Mengenang Kehebatan AR Baswedan

by
foto:istimewa

Diantara the founding fathers, bapak bangsa (Mr Mohammad Roem menerjemahkannya menjadi “nenek moyang”) yang sempat penulis kenal akrab ialah Abdul Rahman Bswedan atau biasa disingkat AR Bswedan (1908-1986).

Wartapilihan.com, Jakarta –-Ketika penulis hijrah ke Jakarta, komunikasi tetap terjaga. Bahkan dua pecan sebelum wafat, Baswedan meminta penulis untuk menemaninya makan siang di rumah putranya, dr Samhari, di bilangan Jakarta Timur.

Baswedan dan Liem Koen Hian
Kecintaan Baswedan kepada Indonesia telah dipupuknya sejak usia belia. Pada 1 Agustus 1934, surat kabar golongan Peranakan Tiongha, Mata Hari, memuat foto yang menggemparkan. Seorang pemuda keturunan Arab mengenakan beskap dan blangkon. Pemuda itu, AR Baswedan berseru kepada kaumnya agar bersatu membantu perjuangan bangsa Indonesia. “Dimana seseorang dilahirkan, disitulah tanah airnya,” kata Baswedan.

Di masa penjajahan Belanda, Baswedan juga berjuang di lapangan jurnalistik untuk kemerdekaan Indonesia atas dasar persatuan dan keragaman, bersama rekan-rekan Tiongha, antara lain Liem Koen Hian pendiri Partai Tiongha Indonesia.

Menjelang kemerdekaan, Baswedan dan Liem sama-sama duduk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).

Menurut catatan AB Kusuma (2013), dalam perdebatan mengenai pasal kewarganegaraan di BPUPK, dua wakil keturunan Tiongha, Oei Tiang Tjoei dan Oei Tjong Hauw, memilih tidak menjadi warga negara Indonesia. Satu anggota, Mr Tan Eng Hoa, tidak berpendapat.

Sesudah pasal kewarganegaraan (pasal 26 UUD 1945) yang mengharuskan penduduk keturunan Tiongha memilih kewarganegaaan, agar tidak terjadi ‘bipartride’, Liem Koen Hian mengundurkan diri dari BPUPK. Belakangan Mr Tan menjadi warga negara Belanda, Liem menjadi warga negara Republik Rakyat China (RRC).

Sikap itu tidak diikuti oleh wakil golongan Indo Belanda, PF Dahler, dan wakil golongan Arab, AR Baswedan yang memilih kewarganegaraan Indonesia.

Tiga Kesan
Penulis mengenal Baswedan lebih dekat ketika menjadi aktivis HMI Cabang Yogyakarta, dan makin akrab saat mengemban amanah sebagai Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta (1983-1984).

Penulis mencatat tiga kesan mengenai Baswedan.
Pertama, kecintaannya kepada Indonesia. Ketika mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI), Baswedan dan kawan-kawan mengakui adanya Indonesia dalam ide dan dalam pengakuan adanya nasionalisme Indonesia. Dengan mencantumkan Indonesia dalam nama partainya, Baswedan hendak menghapus kekeliruan yang berkembang dan dikembangkan sejak zaman Belanda, yaitu anggapan kaum nasionalis bahwa kaum Muslimin tidak nasionalis. Dengan menggandengkan Arab dan Indonesia pada nama partainya, Baswedan mau menegaskan bahwa orang-orang Arab yang identik dengan Islam adalah Indonesia. Bagi Baswedan, warga keturunan Arab secara de facto telah menjadi Indonesia sejak PAI diterima dalam Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI).

Kedua, kesukaannya menjalin silaturahmi dengan siapa saja. Setiap pagi, sambil jogging, Baswedan menyambangi Djarnawi Hadikusumo di Kauman, besok mengunjungi Romo Mangunwijaya di Lembah Kali Code, lusa menyambangi Dick Hartoko di Kotabaru dan seterusnya. Kesempatan bersilaturahmi itu digunakan Baswedan untuk membahas masalah-masalah actual. Jelang Muktamar Muhammadiyah 1985, Baswedan gencar mengampanyekan perempuan menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Gagasan yang sampai hari inipun masih dianggap aneh.

Ketiga, perhatiannya yang sangat besar kepada aktivis muda. Di tengah tekanan kuat rezim Orde Baru yang memaksakan pemberlakuan asas tunggal Pancasila, hampir tiap hari Baswedan berkunjung ke secretariat HMI Cabang Yogyakarta yang memang dekat dengan kediamannya di Taman Yuwono. Hampir setiap berkunjung, Baswedan mewanti-wanti para aktivis untuk tidak mengidentikkan perjuangan dengan masuk penjara. “Contohlah H Agus Salim. Salim gigih melawan penjajah Belanda dan Jepang, baik melalui pergerakan maupun melalui pers, tapi Salim tidak pernah masuk penjara,” tutur Baswedan.

Tonggak Nasionalisme Indonesia
Sehubungan dengan jejak hayat Baswedan, Prof Ahmad Syafii Maarif menegaskan bahwa  pejuang berdarah Hadramaut itu patut benar dipertimbangkan menjadi Pahlawan Nasional Par Excellence, sekalipun barangkali ruhnya tidak hirau pada penghargaan semacam itu.

Menurut mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu, dalam diri Baswedan menyatu dengan rapi nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, jurnalisme, moral, politik dan kebudayaan. “Dengan modal ini, Baswedan tidak diragukan lagi sebagai salah satu tonggak bagi mekarnya nasionalisme Indonesia,” pungkas Buya Syafii Maarif. ||

Lukman Hakiem (Penulis buku ‘Merawat Indonesia, Belajar dari Tokoh dan Peristiwa, Pustaka Kautsar, 2017). Judul aslinya ‘Mengenang AR Baswedan’.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *