Keberagaman adalah keistimewaan yang diberikan Tuhan untuk Indonesia. Terbukti, selama puluhan tahu, slogan Bhineka Tunggal Ika tak pernah luput dari identitas bangsa ini. Namun, sangat disayangkan. Baru-baru ini seorang remaja asal Banyuwangi memposting sebuah tulisan, yang bagi saya mencoreng keberagaman itu sendiri.
Wartapilihan.com, Depok– Dia menulis sebagai berikut,
“Saya berfoto dengan latar Salib Katolik, selain karena natal memang perayaan lahirnya Yesus Kristus yang akhirnya disalib (yang mana ini sejatinya lebih esensial untuk diingat dari pada hiasan pohon cemara atau busana sinterklas). Juga untuk menunjukkan bahwa Tuhan terlalu besar jika hanya dibingkai dalam satu agama. Tuhan itu melampaui segala simbol yang diciptakan dan diwariskan turun-temurun oleh manusia.
Ketika kita mendaki gunung, kita bebas untuk memilih jalur manapun yang kita kehendaki. Jalur A atau B atau C sama saja. Asalkan bisa membawa kita dengan selamat ke puncak. Begitu pula dengan agama. Agama adalah sarana, bukan tujuan. Tujuannya tetap Tuhan Yang Maha Esa. Entitas Maha Besar yang memiliki Semesta Raya sampai akhir masa. Jadi kenapa mati-matian meributkan sarana, padahal kita sama-sama sedang berusaha menuju pada-Nya?”
Dalam narasi tersebut, sang penulis memaparkan sebuah konsep keagamaan yang keliru.
Argumen bahwasanya ‘Tuhan terlalu besar untuk satu agama,’ tentu secara logika tidak akan diterima oleh penganut agama manapun. Karena konsekuensinya, adalah memaksa siapapun untuk mengakui kebenaran yang sama atas semua agama.
Ketidakpahaman sang penulis dalam memaknai agama, membuatnya melihat agama hanya sekedar sarana dan produk budaya masyarakat. Padahal, agama adalah petunjuk Tuhan bagi manusia. Memosisikan agama sebagai sarana yang bebas dipilih, adalah anggapan yang jelas merendahkan kuasa Tuhan sebagai Yang Maha Mengatur.
Sang Penulis pun melanjutkan tulisannya,
“Jika Tuhan mau, Dia bisa saja menciptakan semua orang di dunia ini sebagai muslim/muslimah seperti saya. Tapi tidak, kan? Tuhan menciptakan kita dengan agama yang berbeda, TIDAK DISERAGAMKAN sesuai kehendak orang-orang yang (cuma) merasa jadi wakil-Nya.
Lalu, bukankah Tuhan sendiri yang juga bilang kalau Ia amat dekat dengan pembuluh nadi semua manusia, bukan cuma umat X atau Y saja? Sehingga, memusuhi mereka yang berbeda, sama saja dengan memusuhi Tuhan. Melawan kehendak-Nya. Merasa lebih tahu. Merasa sedang memperjuangkan kebenaran, padahal aslinya memperjuangkan ego sendiri. Ego tanpa bekal ilmu sama sekali. Kesombongan apa yang lebih besar dari itu? Padahal, Alquran menyebutkan, tidak akan mencium bau surga orang yang di hatinya terdapat kesombongan walaupun cuma sebiji atom!”
Menutup pernyataan dengan kata-kata yang memukau, memang menjadi andalan seorang penulis. Tapi tidak untuk tulisan ini. Sebab dibalik pernyataan penutupnya sendiri, sang penulis bahkan tidak memberikan kesimpulan apa-apa, selain menyalahkan orang lain.
Dia melarang orang lain untuk sombong, bahkan memperjuangkan kebenaran ia tuduh sebagai bentuk dari egoisme. Padahal, sikapnya yang merasa tahu tentang Tuhan, dengan kalimat “Jika Tuhan mau…” jelas sebuah keangkuhan yang nyata.
Lantas, apa yang perlu diperbaiki dari sang penulis? Hanya satu, kembali membaca.
Keberagaman yang harmoni telah sempurna dijabarkan pada undang-undang kita, yang berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945).
Dalam buku Membedah Islam Liberal. M. Syamsi Ali, anggota Dewan Pengurus Muslim Foundation of Amerika, berpendapat bahwa keberagaman agama di dunia adalah sebuah keniscayaan. Serta merupakan Sunnah Tuhan yang tak terbantahkan. Tapi di sisi lain, keberagaman tidak bisa menjadi dalil atas kebenaran semua agama.
Ini selaras dengan pernyataan intelektual muslim, Dr.Adian Husaini. Dalam tulisan berjudul, Wajah Liberal Islam di Indonesia, beliau menulis:
“Gagasan “penyamaan agama” merupakan gagasan absurd dan sulit dicerna akal sehat. Gagasan ini lebih merupakan strategi “burung onta” yang enggan melihat fakta, bahwa lebih banyak perbedaan substansial antar agama-agama. Pemikiran sederhana, bahwa semua agama adalah jalan yang sah menuju Tuhan, dan semuanya benar, berangkat dari sudut esoteris yang simplitis.”
Dr.Adian Husaini berpendapat, bahwa konsep “Penyamaan agama” adalah sesuatu yang tidak masuk akal, bahkan cenderung terlalu dipaksakan sebagai sebuah kebenaran di tengah keberagaman. Sehingga pada akhirnya menimbulkan berbagai kontroversi, yang justru merusak harmoni antar umat beragama.
Sebagai seorang muslim, kita semestinya yakin bahwa segala perbedaan dan keberagaman agama, merupakan ladang dakwah yang di siapkan Allah swt untuk satu tujuan penting. Yakni ajang untuk kita unjuk gigi, sebagai satu-satunya umat yang diridhoi oleh-Nya.
Ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Q.S Ali-Imran: 3: 110).
Semoga Allah memberikan hidayah kepada orang-orang yang mau berfikir jernih, dan bersungguh-sungguh mencari satu kebenaran yang sejati.
Azzam Habibullah (Mahasiswa Attaqwa College Depok)
Depok, 25 Desember 2019