Dalam riset yang Islami, seseorang tidak bisa mengesampingkan sisi kandungan ruhiyahnya (spiritual content of Islam). Sehingga yang perlu ditekankan adalah menjaga keseimbangan antara lingkup spiritual dan material dalam mengkaji eksistensi dan aktivitas manusia.
Wartapilihan.com, Jakarta –Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Henri Shalahudin di hadapan peserta Bengkel Muslim Cendekia (BMC) seri Metode Penelitian belum lama ini di Jakarta. Kegiatan BMC ini dilakukan dari 7 April sampai 5 Mei 2018 di Kantor INSISTS, Kalibata Jakarta.
“Jika hal itu tercapai, maka akan menjadi ciri khas ilmu sosial yang lebih komprehensif. Bukan yang hanya didasarkan pada sebagian fenomena dan perilaku sosial tertentu saja,” kata Direktur Eksekutif INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) ini.
Ia menjelaskan, gagasan Barat tentang realitas yang tidak jelas, menyebabkan keterbatasan atau cacat dalam Metodologi Penelitian. “Metodologi Penelitian dalam Islam memiliki karakteristik tersendiri dibanding Metodologi Penelitian Barat saat ini,” tuturnya.
Mengutip ulama Gontor Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, ia juga mengungkapkan bahwa orang mukmin itu ketika melihat realitas, maka dalam pikirannya sudah terikat dengan adanya Tuhan, konsep-konsep ilmu, moralitas, dan lain sebagainya. “Salah berfikir dampaknya adalah salah berbuat. Maka agar berbuatnya benar, mikirnya juga harus benar. Nah, Islam mengatur manusia sejak dari cara mikirnya,” kata peneliti di Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) itu.
Henri menyoroti, banyak sarjana ilmu sosial yang mengadopsi materialisme sebagai esensi realitas, serta mengabaikan faktor spiritual dalam mempelajari realitas sosial. “Menerapkan metodologi semacam ini berarti mengarahkan para ilmuwan sosial untuk memandang dunia tanpa tujuan,” ujarnya menegaskan.
Di antara solusinya, dalam pertemuan itu Henri menyuguhkan 9 pola dari khazanah klasik Islam, untuk digunakan sebagai asas pengembangan metode ilmiah. Sebagai contoh, dari khazanah tafsir ‘ilmi dan tematis, dapat dikembangkan analisis data untuk penelitian eksperimental. Nasikh dan mansukh untuk pembaruan teori sains tanpa membatalkan semuanya. Konsep ilmu rijal untuk prinsip verifikasi kualitas peneliti yang terpercaya. Sedangkan dari naqdul hadits, dapat menjadi pola kritisi terhadap tulisan ilmiah secara mendalam. Selain itu ia pun memaparkan 6 elemen terpenting dalam metodologi Islam, dilengkapi dengan 4 skema kerja dalam Islamisasi ilmu.
BMC sendiri ialah kegiatan yang diselenggarakan oleh CADIK Indonesia. Berlokasi di Kampus INSISTS, kursus singkat itu menghadirkan peneliti lulusan dalam dan luar negeri sebagai pemateri.
Kepala CADIK Indonesia Zakiyus Shadicky menjelaskan, bahwa demi membantu para aktivis muslim untuk mengembangkan studi keislaman, dibutuhkan adaptasi metode riset lebih jauh, sehingga dapat menghasilkan temuan dan konstruksi ilmu yang lebih baik.
“CADIK mencoba untuk mengadakan BMC bagi aktivis Islam, agar dapat mengembangkan padangan yang sesuai dengan worldview Islam serta teknik yang lebih luas dalam kajian dan riset studi keislaman,” tutur Zakiyus.
Puluhan mahasiswa dan alumnus dari berbagai universitas menjadi peserta BMC. Untuk seri Metode ini, BMC telah khatam di sedari awal April hingga awal Mei. II
Cadik/Izzadina