Tim peneliti Cina sukses mengedit kode genetik DNA dalam embrio untuk mencegah penyakit keturunan. Sudah diujicoba pada embrio manusia. Dapat diterapkan untuk penyakit lain.
Wartapilihan.com, Jakarta –Ini kabar bagus buat pasangan yang ingin merintis pernikahan. Mereka tidak perlu kawatir bakal memiliki anak yang punya penyakit keturunan. Sebab, tidak lama lagi ada teknik rekayasa genetika yang dapat memperbaiki kesalahan genetik sebelum tumbuh jadi janin.
Hal itu sudah dijajal oleh tim dari Universitas Sun Yat-sen, Cina. Mereka menggunakan teknik pengeditan kode-kode genetik. Mereka berhasil memperbaiki kesalahan tunggal dari 3 milyar kode genetik. Itu dilakukannya pada kasus keluarga yang punya gen beta talasemia.
Seperti dikutip situs bbc.com (28/9/2017), mereka memperbaikinya ketika masih berbentuk embrio. Percobaan dilakukan pada jaringan yang diambil dari pasien dengan gangguan darah. Kemudian mereka membuat embrio masuk melalui kloning.
Embrio hasil kloning tadi lantas dimasukkan ke dalam laboratorium. Mereka lalu mengubah susunan kode genetik pada asam dioksiribo nukleus (DNA). YaituL adenin, sitosin, guanin, dan timin (ACGT). Dalam keadaan normal, susunan DNA seperti itu.
Disitu peneliti melihat ada kesalahan dalam susunan kode genetik. Susunan yang biasanya dimulai dari A berubah jadi G. Maka, peneliti mengubahnya lagi menjadi A, sehingga kesalahannya berhasil dikoreksi. “Kami adalah orang pertama yang menunjukkan kelayakan penyembuhan penyakit genetik pada embrio manusia dengan sistem editor dasar,” ujar Junjiu Huang, salah satu peneliti. Studi tersebut dipublikasikan di Protein and Cell terbaru.
Huang menyebut studi mereka telah membuka jalan baru untuk mengatasi pasien dan mencegah bayi dilahirkan dengan beta talasemia. Bahkan dengan teknik, penyakit bukan keturunan bisa dihindari dengan pengeditan kode genetik.
Menurutnya, teknik pengeditan dikenal dengan Crispr. Crispr bekerja memecahkan DNA. Saat tubuh mencoba memperbaiki jeda, ia menonaktifkan satu set instruksi yang disebut gen. Di sini peneliti bisa diberikan kesempatan untuk memasukkan informasi genetik baru.
Studi Huang merupakan contoh terbaru mengenai kemampuan ilmuwan yang berkembang pesat untuk memanipulasi DNA manusia. Jika ini sudah terbukti aman, cara tersebut bisa digunakan untuk menghindari penyakit talasemia pada keluarga yang memiliki keturunan penyandang talasemia. Selama ini, menurut Yayasan Talasemia Indonesia, 7.200-an lebih yang terdata menjadi penyandang talasemia di Indonesia.
Karena genetik, penyakit ini didasarkan pada orang tuanya. Apabila salah seorang dari orang tua pembawa gen talasemia beta, maka ia akan menurunkan anak yang 50% sehat dan 50% menjadi pembawa talasemia beta. Tapi jikalau kedua orang tua membawa gen talasemia beta, maka 25% anaknya akan lahir dengan talasemia beta, 50% pembawa talasemia beta, dan 25% tumbuh sehat.
Talasemia adalah kelainan darah yang diturunkan, yang ditunjukkan dari tubuh tidak memproduksi cukup hemoglobin sehingga mengakibatkan jumlah hemoglobin di dalam tubuh sedikit. Hemoglobin adalah protein pembentuk sel darah merah yang berguna untuk mengikat oksigen dan membawanya ke seluruh tubuh.
Talasemia terdiri dari empat jenis: talasemia alfa mayor, talasemia alfa minor, talasemia beta mayor, dan talasemia beta minor. Para penderitanya secara rutin mendapat transfusi darah dan musti mengonsumsi suplemen yang mengandung folat.
Menanggapi studi tersebut, Profesor David Liu, yang mempelopori pengeditan dasar di Harvard University, Amerika Serikat menggambarkan pendekatan yang dilakukan Huang sebagai “operasi kimiawi”.
Menurutnya, sekitar dua pertiga varian genetik manusia yang diketahui berkaitan dengan penyakit adalah adanya mutasi. “Jadi pengeditan dasar berpotensi untuk mengoreksi secara langsung banyak mutasi patogen,” ujarnya.
Sementara itu, Prof Robin Lovell-Badge, dari Francis Crick Institute di London, menggambarkan studi terbaru mereka sebagai langkah “cerdik”. Namun, ia menyayangkan soal penggunaan embrio manusia sebagai bahan percobaan. Ia mempertanyakan mengapa mereka tidak melakukan penelitian hewan lebih dulu sebelum mengujicobanya pada embrio manusia.
Karena itu, studi Huang bakal memantik perdebatan etis di dalam masyarakat. Masyarakat akan menilai tentang apa yang tidak dapat diterima dalam upaya mencegah penyakit. Atas alasan tersebut, Lovell-Badge menilai pendekatan yang dilakukan Huang dan rekan-rekannya i tidak mungkin digunakan secara klinis dalam waktu dekat. “Akan ada perdebatan yang jauh lebih sengit, yang mencakup etika, dan bagaimana pendekatan ini harus diatur,” ujarnya.
Helmy K.