Manusia dan Islam

by
FOTO:ISTIMEWA

Oleh : Dr Ali Syariati, Sosiolog

Masalah manusia adalah yang paling penting dari segala masalah. Peradaban dewasa ini telah mendasarkan fondasi agamanya pada humanisme –martabat manusia dan pemujaan manusia. Alasan pokok mengapa humanisme memajukan kultus pada manusia adalah karena agama-agama di masa lalu merendahkan kepribadian manusia, meremehkan posisinya di atas dunia, dan memaksanya agar mengorbankan dirinya dihadapan para dewa atau Tuhan.

Wartapilihan.com, Jakarta –-Agama-agama lama memaksa untuk memandang kemauannya sendiri sebagai sepenuhnya tanpa daya jika dihadapkan dengan kemauan Ilahi dan pendekatan manusia padaNya harus disertai sikap merendah dan penyerahan mutlak dengan berbagai sembahyang dan doa. Pendegradasian atas manusia, atas esensinya dan atas statusnya di alam semesta ini, sebagaimana diakibatkan oleh keyakinan-keyakinan lama, mau tidak mau membangkitkan humanisme di zaman Renaissance. Sejak itu humanisme seringkali dipandang sebagai suatu paham modern yang tujuan pokoknya adalah mengagungkan manusia itu serta esensialitasnya di tengah jagat raya –suatu elemen penting di masa Renaissance yang diabaikan oleh agama-agama zaman pertengahan. Akar-akar humanisme berasal dari Athena, namun sebagai suatu paham universal, ia telah menjadi fondasi peradaban modern di Barat. Pada hakikatnya humanisme merupakan reaksi keras terhadap filsafat skolastik dan agama Kristen zaman Pertengahan.

Malam ini saya bermaksud mendefinisikan –dalam batas-batas kemampuan saya dan kesempatan ini- konsep Islam tentang manusia, penciptaannya dan misinya di muka bumi. Lebih khusus lagi, saya akan mencoba membahas dan jawaban-jawaban yang mungkin terhadap pertanyaan-pertanyaan di bawah ini. Bagaimana Islam melihat manusia dan fenomenon penciptaannya? Apakah idealism Islam cenderung untuk memperluas dan menyempurnakan potensialitas spiritual manusia ataukah mensubordinasikan kemauan bebasnya pada sang nasib? Apakah Islam memandang manusia sebagai makhluk lemah yang memiliki tujuan dan cita-cita tinggi akan tetapi tanpa daya di hadapan Penciptanya? Benarkah Islam mengingkari martabat luhur manusia? Benarkah keyakinan pada Islam itu sendiri menyebabkan lemahnya manusia? Ataukah sebaliknya keyakinan pada Islam dan kebenaran Islam akan membentuk martabat mulia dalam diri manusia dan mencakup pengakuan atas kebajikan-kebajikan manusia? Inilah topik yang ingin saya bahas mala mini.

Untuk memahami humanisme dalam berbagai agama, atau konsep manusia tentang manusia seperti dikemukakan dalam agama-agama, jalan yang paling baik adalah dengan melakukan suatu studi menyeluruh mitos penciptaan manusia dalam seluruh agama-agama baik di Timur maupun Barat. Sayang saya tidak punya cukup waktu untuk membahas filsafat penciptaan manusia dalam seluruh agama-agama baik di Timur maupun di Barat. Sayang saya tidak punya cukup waktu untuk membahas filsafat penciptaan manusia dalam seluruh agama-agama itu sekarang ini. Oleh karena itu saya harus membatasi pembahasan saya pada konsep kejadian manusia di dalam Islam dan agama-agama yang mendahuluinya dimana Islam merupakan kontiunasi atau kelanjutan dari agama-agama Musa, Isa dan Ibrahim.

Oleh karena penciptaan Adam –simbol manusia- dalam kitab-kitab suci Islam dan Ibrahim, di mana Islam merupakan kulminasi dan perfeksi, diceritakan dalam bahasa simbolik, dan oleh karena bahasa dari seluruh agama semitik adalah simbolik, saya akan memulai dengan membahas hakikat bahasa ini. Suatu bahasa simbolik yang menyatakan makna-maknanya lewat simbol-simbol dan imaji, adalah bahasa yang paling indah dan halus dari seluruh bahasa yang pernah dikembangkan manusia. Bahasa simbolik jelas lebih mendalam, lebih universal dan lebih abadi daripada bahasa eksposisi yang maksud dan kejelasannya terbatas pada waktu dan tempatnya. Bahasa eksposisi mungkin merupakan sarana komunikasi dan pengajaran yang lebih baik, tetapi ia tidak lestari dan abadi sebagaimana bahasa simbolik. Karena hakikatnya yang satu dimensi, tidak simbolik dan tidak mistis.

Bahasa eksposisi selalu terbatas pada waktu. Hal ini disebabkan sebagaimana ditunjukkan oleh filosof Mesir terkenal Abdur Rahman Badawi, suatu agama atau filsafat yang mencoba mengemukakan seluruh makna dan konsep-konsepnya dengan bahasa yang langsung atau langsung ke sasaran, dan bahasa dengan satu tingkatan, pasti tidak akan dapat bertahan lama. Padahal mereka yang dituju oleh agama selalu mewakili berbagai tipe dan kelas manusia yang mengejawantah dalam sejarah dalam kapasitas intelektual dan spiritual yang berlain-lainan, dengan sudut pandangan, pengalaman, bentuk-bentuk sosial dan persepsi yang beraneka ragam. Pemeluk suatu keyakinan tidak terbatas pada suatu generasi atau zaman, tapi merupakan berbagai generasi manusia yang sambung menyambung dan susul menyusul sepanjang sejarah. Dan bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesannya haruslah merupakan suatu bahasa simbolik dan bermulti muka agar bahasa tersebut tidak lekas usang dan kehabisan makna.

Andaikata bahasa tersebut hanya mempunyai satu makna, maka bahasa tersebut memang dapat dimengerti, tetapi akan cepat using, kehabisan makna dan sangat terbatas. Semakin simbolik dan elusif (sulit diidentifikasi) dan makin multi sisi suatu bahasa agama, maka akan semakin abadi dan penuh arti bahasa itu bagi generasi-generasi yang terus berdatangan di masa depan.

Bahasa simbolik yang berakar pada tipe-tipe orisinal dan simbol-simbol, tumbuh sesuai dengan perkembangan intelektual manusia, berputar bersama putaran spiritualnya dan bertahan terus dalam kemajuan intelegensi manusia.

Oleh sebab inilah karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa simbolik menjadi abadi. Sebagai misal sajak-sajak Hafiz, yang ditulis dalam bahasa simbolik adalah abadi. Kapan saja kita baca sajak-sajak itu, kita memperoleh arti baru, mengalami suatu apresiasi yang lebih dalam, sesuai dengan kedalaman intelek kita, pandangan hidup dan cita-cita kita. Namun sejarah Bayhaqi atau Gulistan karya Sa’di, tidak memiliki kekayaan simbolik yang dipunyai oleh sajak-sajak Hafiz. Bila kita baca Gulistan mungkin kita dapat menikmati keindahan dan susunan kata-katanya.

Akan tetapi makna dan fikiran yang dikandungnya tidak dapat menarik perhatian kita, oleh karena kita tahu apa yang dikatakan oleh Sa’di dan apa yang dikatakannya jarang-jarang dapat kita terima. Justru karena begitu langsung, bahasa dari kitab Gulistan telah kehabisan makna. Sedangkan bahasa Hafiz yang terselubung simbolisme dan misteri, belum dan tidak akan pernah tergusur dalam perjalanan waktu. Tergantung pada cita rasa dan pemahamannya. Setiap orang dapat menafsirkan bahasa simbolik Hafiz dalam pengertian tertentu dan secara demikian dapat mengambil berbagai makna baru dari naskah tersebut.

Oleh karena itulah agama-agama, yang ditujukan kepada berbagai generasi dan tipe-tipe manusia dan berbagai kelas yang berlain-lainan haruslah menggunakan suatu bahasa simbolik –suatu bahasa yang tidak basi karena perjalanan waktu dan penggantian dalam kebudayaan dan peradaban manusia.

Dan adalah kekuatan sentral dalam agama yang melestarikan evolusinya yang potensial, menguak kebenaran-kebenarannya yang lebih dalam dan lebih tersembunyi dengan cara bertahap.

Banyak makna-makna dalam agama yang tidak jelas pada masa pemunculannya. Jika agama tidak mengirimkan pesan-pesannya dengan bahasa yang awam dan sudah dikenal pada waktu itu agama tersebut akan sulit sekali dimengerti oleh manusia pada zamannya. Akan tetapi sebaliknya jika agama memilih untuk mengekspresikan dengan berbagai maknanya dengan bahasa awam, ia tidak akan memiliki arti baru dan kehilangan makna pada masa-masa berikutnya. Secara demikian bahasa simbolik adalah alat terbaik yang dapat digunakan oleh agama sehingga ia dapat bertahan dengan jalan mengekspresikan makna-maknanya dengan symbol-simbol dan citra-citra, yang makin lama menjadi makin penuh makna sejalan dengan kemajuan intelek dan pandangan manusia.

Bahkan gaya simbolik dianggap gaya paling indah dalam sastra Eropa. Gaya simbolik adalah seni menyatakan makna dengan berbagai citra dan symbol dan mencakup lapisan-lapisan makna yang lebih dalam di bawah pengertian sepintas. Dengan demikian perlu bahwa mitos penciptaan Adam, manusia simbolik itu diceritakan dengan cara simbolik, sehingga sekarang ini, setelah empat belas abad, cerita Adam tetap bernilai untuk dibaca, bahkan dalam zaman kemajuan ilmu dan kemajuan social yang sangat tinggi dewasa ini.

Bagaimanakah Islam memandang penciptaan Adam?

Mula-mula Tuhan memberitahu para malaikat bahwa Dia ingin menciptakan wakilNya di atas bumi (lihatlah betapa mulia nilai manusia dalam pandangan Islam. Bahkan humanisme Eropa paska Renaissance tidak mampu memberikan kemuliaan dan kesucian demikian besar pada manusia dan misinya dalam penciptaan).

Tuhan Yang Maha Kuasa Yang Maha Sempurna, Pencipta manusia dan Penguasa jagat raya, menyatakan pada para malaikat bahwa Dia ingin menunjuk manusia sebagai khalifahNya, sebagai wakilNya di muka bumi. Dalam memilih manusia sebagai penggantiNya di atas bumi, Tuhan menganugerahkan status spiritual tertinggi bagi manusia dan dengan demikian mempercayakan padanya suatu misi suci di alam raya ini. Di atas bumi ini manusia mengemban misi untuk mewakili Tuhan dan mencerminkan kualitas-kualitasNya.

Dan ini merupakan sifat utama terpenting manusia yang dimilikinya di antara segala makhluk yang telah diciptakan Tuhan. Sifat kesucian khas yang dikaruniakan kepada manusia, makhluk bumi ini, membuat para malaikat bertanya apakah Tuhan akan menciptakan makhluk yang akan menumpahkan darah, berbuat kejahatan, menyebarkan kebencian dan balas dendam. Dalam pertanyaan ini para malaikat itu tampaknya ingin tahu, apakah Tuhan berkehendak menciptakan jenis manusia yang sama yang akan mengulangi dosa-dosa dari manusia sebelumnya, yaitu sebelum manusia baru itu, ataukah Ia akan memberikan kesempatan kesempatan kedua dan memberikan suatu panggung kehidupan baru di atas muka bumi bagi manusia baru itu.

Akan tetapi Tuhan menjawab bahwa Ia mengetahui apa-apa yang mereka tidak ketahui. Dan kemudian Tuhan mulai menciptakan manusia, wakil dan khalifahNya, dari tanah, dari bentuk paling rendah dari tanah-tanah liat hitam atau lempung yang berbau. Ada tiga referensi Quranik yang menunjuk pada sumber penciptaan manusia. Substansi atau bahan pertama disebutkan seperti tanah tembikar. Kemudian Al Quran menunjuk pada air yang hina atau tanah yang membusuk dan akhirnya Quran menunjuk pada tanah sederhana.

Kami telah menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari sekepal daging yang sempurna kejadiannya atau yang tidak sempurna kejadiannya, agar Kami dapat menerangkan kekuasaan Kami padamu (QS 22/5). “Bukankah Kami telah menjadikanmu dari air yang hina? Dan meletakkannya di tempat penyimpanan yang teguh?” (QS 77/20). Di berbagai tempat dalam Al Quran, Tuhan menunjuk pada substansi manusia dari air mani, tetapi Ia mengingatkan manusia bahwa dari bahan yang nista ini Ia menciptakan makhlukNya yang terbaik.

“Dialah yang telah menyempurnakan segala sesuatu yang diciptakanNya dan Ia telah memulai pembuatan manusia dari tanah, kemudian Ia jadikan turunan (manusia) itu dari air mani, kemudian Ia sempurnakan kejadiannya dan ia tiupkan padanya sebagaian dari spiritNya…(QS 32/7). Atau “Ia jadikan manusia dari tanah kering seperti tanah tembikar.” (QS 55/4).

Kemudian Allah mulai menciptakan seorang khalifah atau wakil bagi diriNya dari tanah liat kering. Dan kemudian Ia tiupkan sebagian dari rohNya sendiri pada tanah liat itu dan kemudian lahirlah manusia. Manusia tersebut lahir dari dua hakikat yang berbeda, tanah bumi dan roh suci. Dalam bahasa manusia, symbol kerendahan, kenistaan dan kekotoran adalah lumpur. Dan tidak ada suatu pun di dalam alam yang lebih rendah dan hina daripada lumpur, dari mana manusia telah diciptakan. Dan dalam bahasa manusia, Tuhan adalah Maha Sempurna dan Maha Suci.

Dan dalam setiap makhluk, bagian yang paling sempurna, paling murni dan paling suci adalah spirit atau rohnya. Akan tetapi roh Yang Maha Suci adalah spirit Maha Sempurna, yang paling suci diantara semua spirit dan diantara entitas yang ada dalam alam semesta. Dan adalah manusia yang langsung turun dari roh Yang Maha Abadi itu.

Namun hakikat manusia yang lain berasal dari bentuk yang paling rendah dari tanah bumi –air yang nista.

Sebagai gabungan dari debu dan spirit suci, manusia telah diciptakan menjadi makhluk dua dimensional, dengan dua arah dan kecenderungan, yang satu membawanya ke bawah kepada stagnasi ‘sedimenter’, ke dasar hakikatnya yang rendah, dimana seluruh dorongan dan gerak kehidupannya akan mb suci dan membeku, terbenam ke dalam rawa-rawa hakikatnya yang hina. Akan tetapi dimensi manusia yang lain, dimensi spiritualnya, cenderung naik ke puncak spiritual tertinggi –yaitu ke zat yang Maha Suci.

Secara demikian manusia adalah makhluk dengan dua unsur yang kontradiktif, akan tetapi kebesarannya dan kejayaannya yang unik justru berasal dari kenyataan bahwa ia adalah dua dimensional, makhluk dengan dua kutub yang saling berlawanan. Pada hakikatnya dua kutub itu memungkinkannya untuk memiliki kebebasan memilih antara dua pilihan, yaitu antara kutub suci dan kutub kehinaan, yang keduanya berada dalam dirinya, dengan kekuatan potensial yang mengubah dan kekuatan yang menarik. Perjuangan tanpa henti dan peperangan terus menerus yang dilakukan oleh kedua kutub itu dalam diri manusia akhirnya akan memaksa manusia untuk memilih salah satu kutub tersebut dan pilihan inilah yang akan menentukan nasibnya…II Sumber : Tugas Cendekiawan Muslim, Ali Syariati (terj. M Amien Rais), Srigunting, Jakarta, 2001.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *