Kinerja ekspor dalam negeri masih kalah dengan negara tetangga. Diperlukan koordinasi dan kreativitas dalam menawarkan produk, juga perluasan perjanjian perdagangan.
Wartapilihan.com, Jakarta –Nilai ekspor Indonesia yang nilainya masih kalah dengan negara-negara tetangga, membuat Presiden Joko Widodo gusar. Kepala Negara pun membandingkan nilai ekspor dengan negara tetangga se-kawasan (Asia Tenggara). Di mana kinerja ekspor di antara negara-negara ASEAN, Indonesia berada pada peringkat ke-5.
Padahal Indonesia memiliki sumber daya manusia dan sumber daya alam terbesar di ASEAN. Kepala negara pun menganggap ada sebuah kekeliruan pada konsep perdagangan Indonesia, sehingga harus dirombak.
Ketidakpuasan Jokowi terhadap kinerja ekspor itu disampaikan dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan, di istana awal Februari lalu. Nilai ekspor Indonesia tahun 2017, hanya sebesar US$ 144 miliar.
Sedangkan Vietnam, Thailand, dan Malaysia, sudah di atas Indonesia. Thailand mampu mencetak ekspor US$ 231 miliar, sementara Malaysia dan Vietnam juga mencatat ekspor masing-masing US$ 184 miliar dan US$ 160 miliar.
Bagi Indonesia, memang saat ini yang terpenting dalam mengurus perekonomian, adalah nilai investasi dan nilai ekspor. Sementara kinerja positif sektor perekonomian yang lain akan mengikuti pada iklim investasi, dan peningkatan ekspor.
Terutama ketersediaan lapangan kerja, sangat bergantung pada investasi dan kontrak ekspor. Kementerian Perdagangan sendiri sudah berusaha memperbaiki kekurangan dengan beberapa langkah, Seperti memangkas peraturan sektor kepabeanan. Khususnya terhadap arus barang modal, dan bahan baku, wajib segera keluar dari pelabuhan. Aturan ini sudah mulai berlaku 1 Februari lalu.
Namun perdagangan, memang hanya satu sektor dari banyak sektor yang menjadi kunci keberhasilan ekspor. Agar barang bisa dijual, selain aturan jual beli dimudahkan, faktor kualitas produk hingga harga perlu diperhatikan.
Karenanya, koordinasi dengan instansi terkait sanggat penting. Misalnya, dari kebijakan terbaru, terkait impor beras. Ada dugaan terjadi komunikasi yang kurang baik antara Kementerian Perdagangan dengan Kementerian Pertanian.
Begitu pula dalam hal kepabeanan, Kementerian Perdagangan harus menjalin koordinasi kuat dengan Kementerian Keuangan terkait bea cukai, dan Bank Indonesia (terkait Letter of Credit, LC).
Juga perlu berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan dalam urusan pelabuhan. Sementara soal produk, Kementerian Perdagangan juga harus menyamakan pandangan mengenai kebutuhan yang akan diekspor, nilai, juga kualitasnya dengan Kementerian Perindustrian.
Di sisi lain, Kementerian Perdagangan, juga perlu memiliki wakil yang kuat dalam urusan koordinasi dan lobi-lobi di organisasi perdagangan dunia seperti WTO.
Dan meskipun ekspor Indonesia masih rendah dibanding negara-negara lain, pada tahun lalu sebenarnya angka ekspor sendiri mengalami peningkatan 16,8%. Ini artinya struktur ekspor nasional perlu pembenahan.
Selama ini 35% ekspor Indonesia ditujukan ke Amerika Serikat, China, dan Jepang. Hal ini tentu berbahaya jika negara-negara tersebut mengalami gejolak yang besar.
Oleh sebab itu, diversifikasi pasar bisa menjadi solusi agar ekspor nasional tetap sesuai yang diinginkan Presiden Jokowi. Negara-negara di Amerika Latin dan Afrika memiliki potensi besar untuk dijajaki. Selain itu, perlu dijajaki kerja sama ekspor dengan negara-negara Asia Selatan seperti Bangladesh dan Pakistan.
Struktur ekspor selama ini juga belum lepas dari masih mendominasinya barang komoditas. Di mana 40% ekspor ditopang ekspor komoditas primer atau barang mentah seperti tambang.
Selama Indonesia masih mengandalkan ekspor komoditas, maka sulit mengharapkan kinerja ekspor akan meningkat signifikan.
Apalagi sifat barang komoditas sangat tergantung dengan harga di pasar global yang tidak bisa dikontrol, seperti harga minyak di bursa New York dan Singapura, harga batu bara di bursa Rotterdam, dan harga minyak kelapa sawit di bursa Malaysia.
Di negara seperti Malaysia dan Thailand, juga Vietnam, porsi ekspor berupa barang komoditas minim karena mereka mengandalkan produk manufaktur. Sementara produk manufaktur dalam negeri kita yang diekspor juga kalah bersaing dengan produk negara tetangga.
Sedangkan bila ada produk dalam negeri yang kualitasnya bagus namun tidak ada perjanjian perdagangan bebas dengan negara mitra sehingga kurang optimal penjualannya. Bagaimana pun, keberadaan perjanjian internasional sangat penting karena menyangkut tarif impor suatu negara.
Produk Indonesia yang tidak kompetitif juga disebabkan mahalnya biaya untuk produksi. Beberapa komponen biaya yang membuat ongkos produksi lebih tinggi, seperti buruknya infrastruktur sehingga membuat biaya logistik menjadi tinggi.
Serta suku bunga perbankan yang masih tinggi meski Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga acuan. Semua hambatan ini, yang perlu dicari penyelesaiannya oleh pemerintah.
Rizky Serati