Bocah kedua adalah anak almarhum Siyono, terduga teroris asal Klaten, yang sempat saya jenguk sekian tahun silam. Lainnya, anak yang di foto yang saya terima dikabarkan merupakan buah hati almarhum Muhammad Jeffri, terduga teroris lainnya yang tewas pada awal tahun ini.

Tak bisa ditawar-tawar, terorisme harus diberantas. Kejahatan serius itu harus diatasi sebagai perang semesta dengan pendekatan hukum dari atas dan perlibatan masyarakat dari bawah. Terlebih saat serangan teror memakan korban anak-anak, tangan kita harus mengacung dengan kepalan lebih kuat lagi!

Dari bawah, hingga ke pelosok RT/RW perlu digalakkan pembentukan Seksi/Satgas perlindungan anak tingkat RT (SPART). Sebagai unit perlindungan anak yang didesain LPAI eksis di tingkat akar rumput, SPART potensial untuk dapat merespon secepat mungkin tanda-tanda adanya anak-anak yang diberikan pengaruh jahat. Gelagat adanya keluarga yang hidup tertutup serta menampilkan perilaku antagonistik semestinya bisa cepat masuk ke dalam radar SPART, untuk kemudian dilaporkan ke instansi negara yang berwenang untuk segera dilakukan penindakan.

Dari atas, saya menarik napas lega saat Ibu Prof. Yohana Yembise, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, diwartakan akan menyantuni anak malang dalam kejadian di Mapolresta Surabaya. Menteri Yohana, dalam tafsiran saya, mencoba konsekuen dengan pasal 59 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 bahwa negara memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak korban jaringan terorisme. Selanjutnya, sebagaimana tulisan saya di Media Indonesia edisi 16-5-2018 (“Anak-anak yang Dikorbankan”), karena semua anak yang menjadi bagian dari keluarga pelaku teror merupakan korban, maka betapa indahnya apabila negara juga menaruh atensi setara kepada anak-anak itu tanpa pembedaan.

Dalam kasus ledakan bom bunuh diri di Mapolresta Surabaya, kedudukan gadis cilik sangat terang benderang. Kedua orang tuanya tewas sebagai akibat dari aksi kriminal yang mereka lakukan. Beda cerita ketika kepada kita dipampangkan wajah anak-anak Siyono dan Jeffri. Ada sejumlah spekulasi tentang penyebab kematian kedua lelaki itu. Persoalan menjadi ‘mengambang’ karena status mereka belum definitif, baik dari sisi apa yang sesungguhnya sudah mereka lakukan dan–apalagi–dari sisi hukum. Status terduga teroris, berarti bahwa mereka belum terbukti sah dan meyakinkan sebagai teroris, membuat publik bimbang bagaimana seharusnya menyikapi kematian mereka: murka, bertanya-tanya, atau justru berduka.

Posisi abu-abu itulah kiranya yang membuat anak-anak Siyono dan Jeffri serta para terduga teroris lainnya belum mendapat keberpihakan penuh dari negara. Padahal sudah jelas, andai masalah ini bisa diurai, negara diwajibkan memperlakukan anak-anak itu secara non-diskriminatif.

Sementara hukum positif tidak diselenggarakan untuk mengunci status para terduga teroris, malangnya adalah anak-anak dan isteri para almarhum terduga teroris sudah menerima ganjaran sosial tak terperi dari masyarakat. Para yatim dan janda itu dipaksa angkat kaki oleh masyarakat dari tempat tinggal mereka. Ada pula yang, walau tidak diusir, anak-anak dan isteri para terduga teroris itu menjadi sasaran perundungan. Pada mereka terbukti kebenaran lamunan horor Albert Bandura, tokoh psikologi dari Mazhab Behaviorisme, bahwa efek penderitaan yang dipantik oleh hukuman sosial sering jauh lebih berat ketimbang sanksi yang dijatuhkan hakim dalam persidangan pidana.

Spesifik pada anak-anak terduga teroris yang menerima sanksi sosial dari masyarakat, mereka seketika semakin layak memperoleh perlindungan khusus sebagai konsekuensi dari stigmatisasi yang mereka derita. Juga pasal 59 Undang-Undang Perlindungan Anak yang memuat kriteria anak-anak korban stigma sebagai penerima perlindungan khusus.

Studi klasik yang dilakukan J. Post tentang regenerasi pelaku teror memunculkan keinsafan tentang pentingnya pemberian perlindungan khusus bagi anak-anak terpidana dan terduga teroris ini. Simpul Post, terdapat benih psikologis yang tertanam amat dalam yang menjadi penyebab seorang anak kelak akan memutuskan menjadi pelaku teror. Misi menjadi penerus perjuangan orang tua atau pun misi mengalihkan konflik dengan orang tua ke objek pengganti adalah dua motif yang menyala-nyala di relung kepribadian anak-anak yang dipelajari oleh Post.

Lebih luas lagi, untuk melindungi anak-anak terduga teroris dari perlakuan diskriminatif, negara patut berpikir keras menemukan jalan hukum untuk memfinalkan status orang tua anak-anak tersebut. Apalagi andai proses hukum atas para terduga teroris (yang telah meninggal) itu berujung pada vonis tidak bersalah, berarti mereka bukan teroris. Pemulihan nama baik yang bersangkutan berikut keluarganya diperlukan sebagai wujud therapeutic justice, terutama bagi anak-anak dan isteri yang ditinggalkan.

Tentu, rehabilitasi martabat bukan satu-satunya penawar. Terlepas bersalah atau tidak bersalahnya terduga teroris, mengacu Undang-Undang Perlindungan Anak, perlindungan khusus dilakukan dalam beragam bentuk. Yakni, kepada anak-anak korban jaringan terorisme diberikan pendidikan cinta tanah air, konseling tentang bahaya terorisme, rehabilitasi sosial, dan perlindungan sosial.

Dikaitkan kembali ke studi Post, dari perspektif psikologis dapat dipahami bahwa rehabilitasi ditujukan untuk mengganti dorongan-dorongan kehancuran di dalam diri anak-anak terduga teroris dengan dorongan-dorongan yang berorientasi pada kehidupan. Untuk merealisasikannya, sangat mungkin membutuhkan waktu panjang. Untuk itu, negara harus mempunyai napas panjang untuk memastikan kehadirannya dalam rangka membenahi kehidupan anak-anak itu.

Saat negara tutup mata terhadap anak-anak terduga teroris yang terlanjur wafat, ditambah lagi dengan aksi-aksi main hakim sendiri terhadap anak-anak itu, dikhawatirkan itu semua akan memberikan dalil pembenaran bagi anak-anak yatim tersebut untuk suatu saat nanti sungguh-sungguh menyalin tindak-tanduk agresif nan keji sebagai solusi atas persoalan hidup.

Menteri Yohana sudah memulai prakarsa positif. Kiranya tidak hanya berhenti pada satu anak saja. Saya sangat berharap, beliau akan menggerakkan aparatnya untuk mendata, memantau, dan merealisasikan penghidupan bagi anak-anak yatim terduga teroris. Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) dalam hal ini siap membantu. Insya Allah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *