MELIHAT KEBUDAYAAN JAWA DENGAN KACA PEMBESAR

by
Kesenian Reog Ponorogo. Foto: harianjogja.com

Tulisan dari bedah buku Dennys Lombard: “Nusa Jawa Silang Jiwa” bab: Beku atau Bergerak? Ini hendak menguraikan bagaimana tradisi kebudayaan Jawa memiliki tradisi kuat dan mengakar. Di sini kita akan membatasi dengan menelusuri sistem tradisi dan budaya “Jawa” yang sangat kuat membendung ideologi-ideologi asing. Seperti yang diketahui bahwa modernitas Barat terbentur oleh kuatnya tradisi Jawa, dan jauh sebelum itu ajaran Islam yang murni terpaksa berkompromi dengan kepercayaan-kepercayaan yang sudah ada sebelumnya.

Wartapilihan.com, Jakarta –Para pengamat Barat mengeluh tentang “despotisme” laten dari sistem Jawa dan besarnya “tekanan sosialnya”. Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa tekanan sosial itu adalah sebab sebenarnya dari dua penyakit mental khas Jawa: yaitu latah (cirinya mengulangi kalimat yang didengarkannya secara otomatis, penyakit ini menimpa wanita khas bawahan) dan amok (mengamuk). Namun, tidak perlu terpaku oleh teori di atas. Pada abad 17 dan 18 justru sistem Jawa juga memperlihatkan keluwesan tertentu.

Lewat pengambil alih tanah lungguh, pengangkatan bangsawan (kawulawisuda), atau perkawinan antar bangsawan dan wanita biasa, sistem itu memungkinkan suatu mobilitas yang lebih besar daripada Eropa sebelum revolusi Prancis. Mereka yang biasa hidup di bawah kekuasaan raja-raja Jawa yang tidak puas dan ingin bebas seperti kelompok marjinal yang menggandrungi hidup menyendiri, dapat meloloskan diri dari dan berlindung di luar batas kerajaan. Belum lagi para marjinal atau masyarakat pinggiran yang berciri membangkang lalu sejumlah pemberontakan dan gerakan dari mereka sudah dapat menunjukkan bahwa “tatanan” Jawa tidak seharmonis yang digembor-gemborkan. Apakah gerakan-gerakan ini yang berhasil berkembang meminjam model perjuangan modern yang berideologi revolusioner?

Dalam negara agraris, secara teoritis, gerak atau perubahan hanya mungkin dapat dilaksanakan dari pusat ke pinggiran, atau dari pinggiran ke pusat. Mereka yang dapat melaksanakan perubahan ini hanya para pegawai yang merupakan pancaran kekuasaan raja dan sekaligus menjamin hubungan antara keraton dan daerah-daerah. Setiap “perpindahan tempat” atau “pergerakan” harus diawasi. Orang asing pun yang berulang kali muncul pada epigrafi disebut wka kilalan “yang harus tunduk pada tata kerajaan” atau mangilala drwya haji “yang menuntut atas nama raja”, karena itu kemudian ada surat jalan (passenstelsel) sewaktu zaman kolonial Belanda, kemungkinan untuk berjaga-jaga, hingga Indonesia merdeka pun surat jalan masih sangat besar gunanya. Namun kita jangan mengira bahwa seluruh kehidupan diatur ketat dari pusat. Orang-orang pinggiran atau kaum marjinal yang berciri setengah nomaden adalah orang-orang yang ingin meraih kebebasan dan ingin lepas dari aturan-aturan hidup dari pusat. Dikarenakan penduduk masih jarang dan lahan di Jawa masih tersedia luas, maka kaum marjinal ini mudah meloloskan diri dari tekanan aturan kerajaan.

Di Jawa pada abad 14 hingga awal abad 20 banyak ditemukan kaum kalang, yang hidup nomaden dan selalu dianggap hina oleh penduduk yang sudah menetap. Mereka berhasil mempertahankan ciri-ciri mereka sebagai kelompok otonom karena selalu mengadakan perkawinan di antara kelompok mereka sendiri. Walau secara formal mereka beragama Islam, namun masih sering melakukan upacara dan ritual sendiri. Ada juga kaum-kaum macam kalang ini seperti jawara yang mengacaukan Banten, ada pula Warog dari ponorogo (Jawa Timur), kegiatan para warog berkeliling dari desa ke desa dan mempertunjukkan reog (ponorogo) suatu ‘tontonan aneh’ yang penampil utamanya memakai kedok binatang buas dan memanggul kerangka hiasan yang besar sekali.

Tentang adanya dunia pinggiran, sumber-sumbernya adalah kitab pararaton (kitab raja-raja), yang bertokoh Ken Angrok, seorang anak pinggiran yang kemudian menjadi raja (pendiri kerajaan Singosari, 1222) walau dengan cara-cara yang kotor. Cerita Ken Anrok ini mengantar kita sekilas ke tengah masyarakat marjinal di pinggiran dunia resmi. Ternyata kekuatan kaum pinggiran bisa dapat merasuki pusat (kerajaan) sampai menguasainya. Keragaman pekerjaan kelompok marjinal terlihat di cerita itu, yaitu penggembala, petani, pandai emas, pandai emas, kaum agama dan Brahmana. Ini tambah menarik dengan kehadiran tokoh-tokoh “orang cerdik pandai”, guru sekolah, penasihat, guru spiritual yang tinggal di hutan rimba dan pegunungan, yang mengingatkan kita pada kisah pengikut Taoisme di Cina. Orang-orang pinggiran ini haus akan ilmu, kebebasan, dan sangat tergiur pada ideologi-ideologi yang berkembang.

Ada pula kisah bujangga manik, seorang pendeta dari keluarga pangeran, yang intinya menurut J. Noorduyn adalah menyusun semacam buku panduan perjalanan di tanah Jawa. Sepertinya kisah bujangga manikini juga mengisahkan perjalanan ke alam baka, sesudah mati. Literatur semacam ini dapat dikaji dengan tiga tahap, penggambaran mental seorang guru, lalu ke “pencarian data” dan ke “pencarian makna”.

Ada pula kisah Serat Centini yang termashur, yang mengisahkan tokoh-tokohnya hidup dengan pengembaraan, di kisah ini dapat dipahami bagaimana masyarakat pemukim dibuat terpesona oleh dunia pinggiran itu dan jangan juga dilupakan, serat centini ini adalah gaung terakhir dunia jawa pinggiran yang sampai saat itu berfungsi sebagai katup pengaman sosial dan cagar budaya. Dari abad ke 19 (abad kisah centini) dan ke 20, terliha pola kekuasaan pusat, pewaris kerajaan agraris, berhasil bertahan dari zaman Mataram sampai zaman modern, harus kita tekankan pula bahwa betapa besarnya transormasi yang terjadi pada abad lalu sebagai akibat lenyapnya “daerah pinggiran”.

Penerus para marjinal, pengembara, dan kaum pinggiran ini sekarang berada di daerah-daerah kumuh kota-kota besar dan kehilangan gengsinya. Satrya lencana, pengembara luhur yang lepas dari kalangan lingkuangan, juga penuntut pengetahuan dan kesempurnaan telah digantikan oleh gelandangan kelaparan dari kampung-kampung miskin. Golongan marjinal telah berubah dari kaum pinggiran yang bersemangat dalam perubahan menjadi golongan sub-proletar perkotaan zaman ini. Kelompok-kelompok ini disebut batur, wong kere, wong kramatan, wong ngemis.

Mereka kehilangan citranya untuk selamanya, pola hidup mereka tak lagi menjadi alternatif yang menarik, sekarang malah dipersepsikan sebagai cacat dan berbahaya, seperti halnya lelana zaman dulu. Walau masih memiliki beberapa ciri yang diturunkan para pendahulunya di “dunia pinggiran” tradisional, khususnya ikatan guru-murid, hilanglah tokoh-tokoh potensial cemerlang zaman Ken Angrok hingga zaman centini. Mereka kini dianggap preman, pengemis, atau gelandangan kota.

Ilham Martasya’bana, penggiat sejarah Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *