Mengapa Penderita Autisme Menghindari Kontak Mata?

by

Penyandang autisme sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka kurang perhatian bila dipanggil atau disuruh melakukan sesuatu. Bahkan ia menghindari tatapan mata. Mengapa?

Wartapilihan.com, Jakarta –Para peneliti pada Pusat Studi  Pencitraan Biomedis Martinos Center, Rumah Sakit Massachusetts, Massachusetts, Amerika Serikat, mencoba menguak misteri tersebut. “Temuan kami menunjukkan bahwa, bertentangan dengan apa yang telah diungkapkan sebelumnya, kurangnya minat penyandang autisme bukan karena kurangnya perhatian,” kata Dokter Nouchine Hadjikhani, Direktur Penelitian Neurolimbik Martinos Center, yang memimpin studi tersebut.

Dalam riset yang dikutip situs sciencealert.com (20/6/2017) ia mendapat jawaban, adanya overaktivasi struktur pada bagian sub-korteks di otak pada anak berkebutuhan khusus ini. Menurutnya, ada gairah yang berlebih dari bagian otak tadi. Korteks adalah bagian di otak besar yang berkaitan dengan fungsi motorik, pengindraan, dan asosiasi. Sedangkan bagian sub-korteks berhubungan dengan emosi yang dihasilkan dari kontak mata.

Hadjikhani dan rekannya membuktikannya setelah mengukur perbedaan aktivasi di dalam komponen pengolahan wajah pada anak penyandang autisme dan pada relawan sehat sebagai kontrol atau pembanding.

Alat yang digunakan untuk mendapatkan citra itu di otak adalah functional magnetic resonance imaging (fMRI). Melalui alat tersebut, Hadjikhani mengukur perbedaan aktivasi di dalam komponen pengolahan wajah dari sistem subkorteks pada orang dengan autisme dan pada peserta kontrol, saat memandang mata orang lain.

Peneliti memperhatikan struktur dan kerja korteks seperti saat menonton berbagai adegan yang menampilkan beragam ekspresi: mara, menakutkan, bahagia, dan netral. Di situ terlihat terjadi overaktivasi di sub-korteks pasien autisme pada saat menonton atau memandang mata orang lain di televisi.

Penyandang autisme memandang apa yang ditonton sebagai wajah yang menakutkan. Wajah menakutkan juga nampak ketika mereka melihat wajah yang bahagia, marah, dan netral. Hasil studinya diterbitkan dalam Jurnal Scientific Reports versi online bulan ini.

Kesimpulan peneliti: ada ketidakseimbangan antara jaringan pensinyalan yang berkaitan dengan perangsangan dan penghambatan otak pada pasien autisme. Perangsangan mempunyai efek aktivasi neurotransmiter, sementara penghambatan yang membuat menjadi otak lebih tenang.

Ketidakseimbangan tersebut, kata Hadjikhani,  menimbulkan reaksi abnormal terhadap kontak mata. Pasien autisme jadi enggan mengarahkan pandangan ke objek tertentu. Akibatnya perkembangan otak terhadap fungsi sosial menjadi abnormal. Ketidakseimbangan ini mungkin disebabkan beragam faktor genetik dan lingkungan.

Hadjikhani lalu meminta agar para terapis menghindari kontak mata secara berlebihan dalam terapi perilaku pada anak-anak autisme. “Memaksa anak-anak autis untuk melihat ke dalam mata seseorang dalam terapi perilaku justru dapat membuat mereka kerap gelisah,” ujarnya. Terapi yang baik: membiarkan pasien melakukan kontak mata secara perlahan-lahan. Ini bisa memperbaiki penyakitnya – termasuk perkembangan sosial — dalam jangka panjang.

Para peneliti berencana menindaklanjuti penelitian tadi. Hadjikhani kini tengah mencari donatur yang bersedia mendanai studi yang akan menggunakan magnetoencephalography (MEG) bersamaan dengan pelacakan mata dan tes perilaku lainnya untuk menyelidiki lebih dalam hubungan antara sistem sub-korteks dan penghindaran kontak mata pada autisme. MEG adalah alat pemindai otak yang mengukur perubahan elektromagnetik di daerah otak sesuai dengan aktivitasnya, yang dihasilkan oleh arus listrik intraseluler dari neuron-neuron otak.

Hasil temuan tersebut bisa menjadi terapi baru penyakit autisme. Selama ini, terapis selalu berusaha pasien memandangi wajah terapis agar bisa meningkatkan konsentrasinya. Padahal cara tersebut justru membuat mereka ketakutan

Autisme merupakan salah satu penyakit saraf yang sebagian besar menimpa anak-anak. Jumlah penderitanya di dunia ditaksir lebih dari 21 juta jiwa. Sedangkan di Indonesia, per 2013, lebih dari 112.000 anak berumur 5-19 tahun menderita autisme.

Sampai saat ini belum diketahui penyebab utamanya. Ada yang mengaitkan dengan faktor genetis, paparan merkuri atau timah, defisiensi vitamin D,  kelainan bawaan, atau faktor trauma si ibu sewaktu masih kecil.

Helmy K

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *