Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Semua mau menang. Tapi, tak semua mau berkorban. Koalisi oposisi ingin menang di pilpres. Tapi, juga ingin menang partainya. Para calegnya sukses ke Senayan. Jadi Yang Mulia Anggota DPR. Suara partainya naik. Cara satu-satunya, calonkan kader untuk jadi capres atau cawapres. Yang penting ada kader. Penting untuk menggerakkan mesin partai dan naikkan suara partai. Soal menang atau kalah di pilpres, dipikirkan nanti. Yang penting, suara partai naik.
Wartapilihan.com, Jakarta –Masalahnya, kalau kader dicapreskan, atau dicawapreskan, bakal jadi gak? Laku di pasar pemilih tidak? Soal ini, ukurannya mesti survei. Itu bagian ikhtiar rasional. Nah, problemnya, survei cenderung diabaikan jika tidak mengakomodir capres atau cawapres dari partai.
Logika partai seringkali bertentangan dengan logika survei. Hasilnya, utopis. Mengabaikan data untuk memanjakan egoisme kepartaian. Ini tindakan super primitif.
Tapi, survei itu dibiayai pihak tertentu. Sengaja untuk menurunkan capres kita. By design. Lalu? Apakah akan pesan survei abal-abal untuk menyulap suara agar capres-cawapres parpol punya suara tinggi? Itu namanya penipu! Menipu publik. Terutama, menipu diri sendiri. Disitulah biasanya jadi titik awal dan sumber kekalahan.
Di titik ini, ada sedikit kemiripan dengan logika sebagian orang yang menunggu keputusan ijtima’. Tak percaya survei! Kekuatan umat melampaui survei. Buktinya? Pilgub Jabar dan Jateng. Survei ngawur! Tak sesuai hasil.
Benarkah? Yang perlu dievaluasi, pertama, apakah betul karena faktor integritas lembaga survei? Kedua, apakah karena faktor kredibilitas lembaga survei? Ketiga, apakah karena ada variable lain di hari-hari terakhir yang tak terekam oleh lembaga survei? Belum bisa dipastikan. Datanya mesti valid. Tak boleh duga-duga. Kecuali pengamat politik, boleh dan ada toleransi. Timses dan orang partai? Mesti punya data super ketat, teliti dan akurat. Jika salah, bahaya buat calonnya. Logistik triliunan rupiah bisa melayang percuma. Mubazir.
Apakah survei Jabar dan Jateng sama dengan survei pilpres? Perlu dikaji ulang. Adakah kesesuaian variablenya. Juga perlu diukur tingkat reliablenya.
Dalam melihat survei, koalisi istana cenderung lebih rasional. Setidaknya karena pertama, logistik cukup. Pikiran jernih, karena tak terganggu dapurnya. Kalau dapur aman, otak biasanya encer. Dan, obyektif dalam melihat sesuatu. Sebab, perut sudah kenyang Kedua, capresnya adalah incumbent yang masih berpeluang cukup besar untuk menang. Hanya tersisa problem cawapres. Tetapi, koalisi istana tetap lebih prioritaskan kemenangan. Semua energi dikerahkan untuk menang.
Sementara, koalisi oposisi tak kunjung mengerucut capresnya. Saling kunci karena faktor kepentingan partai masing-masing. Mengharap hasil ijtima’ ulama? Tidak ada tanda-tanda ke arah sana. Logika partai dan ijtima’ ulama berbeda. Kendati sama-sama abai terhadap survei.
Partai bisa membaca ke arah mana ijtima’ ulama itu. Bahkan ikut berperan mengarahkan dan memanfaatkannya. Tentu, sesuai kepentingan masing-masing parpol. Soal kerja begini, parpol sudah terlatih dan teruji. Sementara, para ulama adalah orang-orang shaleh yang jujur dan polos.
Ijtima’ ulama berupaya dukung capres yang punya integritas, kapasitas dan komitmen keumatan-kebangsaan. Tapi, tak terlalu berhitung cermat soal faktor kemenangan. Ingin menang? Iya. Itu jelas. Tapi, bagaimana mau menang, jika survei diabaikan sebagai data dan alat ukur.
Ada Allah! Kalau begitu, berhenti berfikir. Dzikir aja di masjid, supaya bisa menang. Umat punya kekuatan untuk memenangkan! Dalihnya Pilgub Jabar, Jateng dan Jatim kok kalah? Indonesia isinya bukan hanya pemilih yang taat pada komando dan fatwa ulama. Fatwa ulamanya aja beda-beda. Nah loh…
Tuhan kasih otak, tentu ada gunanya. Buat apa sekolah, kalau otak gak digunakan. Diantara fungsi otak adalah memahami hukum Tuhan. Diantara hukum Tuhan itu ada yang namanya hukum sosial. Ini ayat kauniyah juga. Survei, itu bagian dari hukum sosial.
Survei kok dianggap Tuhan? Stop! Tak ada diskusi lagi. Paradigma “fatalistik” tak kenal rencana, skenario dan design masa depan. Karena, semuanya sudah diserahkan kepada Tuhan. Bagus! Itu artinya tawakkal sebelum ikhtiar.
Ijtima’ ulama ingin kekompakan partai koalisi oposisi. Partai oposisi ok, tapi jika tak merugikan kepentingan partai. Disinilah masalahnya. Prioritas partai adalah optimalisasi suara partai. Sementara, prioritas ijtima’ ulama adalah kekompakan partai oposisi. Kekompakan ini berpeluang menggerakkan mesin partai dan mesin umat. Ada dua prioritas yang berbeda. Beda partai, beda ijtima’.
Partai oposisi-Ijtima’ perlu kelompok ketiga. Kelompok yang ngerti soal politik, dan diterima oleh partai oposisi dan kalangan ulama. Jadi jembatan antara ikhtiar dan doa. Tepatnya, konsultan politik. Profesional dan rasional! Sudah gak percaya survei, gimana?
Apakah partai akhirnya mengalah dan mau terima rekomendasi ijtima’ ulama? Apakah capres-cawapres rekomendasi ulama punya potensi kemenangan lawan incumbent? Kita lihat akhir bulan ini.