Mungkinkah Partai Islam Menyodok PDIP dan Golkar di Pemilu 2019?

by
foto:istimewa

LSI Denny JA dalam konferensi persnya Rabu lalu (24/1) menyebut bahwa PDIP dan Golkar akan meraih suara teratas di Pemilu 2019. Sanggupkah Partai Islam menyalipnya atau menempati posisi ketiga?

Wartapilihan.com, Jakarta — Survei dan Analisa LSI Denny JA ini, memang tidak menyertakan pengaruh opini publik terhadap korupsi di partai. Padahal bila media terus memblow-up anggota-anggota partai yang korupsi, maka terbukti pengaruhnya besar di suara partai itu.

Hal itu pernah menimpa Partai Keadilan Sejahtera di Depok. Bila pada pemilu 2009 perolehan kursi di DPRD, PKS 11 kursi dan PDIP 5 kursi, maka pada Pemilu 2014 posisinya menjadi terbalik. PKS hanya mendapat 6 kursi dan PDIP 11 kursi. Masyarakat Depok –mungkin mewakili masyarakat perkotaan lainnya – memiliki kepekaan terhadap isu korupsi. Perolehan suara PKS di DPRD Depok 2014 yang anjlok itu diduga karena berita ekspos besar-besaran media tentang kasus korupsi yang menimpa pimpinannya Luthfi Hasan Ishaq yang divonis pada Desember 2013. Sementara Pemilu Legislatif dilaksanakan pada April 2014.

Begitu pula, badai korupsi yang menjerat para kader Demokrat sebelum Pemilu 2014, membuat perolehan suara Demokrat terjun bebas. Dari juara Pemilu 2009 dengan suara 21.703.137 atau 20,85 persen, turun hampir setengahnya menjadi 12.728.913 suara atau 10,19 persen pada Pemilu 2014.

Mungkinkah PDIP dan Golkar akan anjlok suaranya karena anggota-anggotanya yang diduga terlibat dalam korupsi E-KTP? Mungkin saja, bila media massa atau media sosial terus memblowup-nya.

Bila kita buka file lama, maka sebenarnya cukup banyak anggota Golkar dan PDIP yang diduga terkait dengan korupsi e-KTP. Ketua JPU KPK Irene Putri di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada 9 Maret 2017 menyebutkan beberapa nama pejabat yang diduga ikut menikmati aliran dana e-KTP yaitu:

1. Gamawan Fauzi (mantan Mendagri) sejumlah 4,5 juta dolar AS dan Rp50 juta
2. Diah Anggraini (mantan Sekjen Kemendagri) sejumlah 2,7 juta dolar AS dan Rp22,5 juta
3. Drajat Wisnu Setyawan (ketua panitia pengadaan) sebesar 615 ribu dolar AS dan Rp25 juta
4. Enam anggota panitia lelang masing-masing sejumlah 50 ribu dolar AS
5. Husni Fahmi (Staf Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) sejumlah 150 ribu dolar AS dan Rp30 juta
6. Anas Urbaningrum (mantan Ketua Fraksi Demokrat di DPR) sejumlah 5,5 juta dolar AS
7. Melcias Marchus Mekeng (ketua badan anggaran DPR/fraksi Partai Golkar) sejumlah 1,4 juga dolar AS
8. Olly Dondokambey (mantan Wakil Ketua Banggar DPR dari fraksi PDI Perjuangan yang saat ini menjabat Gubernur Sulawesi Utara) sejumlah 1,2 juta dolar AS
9. Tamsil Linrung (mantan Wakil Ketua Banggar DPR dari fraksi PKS) sejumlah 700 ribu dolar AS
10. Mirwan Amir (mantan Wakil Ketua Banggar DPR/fraksi Partai Demokrat) sejumlah 1,2 juta dolar AS
11. Arief Wibowo (anggota Komisi II DPR dari fraksi PDI-Perjuangan) sejumlah 108 ribu dolar AS
12. Chaeruman Harahap (mantan Ketua Komisi II DPR dari fraksi Partai Golkar) sebesar 584 ribu dolar AS dan Rp26 miliar
13. Ganjar Pranowo (Wakil Ketua Komisi II DPR dari fraksi PDI-Perjuangan saat itu, yang sekarang Gubernur Jawa Tengah) sejumlah 520 ribu dolar AS
14. Agun Gunandjar Sudarsa selaku anggota Komisi II dari Fraksi Golkar dan Badan Anggaran DPR sejumlah 1,047 juta dolar AS
15. Mustoko Weni (anggota Komisi II DPR/fraksi Partai Golkar, kini sudah meninggal dunia) sejumlah 408 ribu dolar AS
16. Ignatius Mulyono (anggota Komisi II DPR dari Partai Demokrat) sejumlah 258 ribu dolar AS
17. Taufik Effendi (Wakil Ketua Komisi II DPR dari Partai Demokrat) sejumlah 103 ribu dolar AS
18. Teguh Djuwarno (Wakil Ketua Komisi II dari PAN) sejumlah 167 ribu dolar AS
19. Miryam S Haryani (anggota Komisi II dari Partai Hanura) sejumlah 23 ribu dolar AS
20. Rindoko, Numan Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz dan Jazuli Juwaini selaku Ketua Kelompok Frasi (Kapolsi) di Komisi II masing-masing 37 ribu dolar AS
21. Markus Nari (anggota Komisi II dari Partai Golkar) sejumlah Rp4 miliar dan 13 ribu dolar AS
22. Yasonna Laoly sejumlah 84 ribu dolar AS (saat itu sebagai wakil ketua banggar dari PDI-P dan saat ini menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM)
23. Khatibul Umam Wiranu (anggota Komisi II dari fraksi Partai Demokrat) sejumlah 400 ribu dolar AS
24. M. Jafar Hapsah (mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat) sejumlah 100 ribu dolar AS
25. Ade Komarudin (Sekretaris Fraksi Partai Golkar) sejumlah 100 ribu dolar AS
26. Marzuki Ali (Ketua DPR/Fraksi Partai Demokrat) sejumlah Rp20 miliar.
27. Johanes Marliem (panitia pengadaan e-KTP) sejumlah 14,88 juta dolar AS dan Rp25,24 miliar
28. 37 anggota Komisi II lain yang seluruhnya berjumlah 556 ribu dolar AS, masing-masing mendapatkan uang berkisar antara 13 ribu dolar AS sampai dengan 18 ribu dolar AS
29. Beberapa anggota tim Fatmawati, yaitu Jimmy Iskandar Tedjasusila, alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi dan Kurniawan masing-masing sejumlah Rp60 juta.
Dari nama-nama yang disebut jaksa itu, maka anggota DPR dari Golkar dan PDIP –selain Demokrat- adalah yang terbanyak diduga menikmati uang korupsi e-KTP. Dari Golkar tersebut nama-nama Ade Komarudin, Chaeruman Harahap, Mechias Markus Mekeng, Mustoko Weni, Agun Gunandjar Sudarsa, Markus Nari dan Setya Novanto (baru ditetapkan KPK menjadi tersangka pada 17 Juli 2017).

Sedangkan dari PDIP tersebut nama-nama yang diduga menikmati uang korupsi e-KTP adalah : Olly Dondokambey, Ganjar Pranowo, Yasonna Laoly dan Arief Wibowo.

Entah mengapa, kurang bukti atau kurang serius, KPK sampai kini hanya menerapkan Ketua DPR Setya Novanto dan anggota DPR Markus Nari sebagai tersangka. Anggota DPR lain hanya dimintai keterangan beberapa kali oleh KPK dan tidak ditetapkan sebagai tersangka. Beberapa anggota PDIP bolak-balik dimintai keterangan oleh KPK, tapi mereka tidak dijadikan tersangka.

Peneliti Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina mengungkapkan bahwa mayoritas yang terjaring dalam tindak pidana korupsi adalah kader dari empat partai besar yakni PDIP, Partai Golkar, PAN dan Partai Demokrat. “Sepanjang KPK berdiri, anggota DPR, anggota DPRD yang paling banyak ditindak dari empat partai tersebut. Kenapa empat partai tersebut, karena memang secara kuantitas anggota DPR atau DPRD mayoritas berasal dari partai-partai besar tersebut, khususnya Golkar dan PDIP. Mereka paling banyak punya kader di pemerintahan,” kata Almas pada 28 Oktober 2017 lalu.

Sementara itu, data dari KPK tahun 2014-2017 didapatkan bahwa tiga partai yang terkorup berturut-turut adalah : Golkar, PDIP, dan Demokrat.

Di sinilah sebenarnya Partai Islam atau ‘partai koalisi umat’ sebutan untuk PKS, PAN dan Gerindra, dapat memainkan peranan untuk mengalahkan dominasi PDIP dan Golkar.

Tidak masuknya partai koalisi umat itu dalam daftar teratas partai terkorup, adalah senjata handal untuk meraih suara yang lebih besar pada pemilu 2019. Tinggal mesin partai, tokoh dan media massa/sosial mampu atau tidak memanfaatkan isu korupsi ini untuk melejitkan perolehan suara. Dan tentu juga keseriusan KPK sendiri dalam menangani soal korupsi, khususnya kasus e-KTP yang menelan kerugian negara 2,3 triliun rupiah.

Saatnya mengalahkan PDIP dan Golkar, meski lembaga-lembaga survei menjagokan mereka. Wallahu azizun hakim. II

Nuim Hidayat Dachli

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *