Perintah pembubaran Partai Masyumi oleh Presiden Soekarno, ternyata berbuntut panjang. Para pemimpin Masyumi ditahan, dijebloskan ke penjara tanpa proses peradilan, lebih dari empat tahun lamanya.
Wartapilihan.com, Jakarta –Para pemimpin Masyumi, Partai Sosialis Indonesiia (PSI) dan tokoh-tokoh yang kerap mengkritik rezim Soekarno seperti Mokhtar Lubis, baru dibebaskan sesudah rezim Soekarno tumbang.
Mr Mohammad Roem, tokoh yang namanya terabadikan dalam hasil perundingan yang ditandatanganinya : Roem Roijen, tidak terkecualikan dari gelombang penangkapan rezim Soekarno.
Pagi-pagi buta tanggal 16 Januari 1962, pejuang perunding itu didatangi petugas militer yang membawa surat perintah penangkapan.
Yang datang ke rumah Roem seorang perwira menengah bernama Mayor Pitono. Sikapnya tertib. “Pak Roem, saya datang untuk mengambil Bapak. Bapak ditahan. Inilah surat penahanannya,”ujar Pitono.
Roem meminta melihat surat perintah yang dibawa oleh Pitono. “Ini tandatangan saya kenal,” kata Roem sambal memandang wajah Pitono.
“Tandatangan siapa?” Tanya Pitono.
“Tandatangan Jenderal Nasution,” jawab Roem sambil menambahkan keterangan bahwa dirinya tidak setiap hari melihat tandatangan Nasution, tetapi baru beberapa hari sebelumnya Roem melihat tandatangan itu.
Peristiwa Cendrawasih
Sejak partainya membubarkan diri pada 13 September 1960 (karena ancaman Presiden Soekarno untuk membubarkan –red), Roem mengisi hari-harinya dengan menekuni profesi sebagai pengacara dan perkhidmatan lain yang bermanfaat untuk umat dan bangsa.
Dalam rangka berkhidmat kepada umat dan bangsa itulah, Roem diminta dan bersedia menjadi Presiden (sekarang rektor) Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan.
Akan tetapi, meskipun tidak aktif lagi dalam suatu partai politik, Roem tetap saja dikait-kaitkan dengan peristiwa politik.
Penahanan Roem dikaitkan dengan peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno saat berkunjung ke Makassar. Peristiwa itu dikenal dengan nama Peristiwa Cenderawasih. Waktu mendengar Peristiwa Cenderawasih itu, Roem berkomentar : “Yah, ini nanti aka nada orang-orang tidak bersalah yang ditahan.”
Roem sama sekali tidak tahu dan tidak pernah menduga, dirinyalah yang akan ditahan itu.
Selama dalam penjara rezim Soekarno, paling sedikit ada dua peristiwa yang dicatat Roem, keduanya berkenaan dengan sikap laku lajak (over acting) para petugas.
Pertama, saat dalam pemeriksaan, mantan Menteri Dalam Negeri dan mantan Menteri Luar Negeri itu dipotret dari depan, samping kiri, dan samping kanan, lengkap dengan papan gantung di leher bertuliskan,”Mr Mohamad Roem”. Roem merasa dirinya diperlakukan seperti seorang penjahat criminal.
Yang kedua, saat dipindahkan dari Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jakarta ke penjara di Jl Wilis Madiun.
Dengan mobil Combi rombongan enam orang terdiri dari Roem, Sutan Sjahrir, Prawoto Mangkusasmito, Anak Agung Gde Agung, Soebadio Sastrosatomo dan Sultan Hamid II diberangkatkan dari Jakarta melewati Jatinegara, Bekasi, Karawang dan Cirebon.
Meskipun sudah jelas perjalanan menuju kea rah Timur, Kapten yang memimpin perjalanan ‘berlagak besar’. Berkali-kali ditanya, si Kapten tidak mau memberitahu ke mana tujuan pemindahan.
Sampai di Cirebon, sopir Combi memberitahu Kapten bahwa bensin harus diisi lagi, karena perjalanan ke Madiun masih jauh.
Susah payah si Kapten menyembunyikan tujuan pemindahan, akhirnya bocor juga.
Doctor Honoris Causa
Sebagai Rektor UISU, pada awal Januari 1962, Roem menyetujui usulan Senat untuk memberikan gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) kepada Jenderal Abdul Haris Nasution. Promotor untuk penganugerahan gelar itu ialah Mr Tengku Zulkarnain.
Dalam upacara yang bersamaan dengan Dies Natalis UISU itu, selain promotor Zulkarnain dan promovendus AH Nasuton, sebagai Rektor, Roem juga menyampaikan pidato dan memberi selamat kepada Nasution.
Selesai pidato, dilanjutkan penandatanganan dokumen oleh Roem, Zulkarnain dan Nasution. “Itulah mengapa saya mengenal tandatangan Jenderal Nasution,”kata Roem.
Roem memberikan gelar Doktor Kehormatan kepada Nasution. Nasution memberikan surat perintah penahanan kepada Roem.
“Saya tidak tahu, apa salah saya waktu itu. Saya juga tidak punya perasaan apa-apa,” kata Roem seraya menambahkan,” bagi seorang politikus, ditahan itu bukan suatu hal yang aneh.”
“Jadi tahanan politik itu,”kata Roem lagi,” tidak usah ada sebab apa-apa.”
Tandatangan Blanko Kosong
Dalam (buku) Mohammad Roem 70 Tahun Pejuang Perunding, Jenderal Nasution memberi penjelasan mengenai surat perintah penahanan yang dia berikan kepada Roem.
Penahanan terhadap Roem dan tokoh-tokoh lain, kata Nasution, sebabnya ialah laporan kepada pemerintah yang disampaikan oleh intel-intel bekas anggota Nefis (Netherland Forces Intelligence Service, badan intelijen Belanda di bawah NICA di Indonesia).
Laporan intel Nefis itu sudah ditolak oleh Angkatan Darat, karena ada laporan Nefis itu yang bohong. Akan tetapi, lewat saluran lain laporan intel Nefis itu ternyata disampaikan kepada Presiden Soekarno. Dari situlah dikeluarkan perintah Presiden untuk menangkap sejumlah tokoh.
Lebih lanjut Nasution menuturkan, sewaktu surat perintah penahanan disampaikan kepadanya, Nasution sedang berunding dengan Jenderal Ahmad Yani mengenai peristiwa gugurnya Jos Sudarso dan soal-soal mendesak lain.
“Yah, tanpa piker panjang lagi akhirnya saya tandatangani surat perintah penahanan yang blanko (kosong) itu,” kata Nasution berterus terang.
Jenderal Nasution Turut Tertawa
Pada hari pemakaman Sutan Sjahrir, para tahanan politik yang saat itu sudah dikumpulkan di RTM Jl Keagungan Jakarta, diizinkan melayat jenazah almarhum Sjahrir di rumahnya.
Saat itulah Roem berjumpa kembali dengan Nasution dan duduk bersama dalam suasana santai.
Entah siapa yang memulai, diceritakanlah anekdot tandatangan bersejarah kedua tokoh itu di Medan dan Jakarta. Yang satu tandatangan Roem menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa kepada Nasution, yang satu tandatangan Nasution untuk menangkap Roem, orang yang memberinya Doctor Honoris Causa.
Semua yang hadir tertawa mendengar kisah nyata itu. Jenderal Nasution dan Mohammad Roem, turut tertawa pula. ||
Lukman Hakiem (Penulis buku ‘Merawat Indonesia, Belajar dari Tokoh dan Peristiwa, Pustaka Kautsar, 2017).