Mi-cin, Cin-ta Ta-pi Pi-kir-Pi-kir?

by

Beberapa kali penulis mengantar anak berobat ke dokter, kebanyakan karena sakit ringan seperti flu atau batuk. Sudah hapal dan seperti sudah menjadi standar, nasehat dokter anak adalah Jangan Makan anu dan anu karena ada micinnya atau MSG-nya. Karena yang bicara seorang dokter anak, penulis nurut saja, walaupun berkecamuk banyak pertanyaan. Masak yuk, eh… masak sih?

Wartapilihan.com, Depok—Yang membuat penulis penasaran dengan micin  adalah: bukankah riset FDA (Food & Drugs Administration) Amerika menyatakan secara resmi bahwa bumbu masak yang ditemukan pada 1909 oleh Ajinomoto Corporation di Jepang itu aman dikonsumsi? Hasil risetnya menyebutkan, MSG tidak terbukti secara langsung menyebabkan berbagai penyakit. Pandangan MSG sebagai penyebab berbagai macam problema kesehatan jelas keliru, bukan? FDA kok dilawan, begitu pikir saya.

Pengalaman menarik lain adalah saat pada suatu kesempatan berkunjung ke sebuah kawasan yang menerapkan gaya hidup alami. Disini, micin/MSG sudah menjadi barang ‘haram’. Jangankan digunakan untuk masak, ada makanan dari luar yg ditengarai mengandung micin saja, tidak boleh dibawa masuk. Status micin bahkan lebih ‘apes’ dari rokok. Soalnya rokok masih boleh ‘blas-blus’ disini.  Padahal tidak ada yang menjamin merokok itu lebih sehat dari makan micin, lho…hehe.

Selain FDA, tidak kurang Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) memasukkan MSG dalam klasifikasi bahan makanan yang “secara umum dianggap aman”, tapi tetap saja penggunaan zat aditif ini mengundang kontroversi. Demikian pemaparan di laman www.alodokter.com.

Argumen kenapa MSG dianggap aman adalah karena MSG mengandung lebih sedikit sodium (natrium) dibandingkan garam, sehingga secara teoritis merupakan zat substituen (pengganti) yang baik untuk garam bagi mereka yang harus berdiet rendah sodium. MSG menurut penelitian bukan karsinogenik (zat yang dapat menimbulkan kanker) dan juga bukan zat mutagenik (zat yang dapat memicu mutasi gen).

Dari laman okezone.com (https://lifestyle.okezone,com/read/2010/01/13/27/293675/kontroversi-penggunaan-msg), MSG tidak dianjurkan bagi mereka yang sensitif terhadap MSG (sekitar 1 persen dari populasi) dan juga mereka yang sering terkena serangan asma berat. Jika terlalu banyak termakan, MSG dapat menyebabkan keracunan garam yang berakibat tekanan darah tinggi (hipertensi).

Sementara di laman majalah1000guru.net disebutkan, Hipertensi merupakan penyakit berbahaya karena dapat berujung pada penyakit-penyakit lain seperti stroke, jantung, gagal ginjal, dan kebutaan. Konsumsi garam (berupa natrium) yang tinggi merupakan penyebab nomor satu penyakit hipertensi. WHO sendiri menganjurkan konsumsi garam maksimal 5 gram atau 1 sendok teh dalam sehari. Akan tetapi, di Indonesia, konsumsi garam harian masih tinggi, yaitu 15 gram lebih tinggi dari anjuran WHO (INASH, 2007). Inilah salah satu alasan tingginya kasus hipertensi di Indonesia. (http://majalah1000guru,net/2016/05/cerdas-dalam-mengonsumsi-msg/)

MSG adalah molekul sodium yang dikombinasi dengan asam glutamat. Molekul sodium digunakan untuk menstabilkan molekul glutamat, sementara asam glutamat berfungsi sebagai penyedap rasa. Sebagian ilmuwan menyebut glutamat sebagai “umami”, sebuah penyebutan untuk rasa kelima yang dapat dirasakan oleh indera perasa manusia, selain manis, asin, pahit, dan asam.

Masih di laman okezone.com, untuk golongan penduduk dengan kelebihan berat badan (kegemukan atau obesitas), risiko terkena keracunan garam naik menjadi 50 persen. Hipertensi yang kronis dan diabaikan dapat secara tiba-tiba membawa malapetaka, seperti serangan jantung atau stroke. Keracunan garam juga bisa menyebabkan lemah jantung, penyakit jantung koroner, dan gangguan ginjal.

Keracunan garam dapat terjadi karena kadar natrium/sodium dalam 1 gram garam dapur setara dengan kadar natrium/sodium yang terkandung dalam 3 gram (1 sendok teh) MSG. Satu gram garam dapur membuat satu mangkuk sup atau mi menjadi asin. Sebaliknya, 3 gram MSG tidak terasa asin, malah terasa lezat dan gurih, sehingga secara tidak sadar kita bisa keracunan natrium/sodium karena kebablasan menambahkan MSG.

Apalagi, jika sejak bayi sudah mulai dijejali dengan MSG dengan kadar berlebih dan terus-menerus sampai dewasa. Biasanya, orang yang terbiasa mengonsumsi MSG menjadi toleran dan ingin makan lebih banyak lagi karena sudah kecanduan. Hasilnya, tidak mustahil 20 tahun kemudian sebagian besar dari mereka sudah mulai mengidap hipertensi.

Mungkin inilah point penting yang harus kita perhatikan. Garam memberikan sinyal asin saat sudah mulai berlebihan. Tapi MSG malah memberikan sinyal semakin enak saat kelebihan. Tanpa sadar, kita sudah keracunan garam karena sinyal asin sudah diubah menjadi sinyal enak.

Akhirnya kembali kepada kita semua untuk memutuskan yang terbaik untuk dikonsumsi. Rasa memang penting, tapi sehat lebih penting. Kalau yang Muslim seperti saya, Halal-thoyyib lebih penting lagi.  Wallahu A’lam.

Abu Faris

Praktisi Kuliner, co-founder Herbal Fried Chicken (www.hefchick.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *