Seperti ramai diberitakan media massa, majalah terkenal AS, Newsweek, telah menutup edisi cetaknya pada 31 Desember 2012 lalu. Sebagai penggantinya telah terbit versi internet dengan nama Newsweek Global pada awal 2013 (newsweek.com).
Wartapilihan.com, Jakarta –“Kami mengalihkan Newsweek, tidak menyatakan selamat tinggal,”kata Tina Brown, pemimpin redaksi dan pendiri situs internet Newsweek Daily Beast Company. “Keputusan ini bukan tentang kualitas merek atau jurnalistik, karena masih akan tetap kuat selamanya. Ini merupakan tantangan ekonomi dalam percetakan dan distribusi,” tambahnya.
Majalah Newsweek -yang sudah berusia 80 tahun- selama puluhan tahun bersaing dengan Time- dan belakangan ini keduanya menghadapi penurunan pendapatan secara terus menerus.
“Keputusan ini bukan tentang kualitas merek atau atau jurnalistik, karena masih akan tetap kuat selamanya. Ini merupakan tantangan ekonomi dalam percetakan dan distribusi,”kata Tina. Ditambahkan bahwa versi internet nantinya akan berupa satu edisi tunggal untuk pasar internasional dengan sasaran para pengguna yang bergerak tinggi dan merupakan pembentuk opini yang ingin mengetahui peristiwa-peristiwa di dunia dengan isi yang canggih.
Edisi Newsweek tersebut tersedia untuk komputer meja, tablet, dan telepon genggam berdasarkan sistem berlangganan. Sirkulasi Majalah Newsweek versi cetak tahun lalu mencapai 1,5 juta eksemplar, turun dari empat juta pada satu dekade lalu.
Penutupan atau penurunan oplah media cetak karena pengaruh internet ini merupakan gejala umum, termasuk di Indonesia. Masyarakat kini –terutama golongan menengah ke atas yang terbiasa internet- kebanyakan memilih berita via internet dalam keseharian mereka. Meski media cetak tidak ditinggalkan, tapi sudah menjadi alternatif kedua. Kedalaman isi berita media cetak masih dicari oleh para pembaca.
Karena itu asumsi bahwa adanya media internet menggugurkan media cetak dibantah oleh para ahli media. Media online, seperti di Amerika memang tumbuh pesat dibandingkan media cetak. Media online dan media cetak memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga anggapan bahwa media cetak akan mati itu belum tentu benar. Hal ini diungkapkan oleh Prof Hugh J Martin PhD (associate director of E.W. Scripps School of Journalism, Ohio University), di Aula Fisip UNDIP, Kamis (10/3/2012) dalam kegiatan kuliah jarak jauh bernama “Industri Media Online di Amerika”, di Bandung.
Dalam paparannya, Martin menjelaskan bahwa dalam media komprehensional harus memperhatikan lokasi, konten (isi), kecepatan, dan price (harga). media online dapat menyampaikan informasi dengan cepat. Pengakses internet bisa mendapatkan informasi dengan gratis. Berbeda dengan media cetak yang pendapatannya didapat dari hasil penjualan per eksemplar, biaya operasional media online didapatkan dari advertiser (pemasang iklan). Perilaku (behaviour) dari pengguna internet sangat bernilai bagi advertiser. Website apa yang sering dikunjungi, berapa lama mengakses internet dan apakah dalam website menyebutkan data-data personal, merupakan bahan pertimbangan advertiser untuk memasang iklannya di website tertentu.
Website yang bertahan adalah website yang mampu menangkap hal-hal tersebut. Misalnya jejaring soial seperti Facebook dan twitter, karena jejaring sosial tersebut menyimpan informasi pemilik akun, bahkan informasi umum lainnya yang patut diketahui khalayak.
Menurut Martin, tren di Amerika sekarang ini Google dan Yahoo adalah single kind of content. Misalnya, yahoo news hanya menyimpan informasi news saja sehingga advertiser tidak mau memasang iklannya di website tersebut.
Meskipun perkembangan online di Amerika sangat pesat, namun media cetak masih bisa bertahan. Surat kabar memiliki keuntungan 12 kali daripada media online. Dalam 1 surat kabar bisa dibaca oleh 12 orang, sedangkan media online hanya 1 kali baca dari 1 berita pada media online.
AFP melaporkan adanya konferensi yang diadakan oleh organisasi kumpulan media harian di dunia. Mereka mengakui bahwa media cetak saat ini sedang mengalami penurunan. Kalau mereka ingin bangkit, satu-satunya hal yang harus mereka jalani adalah membuat online. Pernyataan ini dilontarkan pada pertemuan ke-60, World Association of Newspaper (WAN) dan Forum Editor sedunia yang ke-14. “Kita harus menyadari bahwa media mulai mengarah ke online dan kita harus mulai mengarahkan jurnalisme kita ke arah tu,” kata Mario Garcia, Chief Executive of The United States, Garcia Media Gorup.
Garcia menggambarkan perjalanan baru sebuah media akan berawal dari breaking news yang dibaca melalui email atau ponsel. Kemudian para pembaca akan melanjutkannya dengan membaca berita di situs online. Dan akan berakhir dengan membaca Koran di hari esok. Media cetak yang memiliki backing online maka pendapatan iklannya pasti naik. Menurut data Newspaper Association of America (NAA) pada bulan Mei tahun ini, pendapatan iklan cetak menurun sekitar 13,2 persen. Sedangkan pendapatan iklan online naik sekitar 7 persen dari total pendapatan iklan yang mencapai USD 10,6 milyar. Padahal pada kuartal yang sama, pendapatan iklan online hanya mampu meraih 5,5 persen dari total pendapatan iklan yang ada.
Di Indonesia juga terjadi kecenderungan serupa. Meski internet telah meluas di kalangan masyarakat terpelajar, tapi media cetak tetap menjadi alternative bacaan. Kompas, Republika, Jawa Pos, Pos Kota juga Majalah Tempo dan Gatra dan masih banyak aternatif bacaan lain.
Tak sedikit juga media online yang pernah booming pada awal tahun 2000-an justru kolaps. Seperti astaga.com, berpolitik.com, hukum-online.com, satunet.com dan sebagainya. Padahal milyaran rupiah saat itu digelontorkan untuk investasi di media online ini.
Politisasi Iklan?
Media Islam di tanah air, dalam bentuk cetak maupun online masih sepi iklan. Jauh dibanding dengan media umum. Iklan di majalah seperti Suara Hidayatullah atau bahkan Republika yang kelihatan banyak, tentu tidak apa-apanya dibanding iklan harian Kompas yang awalnya pers milik Partai Katolik. Anda bisa menghitung sendiri pemasukan Kompas per halamannya.
Dalam Media Kit, harga iklan di Kompas 2012 di halaman 1 ( per insersi), FC, 7 x 50 mmk seharga Rp 206.000.000, untuk 7 x 70 mmk seharga Rp 270.000.000, dan 7 x 100 mmk senilai Rp 370.000.000, –
Jangan heran bila Kompas sanggup mempunyai hotel, perkebunan, real estate dan lain-lain. Kekayaan yang besar ini juga menyebabkan Kompas mampu membuat media-media untuk seluruh umur. Mulai dari Bobo untuk anak-anak, HAI untuk remaja, Kontan untuk dewasa, juga majalah-majalah wanita dan olahraga. Mesti grup Kompas menutup beberapa media cetaknya beberapa waktu lalu, tapi hal itu tidak menggoyahkan struktur bisnis Kompas yang sudah mapan.
Sementara, media-media cetak Islam iklannya cukup ‘mengenaskan’. Media-media Islam tidak mendapat pengiklan yang mau menggelontorkan uangnya ratusan atau milyaran rupiah. Seperti iklan-iklan handphone ternama, real estate, mobil, atau perusahaan-perusahaan besar lainnya.
Di Republika misalnya, kebanyakan iklannya adalah iklan pendidikan, umroh dan haji, dan iklan-iklan kecil lainnya. Begitu juga di media Islam lain. Paling-paling hanya pakaian muslim/muslimah, obat-obat herbal, buku-buku Islam dan semacamnya.
Media Islam online kebanyakan masih mengandalkan donator, karena sepinya iklan. Pertanyaanya, mengapa pengiklan lebih memilih media umum dibanding media Islam? Apakah media Islam kurang professional? Banyak faktornya.
Di antara penyebabnya; Pertama, dalam perebutan kue iklan, ikut bermain urusan ideologis. Kebanyakan perusahaan-perusahaan pengiklan (advertising) terbesar dimiliki oleh non Muslim. Seorang staf redaksi senior di sebuah media Islam mengaku beberapa kali ditolak pihak perusahaan jasa periklanan karena medianya dinilai masuk media Islam, bukan media umum.
“Mereka memang memboikot kita. Ada salah satu perusahaan jasa telekomunikasi di tanah air yang dulu pengiklan di media kita. Setelah perusahaan itu jatuh ke non Islam, maka mereka menghentikan iklannya,” kata pemimpin redaksi sebuah media terkenal di Jakarta. Sementara pengusaha-pengusaha kaya Muslim sendiri juga kadang ikut-ikutan iklan ke sana.
Dalam sebuah ceramah di Keluarga Besar PII di Surabaya sebelum meninggal dunia, Mantan Kepala Badan Koordinasi Intelejen Negara (Kabakin) Letjen Purn Zaini Azhari (ZA) Maulani sempat membocorkan data yang dimiliki BIN. Ia mengatakan, beberapa perusahaan pengiklan besar di Jakarta punya klausul menolak memberi iklan majalah berbau Islam (agama).
Kesimpulannya, bagi perusahaan mobil, motor atau merk handphone dari berbagai Negara seperti; AS, Inggris, Jepang, China atau Korea, mereka tetap butuh produknya dibeli 200 juta penduduk Muslim Indonesia. Karena produsen tak berurusan dengan ideologi orang, sebab yang penting produknya laku. Kepentingan ideologis itu justru datang dari pihak perusahaan jasa periklanan itu sendiri.
Kedua, selain itu, harus diakui ada kekurang professionalan media-media Islam. Republika merupakan satu-satunya koran yang masih diyakini “milik kaum Muslim” dan dinilai lebih islami di tanah air. Sementara majalah mingguan berita Islam tidak ada di tanah air. Yang ada kini adalah majalah bulanan. Seperti Majalah Hidayatullah, Ummi, Noor dan lain-lain. Banyak media Islam kurang mengembangkan investigasi dalam berita, masih ceroboh dalam penulisan kata, kurang cermatnya penulisan, dan masih terdapatnya kesalahan kata dalam penulisan.
Umumnya di media Islam online jauh malah lebih parah lagi. Sering campuraduk antara opini dan fakta dalam pemberitaan. Wartawan atau redaksi medianya sering tidak sabar bahkan terlalu emosi dalam membuat berita yang ujungnya campuran antara opini dan berita.
Media Islam –baik cetak maupun online– harusnya mempunyai misi mencerdaskan pembaca dan semakin mengajak orang menjadi Muslim yang lebih baik. Tidak sekedar menuruti keinginan pembaca. Seharusnya media Islam menampilkan berita apa adanya agar pembaca bisa beropini dan mengambil kesimpulan sendiri. Sifat sabar atau menahan emosi harus dipunyai semua wartawan Muslim dan media berbasis Islam. Bila ini tidak dilakukan, maka pembaca-pembaca media Islam online hanya akan selalu menjangkau pembaca lapisan bawah, bukan menjadi referensi pengambil kebijakan di tanah air. Akibatnya, tetap saja media umum yang menjadi referensi dalam mengambil kebijakan. Sungguh sayang!
Meski demikian, Media Islam Online yang tampil seadanya itu, kini menjadi referensi umat menghadapi gempuran media mainstream di tanah air. Media Islam sering menampilkan berita-berita eksklusif atau fakta-fakta yang tersembunyi yang tidak ditampilkan media mainstream. Jadi peluang untuk mengembangkan media Islam online sebenarnya masih cukup besar.
TV Umat
Untuk media televisi jauh lebih mengenaskan. Hingga saat ini, tidak ada satupun TV Islam di tanah air yang tidak berbayar. TV Global yang dulu dimiliki Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) atau IFTIHAR, yang dirancang sebagai TV pendidikan umat Islam, justru berpindah kepemilikannya ke Hary Tanoesoedibjo, bos grup MNC.
Dari TV pendidikan untuk kaum Muslim justru bergeser TV hiburan penuh maksiat. Pergeseran visi siaran itu ternyata terkait dengan peralihan kepemilikan saham. Pemegang izin prinsip Global TV adalah PT Global Informasi Bermutu (GIB). Menurut Nasir Tamara, mantan Dirut PT GIB, saham Global TV pada akta pendirian terbagi dua: 80% milik unsur IIFTIHAR (Ahmad Tirtosudiro, Jimly Asshiddiqie, Ahmad Lubis), 20% milik unsur profesional (Nasir Tamara dan Andi Ralie Siregar). Ketika Tirtosudiro mulai sakit-sakitan, saham 40% atas nama Tirto dialihkan ke Zuhal.
Setelah memperoleh izin prinsip pada 25 Oktober 1999, Global diberi tenggat hingga Oktober 2001 harus siaran. Pada masa persiapan itu, IIFTIHAR berjuang mencari investor. Rencana keuangan yang pernah disusun Nasir Tamara sejak 1996 jadi berantakan ketika dolar melesat saat kriris ekonomi. Jatuhnya kekuasaan BJ Habibie pada 1999 juga turut mempersulit pencarian itu. Akhirnya ketika Bimantara menguasai 70% saham PT GIB, IIFTIHAR hanya tinggal memiliki 30% saham.
Menurut Ahmad Lubis, Bimantara terikat kesepakatan dengan IIFTIHAR untuk tetap menyiarkan visi awal. Tapi citra tampilan pertama Global TV justru jadi media hiburan anak muda. Mulai Oktober 2001, Global mengudara dengan program-program musik MTV. IIFTIHAR makin kehilangan harapan bisa mempengaruhi tayangan setelah Bhakti Investama masuk Bimantara dan menguasai Global TV sekitar tahun 2002. Akhir 2004, IIFTIHAR mundur dari PT GIB. Dana dari pengunduran itu dialihkan untuk membangun Universitas Al-Azhar Indonesia di Kebayoran Baru, Jakarta.
Sepeninggal IIFTIHAR, Global TV makin kukuh meneguhkan diri sebagai TV hiburan dengan segmen anak muda. Motonya: ”Millions of Entertainment”. (Lihat Gatra, edisi 6 Maret 2006).
Jadi pekerjaan rumah (PR) terbesar umat Islam di tanah air saat ini sebenarnya adalah mewujudkan media-media Islam berkualitas, khususnya hadirnya sebuah TV bernafaskan Islam tak berbayar, agar siaran TV tidak didominasi berita-berita yang selalu merugikan umat Islam dan beriri hiburan-hiburan yang ujungnya menjauhkan remaja dan anak-anak muda Muslim teralienasi (terasing) dari agama dan imannya sendiri. Wallahu aziizun hakim. II
Nuim Hidayat Dachli