Pasca perang Yamamah di masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, banyak para huffazh Al-Quran dan para sahabat Rasulullah yang menemui syahid. Meskipun kaum Muslimin mendapatkan kemenangan pada akhirnya, berkat pertolongan Allah melalui kepemimpinan hebat panglima besar Khalid bin Walid.
Wartapilihan.com, Jakarta –Sahabat Rasulullah selevel Umar bin Khaththab pun dirundung duka, akibat saudara tercintanya Zaid bin Khaththab menemui syahid dalam pertempuran melawan gerombolan murtad pimpinan Musailimah Al-Kadzdzab si nabi palsu itu.
Suatu kali, seorang bernama Mutammin bin Nuwairah seringkali menangisi kematian saudaranya yang bernama Malik bin Nuwairah, bahkan ketika kunjungannya ke Masjid Nabawi di Madinah pun Mutammin masih dilanda duka yang mendalam. Ia pun duduk bersandar ke busur panahnya di masjid, waktu ia duduk, di samping mihrab Masjid Nabawi duduklah “syaikhain” Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Wazir terhebatnya Umar bin Khaththab (dua manusia terbaik setelah para Nabi).
Mutammin mendendangkan bait-bait syair kesedihannya:
“Sungguh telah mencelaku kawanku…Atas rasa dukaku yang dalam di antara kubur…Dengan linangan air mata yang deras bercucuran…Ia berkata “Apakah akan engkau tangisi setiap kuburan (makam) yang kau lihat?”…”Sungguh kubur itu hanyalah tumpukan tanah yang teronggok”…Kukatakan kepadanya “Sesungguhnya kesedihan akan membangkitkan kesedihan”…Maka biarkanlah aku, untuk menganggap ini semua adalah kuburan Malik”
Mendengar bait syair duka tersebut, Umar mengatakan “Andai saja aku bisa mengungkapkan rasa duka cita ku atas kematian saudaraku, Zaid, seperti ungkapan rasa duka citamu terhadap saudaramu.”
Mutammin menimpali “Demi Allah, andai saja saudaraku mati seperti matinya saudaramu (Zaid), aku tak akan mengucapkan satu bait syair pun tentangnya.”
Umar menjawab “Duhai, tidak ada orang yang menghiburku seperti engkau menghiburku.”
Seketika rasa duka Umar bin Khaththab reda akibat diingatkan bahwa kematian Zaid adalah syahid. Mutammin meredakan kesedihan Umar dengan tidak sengaja, melalui komunikasi yang amat baik.
Ilham Martasyabana, penggiat sejarah Islam