Mengapa Serat Penting Untuk Usus?

by
Makanan berserat. Foto: Istimewa

Sudah umum diketahui serat pada makanan membuat tubuh terbebas dari risiko penyakit. Namun sejauh ini belum diketahui mengapa itu terjadi. Dua studi terbaru memberikan penjelasan. Serat makan memberikan makan kepada bakteri di usus.

Wartapilihan.com, Jakarta –-Banyak dokter memberikan saran agar kita banyak mengonsumsi makanan yang banyak berserat. Diet kaya serat, seperti buah dan sayuran, diklaim dokter dapat mengurangi risiko diabetes, penyakit jantung dan artritis. Dengan mengonsumsi lebih banyak serat tampaknya juga berperan dapat menurunkan angka kematian yang diakibatkan suatu penyakit.

Anjuran tersebut memang baik, karena sudah banyak bukti studi yang menguatkannya. Namun hal tersebut tetap menyisakan misteri. Pertanyaannya: kalau ada manfaatnya, mengapa tak begitu jelas bagaimana manfaat itu tercipta.

“Pertanyaan yang mudah diajukan dan yang sulit untuk benar-benar dijawab,” kata Fredrik Backhed, seorang biolog pada Universitas Gothenburg, Swedia, seperti dilansir situs nytimes.com (1/1/2018).

Nah, Backhed dan koleganya memberikan jawaban. Menurutnya, serat tidak memberikan banyak manfaatnya secara langsung ke tubuh kita. Sebagai gantinya, serat yang kita makan justru memberi makan miliaran bakteri – terutama bakteri baik — dalam usus kita. Terus memberikan makanan kaya serat, berarti usus dan sistem kekebalan kita tetap terjaga dalam keadaan baik.

Lebih lanjut, Backhed bilang, usus dilapisi dengan lapisan lendir, yang di atasnya hidup dari ratusan spesies bakteri, bagian dari microbioma manusia. Beberapa mikroba ini membawa enzim yang dibutuhkan untuk memecah berbagai jenis serat makanan.

Dua studi terperinci yang diterbitkan baru-baru ini di jurnal Cell Host dan Microbe memberikan bukti kuat pada jawaban bahwa serat itu bermanfaat adalah ya. Dua riset itu adalah riset Backhed dan Andrew T. Gewirtz dari Georgia State University, Amerika Serikat.

Backhed dan rekan-rekannya melakukan percobaan pada tikus dengan makanan diet rendah lemak dan tinggi lemak. Dengan memeriksa fragmen DNA (asam dioksiribo nucleus) bakteri pada kotoran hewan, para ilmuwan dapat memperkirakan ukuran populasi bakteri usus di setiap ekor tikus.

Mereka mengamati mikrobioma pada tikus pada saat mereka beralih dari makanan kaya serat ke makanan dengan serat rendah.

Para ilmuwan memusatkan perhatian pada keragaman spesies yang membentuk microbioma usus tikus. Pergeseran hewan ke makanan rendah serat memiliki efek dramatis.

Mereka menemukan: banyak spesies bakteri yang semula umum ditemukan dalam usus menjadi langka. Sebaliknya, spesies langka menjadi umum.

Seiring dengan perubahan mikrobioma, kedua tim juga mengamati perubahan cepat pada tikus. Usus mereka menjadi lebih kecil, dan lapisan lendirnya lebih tipis. Akibatnya, bakteri menjadi lebih dekat ke dinding usus, dan perambahan itu memicu reaksi kekebalan tubuh.

Setelah beberapa hari menjalani diet rendah serat, usus tikus mengalami peradangan kronis. Setelah beberapa minggu, tim tersebut mengamati bahwa tikus-tikus itu mulai berubah dengan cara lain: menambah lemak, misalnya, dan mengembangkan kadar gula darah yang lebih tinggi. Kedua hal ini bisa memicu obesitas dan diabetes.

Backhed dan timnya lantas memberi makan kelompok tikus lain menu tinggi lemak, bersamaan dengan dosis sederhana dari jenis serat yang disebut inulin.

Walhasil, lapisan lendir di usus mereka lebih sehat daripada pada tikus yang tidak mendapatkan serat dan bakteri usus dijaga pada jarak yang lebih aman dari dinding usus mereka.

Lalu, tim Backhed melakukan eksperimen yang lebih menarik. Mereka memberikan minuman air kepada tikus yang menjalani diet tinggi lemak. Air itu berisi spesies bakteri pengikat serat.

Penambahan tersebut mengubah tikus menjadi lebih baik. Bahkan dengan diet tinggi lemak, mereka menghasilkan lebih banyak lendir dalam usus tersebut, yang dapat melindungi usus dari serangan bakteri jahat yang merusak dinding usus.

Dalam percobaan lain, Andrew T. Gewirtz memberikan tikus seperti yang dilakukan Backhed: memberikan makanan tinggi lemak (rendah serat) dan rendah lemak. Pada diet rendah serat, mereka menemukan, populasi bakteri mengalami penurunan, menyusut 10 kali lipat.

Gewirtz kemudian memberi inulin pada tikus mereka, tapi dengan dosis yang jauh lebih tinggi. Perbaikannya bahkan lebih dramatis. Meskipun melakukan diet tinggi lemak, tikus memiliki populasi bakteri baik dalam usus mereka, usus mereka mendekati normal. Berat badan tikus lebih ramping tapi sehat. Mereka tidak mengalami obesitas.

Dari hasil tersebut, didapat jawaban mendetail mengapa manfaat serat. “Salah satu cara agar serat pada makanan bermanfaat bagi kesehatan adalah dengan memberi kita, secara tidak langsung, sumber makanan lain,” kata Gewirtz.

Begitu bakteri diberikan keleluasaan memanen energi melalui serat makanan yang kita konsumsi, bakteri membuang fragmen itu sebagai limbah. Limbah-limbah itulah yang diserap oleh sel usus, untuk digunakan sebagai bahan bakar tubuh kita.

Helmy K

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *