Kita belajar dari TK sampai kuliah hanya untuk mencari kerja agar bisa makan. Monyet untuk bisa makan tidak perlu kuliah. Maka hakikatnya kita lebih hina dari monyet. Sebab tujuan terpenting dari belajar adalah menjadi orang baik.
Wartapilihan.com, Depok— Sabtu, 6 April 2019, telah terjadi satu kegiatan penting di pondok kami, At-Taqwa. Kegiatan itu adalah suatu aktivitas keilmuan kajian pendidikan. Tema yang ditetapkan adalah “Kajian Pendidikan: Sejarah Perjuangan Tokoh-Tokoh Islam Dalam Pendidikan Islam Indonesia.” Beggy Rizkiansyah dan Artawijaya, itulah dua pemateri yang hadir.
Di acara inilah ilmu dan hikmah tertumpahkan terus-menerus. Otoritas kedua pemateri yang terbangun dari karya-karya terkenal, membuat materi yang disampaikan menjadi begitu indah, menawan, bahkan kena di hati. Pemikiran serta data yang mereka kemukakan, membuat sebuah argumentasi yang sangat memukau. Dan kepakaran pembicara terhadap tokoh-tokoh yang dibahas, seakan menunjukkan hubungan guru dan murid.
Sekitar pukul 09.00, kajian dimulai. Kajian ini telah disiapkan oleh beberapa panitia dari pihak kami jauh-jauh hari. Semuanya memiliki peran untuk mensukseskan acara ini. Sebab kami semua tahu bahwa kehadiran orang-orang berilmu itu adalah suatu hal yang luar biasa. Maka sebagai insan adabi, sudah sepatutnya para ahli ilmu ditempatkan di tempat yang semestinya. Selain itu, pembacaan al-Qur’an serta penampilan hadrah juga ikut mewarnai acara kali ini.
Sebelum masuk ke acara inti, Mudir pondok, Ustadz Dr. Muhammad Ardiansyah, menyampaikan sedikit pembukaan. Beliau mengingatkan kembali akan pentingnya mengenal para pahlawan Islam kembali. Jangan sampai seorang muslim lupa dengan ulama dan pahlawannya sendiri. Yang menarik dari beliau adalah tatkala beliau mengatakan bahwa kita mempunyai sosok-sosok yang sangat luar biasa. Manusia-manusia yang bisa dijadikan teladan, baik dari segi pemikiran dan tingkah lakunya. Sementara hal yang sama tidak terjadi di tradisi intelektual di Barat.
Dengan Mengutip buku Intellectual, beliau berkata, “Para tokoh atau ilmuwan di Barat memisahkan antara ilmu dan amal/adab/etika/akhlaq. Memang betul pemikiran mereka menjulang tinggi bahkan sampai dikaji secara lintas negara. Namun sayang, kepribadian mereka, sosok mereka sebagai seorang manusia, sangat jauh dari kata baik. Mereka hanya mementingkan aspek keilmuan, namun lupa pada tataran tingkah laku atau adab.” Maka kemudian beliau katakan, bahwa sudah sepatutnya kita mensyukuri, mengenal, bahkan mengkaji para tokoh kita. Selain hebat dari segi pemikiran, mereka juga seorang manusia yang pantas untuk diteladani.
Sekian menit berlalu, tibalah bagi Beggy Rizkiansyah menyampaikan materinya. Tokoh yang hendak beliau bahas adalah KH. Ahmad Dahlan dan KH. Wahid Hasyim. Namun sebelum memaparkan pemikiran kedua tokoh itu, beliau menceritakan terlebih dahulu latar belakang pendidikan Islam di Nusantara. Setidaknya ada 3 fase: Pertama, saat kedantangan para ulama sekitar abad ke-9. Sebab, menurutnya, ulama itu datang pasti mengajar dan mendidik. Kedatangan ulama merupakan kedatangan pendidikan. Maka salah bilamana ada yang mengatakan bahwa pendidikan itu ada dengan keberadaan sekolah. Padahal, apalah arti dari keelokan bangunan tanpa diisi oleh tenaga pendidik?
Kedua, fase Kesultanan Samudera Pasai. Ibnu Batutah dalam Rihlah-nya menuliskan bahwa sejak abad 13, Samudera Pasai telah kedatangan para ulama-ulama dari Timur Tengah. Ada yang memegang jabatan pemerintahan ada yang datang khusus mengajar. Ketiga, fase pesantren atau Dayah pada abad 15. Dengan pesantren inilah para ulama tidak hanya mendidik santrinya untuk angkat pena, tapi juga angkat senjata.
Yang mendirikan serta mengembangkan lembaga pendidikan ini adalah para ulama-ulama yang belajar ke Timur Tengah dan membuat komunitas serta jaringan disana. Inilah fase dimana pesantren menjadi lembaga pendidikan. Memang sebetulnya sekolah-sekolah Belanda sudah beberapa yang berdiri. Namun saat itu, politik rasialis masih mereka pegang teguh, sistem kelas masih diberlakukan, sehingga memaksa kaum pribumi untuk tidak masuk kesana.
Keempat, fase sekolah-sekolah Belanda, atau yang Kang Beggy katakan sebagai pendidikan dan penjajahan. Kepentingan ekonomi mengalahkan politik rasialis saat itu. Namun hanya kalangan pribumi yang bangsawan saja yang boleh masuk. Disebabkan, nantinya mereka akan ditempatkan sebagai pemegang jabatan, dalam rangka melanggengkan kekuasaan penjajah. Dengan tujuan itulah berbagai cara dilakukan. Pendidikan disana membawa maksud serta pesan tertentu.
Bahkan Pak Natsir sendiri mengatakan bahwa pendidikan para penjajah telah: mengasimilasikan bangsa Indonesia dan bangsa Belanda, men-deislamisasikan pemuda-pemuda Islam Indonesia, Mencabut keimanan, membawa kepada pemikiran atau arus kebudayaan Barat. Maka saat itu beliau menekankan pentingnya pendidikan pesantren sebagai ladang keselamatan iman. Bahkan beliau menyebut pesantren sebagai “Kubu Pertahanan Mental.”
Kemudian, beliau masuk kepada pendidikan yang coba diterapkan Ahmad Dahlan pada era itu. Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa pendidikan yang coba beliau terapkan adalah lewat jalur modernisasi. Beliau melihat kebekuan atau kejumudan pemikiran Islam ketika itu. Maka dengan pengalamannya di Boedi Oetomo, beliau mulai menerapkan bangku, meja, serta ilmu-ilmu umum (selain ilmu agama) dalam pendidikannya. Tujuan beliau adalah untuk mewujudkan manusia yang belandaskan surat Ali Imran 110.
Boedi Oetomo juga menjadi acuan dari lahirnya oraganisasi Muhammadiyah. Sebab ketika itu beliau tersadarkan bahwa kader atau generasi pelanjut itu sangat-sangat dibutuhkan. Maka saat itulah beliau memulainya di sebuah ruang tamu yang sangat kecil (hanya untuk beberapa orang saja) di rumahnya sendiri. Saat itu di Kauman, ada satu Bani yang terkenal, yang disebut sebagai Bani Hasyim. Setidaknya ada tiga orang yang berhasil menjadi kader Muhammadiyah, yang melanjutkan perjuangan sang guru. Orang-orang itu adalah Syuja’, Fachruddin (yang pandai berbedat), dan Ki Bagus Hadikusumo (yang berjasa dalam merumuskan dasar negara).
Adapun pola yang beliau sampaikan dalam menjalankan pendidikannya, ada beberapa hal. Meskipun sebetulnya beliau bukan seorang yang banyak menulis, apalagi terkait dengan masalah pendidikan. Beliau termasuk orang yang lebih menekankan pada proses pengamalan bukan sekedar pembelajaran. Itulah mengapa dalam buku Membendung Arus, Alwi Shihab mengatakan bahwa Ahmad Dahlan itu adalah Man of Action. Bahkan salah seorang muridnya berkata bahwa selama 6 tahun ia belajar dengannya, ia hanya mendapat 7 perkara dan 30 ayat.
Maka pola pertama yang menjadi landasan beliau adalah (1) belajar dan amal. (2) bertahap. (3) Menimbang dan memikirkan kembali. (4) Memperluas wawasan. (5) tidak lupa mengedepankan akal. Artinya beliau hendak mengajak umat Islam agar jangan hanya belajar agama lewat dalil-dalil saja. Tapi mereka juga harus menggunakan akal, membuka cakrawala berfikir mereka dengan belajar ilmu-ilmu lain. (6) mengetahui yang manfaat dan mudharrat. (7) Takut kepada Allah.
Dari sini kita bisa mengambil pelajaran, bahwa bagi beliau yang terpenting itu bagaimana ia bisa berpegang teguh pada kebenaran dengan berlandaskan ilmu, beramal, serta menjadi seorang yang bertaqwa, bukan sekedar menumpuk ilmu-ilmunya setinggi langit.
Terkait dengan KH. Wahid Hasyim, beliau menghadapi latar belakang situasi yang hampir sama dengan Ahmad Dahlan, yaitu kebekuan serta ke-Islaman yang “ikut-ikutan” dari berbagai kalangan. Setelah dari Haramyn, Dia membentuk satu pesantren Nizamiyah dengan menambahkan ilmu pengetahuan umum. Sebab menurutnya, umat ini tidak hanya butuh orang-orang yang hanya ahli ilmu-ilmu agama. Beliau juga memenuhi perpustakaan disana dengan buku-buku berbahasa Belanda dan lain sebagainya. Bahkan beliau sendiri juga mengajarkan bahasa Belanda.
Makanya, tujuan pendidikan menurut beliau, adalah untuk menciptakan cendekiawan dan ulama, menghasilkan orang-orang yang bertaqwa serta bertanggung jawab. Dari situlah kemudian beliau mulai mengedepankan ilmu agama dan ilmu pengetahuan serta ketaqwaan. Sebagaimana Ahmad Dahlan, dia hendak membuka cakrawala serta menumbuhkan rasa takut kepada Allah, dengan keilmuan yang dimilikinya.
Terakhir, beliau mengutip satu perkataan Ahmad Dahlan yang sangat indah. Beliau mengatakan: “Agama itu pada mulanya bercahaya, berkialau-kilauan. Akan tetapi makin lama makin suram. Padahal yang suram bukan agamanya, akan tetapi manusia yang memakai agama. Maka kemudian modernisasi yang coba dilakukan oleh kedua tokoh itu, bukan sebagaimana yang dilakukan oleh para pencetus serta aktivis liberal. Bukan untuk mendekontruksi serta merubah khazanah keilmuan Islam klasik. Bukan pula untuk merusak otoritas serta kredibilitas para ulama klasik yang telah berjasa besar terhadap Islam.
Maka inilah satu pondasi pendidikan Islam sebelum kemerdekaan.
Sekitar pukul 10.00, giliran Pak Artawijaya yang menyampaikan. Kali ini, tokoh yang coba dia bahas adalah seputar guru dan murid, yaitu A. Hassan dan M. Natsir. Perjuangan kedua tokoh ini sangat besar dalam pendidikan Islam di Indonesia. Terkait dengan tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh keduanya tatkala hendak mendirikan pesantren PERSIS, adalah untuk “Menciptakan kader-kader muballigh yang mampu menyiarkan Islam, mengajarkan Islam, dan membela Islam”.
Maka kemudian pola yang beliau pakai adalah pola yang seharusnya sudah melekat dalam tubuh seorang santri. Yaitu tradisi mengkaji, meneliti, menulis, berdebat, mengkritik, berargumen, mengungkapkan artikulasi, dan masih banyak lagi. Dengan beginilah, seseorang akan tidak mudah menjadi apriori. Sebab, ketika itu kita sudah punya banyak wawasan. Basisnya adalah ilmu bukan hawa nafsu. Sehingga cara yang digunakan dalam mewujudkan tujuan pendidikannya, adalah dengan cara yang beradab, bukan pembunuhan karakter.
Itulah mengapa tahun 1929, A. Hassan sudah memerintahkan Natsir muda untuk mendebat pendeta. Sampai akhirnya berdirilah Komite Pembela Islam, yang bukan berfokus pada dunia lapangan dengan fisik, tapi dunia intelektual melalui tradisi tulis-menulis. Sampai-sampai HOS Cokroaminoto harus mengatakan, “Kalau ada penodaan-penodaan agama, serahkan saja pada A. Hassan dan Natsir.” Inilah terbosan baru dalam dunia pesantren dan dakwah. Yaitu dakwah bil qalam.
Selain daripada itu, Pemateri juga menyampaikan peran Muhammad Natsir yang sangat besar dalam pendirian lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia serta pengiriman-pengiriman murid-murid Nusantar ke Timur Tengah. Dan beliau juga menyesalkan akan kalangan yang sudah menerima jasa besar itu, namun sekarang justru mengkritik bahkan memberikan komentar buruk terhadap pak Natsir.
Di samping itu, dibalik kegarangan A. Hassan dalam berdebat (sebagaimana julukannya yang terkenal, yaitu singa podium), ia memiliki kepribadian yang sangat lembut dan baik. Dan itu semua ia tumpahkan dalam 4 bukunya: Hai Poetraku, Hai Cucuku, Hai Putriku, dan Hai Anakku. Maka disinilah kita mengetahui kontribusi yang sangat besar dari A. Hassan dalam pendidikan adab-nya.
Mungkin kurang lebih itulah yang bisa penulis gambarkan dari pensyarahan kedua pemateri itu. Namun setidaknya ada 2 kesimpulan yang dapat penulis ambil. Pertama, sudah selayaknya pengenalan akan perjuangan dan pemikiran dari tokoh-tokoh Muslim diperkenalkan kepada anak-anak muda. Sebab dengan begitu mereka punya panutan untuk melangkah ke depan. Sebagaiman yang dikatakan oleh Dr. Tiar Anwar Bakhtiar dalam bukunya, Jas Mewah, serta Dr. Adian Husaini dalam bukunya, 50 Tahun Perjalanan Meraih Ilmu dan Bahagia, bahwa sejarah itu ibarat kaca spion. Sebagaimana mobil yang tidak bisa berjalan mulus tanpa adanya kaca spion, begitu juga dengan seseorang yang tidak akan bisa melangkah menuju masa depan, tanji8yhlnmpa melihat ke belakang (sejarah).
Inilah yang sejak dulu sudah Buya Hamka katakan dalam tafsirnya, Tafsir al-Azhar, dimana beliau mengatakan, “Diajarkan secara halus apa yang dinamai Nasionalisme. Dan hendaklah Nasionalisme diputuskan dengan Islam. Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah lebih mencintai Gajah Mada daripada mencintai Raden Patah. Orang Mesir lebih memuja Fir’aun daripada mengagungkan sejarah Islam…”. (Lihat, Hamka, Tafsir al-Azhar — Juzu’ VI, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hal. 300.)
Oleh karena itu, jika Kaum Muslim tidak tahu siapa pahlawan mereka, siapa ulama’ mereka, dan dari mana mereka berasal, mereka tidak akan tahu untuk apa mereka hidup. Tidak akan ada tujuan untuk beribadah, karena hadirnya konsep monyet dalam fikiran mereka. juga akan sirna tugas kenabian dalam menegakkan kalimat tauhid (QS, 16: 36) serta perjuangan Adam dalam melawan iblis, Sebab putusnya rantai sejarah kenabian ketika muncul sejarah monyet tadi. Dan tidak lupa, mereka juga tidak akan punya beban amanah mereka dalam melanjutkan perjuangan para pahlawan dan ulama mereka dulu terhadap agama dan bangsa ini, sebab hilangnya gambaran dalam fikiran mereka tentang orang-orang luar biasa itu.
Kedua, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa keempat tokoh itu memberitahu kita bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah bukan sekedar transfer ilmu. Bukan sekedar mengajar, tetapi juga mendidik. Dimana pendidikan memuat penanaman nilai kepada si murid. Maka keempat tokoh itu tidak sekedar datang kemudian mengajar. Mereka juga peduli dengan adab dan akhlaq murid-murid mereka. Dan itulah yang coba dirumuskan oleh Al-Attas bahwa “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice…. The aim of education is to produce a good man.” Maka inilah pentingnya penanaman nilai dalam setiap institusi pendidikan.
Maka jangan lagi seorang guru berfikiran bahwa sekolah adalah lembaga bisnis, sehingga ia hanya merasa sebagai “tukang ngajar” yang hanya mempunyai hubungan administrasi dengan murid. Dia harus berfikir bahwa sekolah adalah lembaga pendidikan serta perjuangan, sehingga ia akan merasa bahwa ia adalah “mujahid intelektual” yang punya hubungan batin dengan murid.
Adab, atau ketaqwaan itu menjadi asas terpenting dari pendidikan Islam. Ingatlah dulu pada masa Nabi, tidak semua sahabat itu adalah orang pintar. Tapi Pada masa itulah orang orang baik berkumpul bersama. Dari mulai bangsawan, para pedagang, para penuntut ilmu, tukang sapu, sampai merbot masjid, semuanya baik. Karena pendidikan mereka faham bahwa yang paling esensi adalah nilai-nilai kebaikan serta keadilan.
Maka ingatlah bahwa kita belajar bukan untuk menumpuk ilmu dan sekedar mencari kerja dan bisa makan. Sebab ustadz kami selalu mengingatkan agar kami tidak menjadi sarjana monyet bahkan lebih hina darinya. Dimana kita belajar dari TK sampai kuliah hanya untuk mencari kerja agar bisa makan. Sebab monyet untuk bisa makan tidak perlu kuliah. Maka hakikatnya kita lebih hina dari monyet. Sebab tujuan terpenting dari belajar adalah menjadi orang baik. Ingatlah pesan A.A. Gym, “SD enam tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, kuliah 4 tahun, buang sampah masih sembarangan, belajar apaan aja sih?”
Maka sudah sepatutnya kajian-kajian seperti ini digalakkan khususnya kepada anak-anak muda. Sebagaimana kata Ustadz Ahda (Salah satu guru sejarah di pondok kami dan moderator saat itu) mengatakan, “Jangan sampai kajian-kajian seperti ini berhenti sampai disini saja.”
Tidak lama seminarpun ditutup, dan dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan dan foro bersama dengan para pemateri. Harapan kami semua adalah semoga ilmu-ilmu yang disampaikan bermanfaat. Dan semoga muncul kembali sejarawan-sejarawan seperti mereka yang sangat mengenal para pendahulu-pendahulu kita. Maka inilah alasan mengapa peristiwa ini sangat penting. Bukan sebab keelokan fisik serta materi lainnya. Tapi sebab kucuran ilmu serta hikmah yang tertuang secara masif ketika itu. II
Penulis: Fatih Madini (Santri PRISTAC AtTaqwa)