Demokrasi langsung yang sejak era Reformasi diberlakukan untuk memilih calon pemimpin daerah, selain berbiaya tinggi juga menjadi sarana terjadinya politik transaksional. Ambisi menuai penyesalan.
Wartapilihan.com, Jakarta –Kata Mahar, dalam sepekan terakhir ini, kembali menjadi pembicaraan masyarakat. Kata Mahar dimaknai sebagai sebuah pemberian yang bersifat wajib dipenuhi, berupa uang atau barang, dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan pada saat dilangsungkannya akad nikah. Ya, mahar, dalam kata lain, adalah maskawin.
Persoalan menjadi lain ketika kata Mahar masuk ke ranah politik. “Sampean mau nyalonkan Walikota, punya uang berapa?” begitu kata seorang yang gagal mencalonkan diri sebagai walikota karena uangnya tidak sampai milyaran rupiah. “Saya hanya mempunyai ratusan juta saja,” tuturnya, dengan nada lirih dan raut muka yang tak bisa menyembunyikan kekecewaannya.
Pendaftaran calon walikota, bupati, dan gubernur yang berlangsung tanggal 8 sd 10 Januari lalu, ada puluhan orang yang gagal mencalonkan diri jadi walikota, bupati, dan gubernur gara-gara gagal menyiapkan mahar yang diminta oleh partai-partai politik pengusung.
Tetapi tidak semua partai politik meminta mahar. Ini bisa saja terjadi ketika partai-partai politik tertentu tidak punya kader yang punya elektabilitas (tingkat keterpilihan) tinggi untuk dimajukan sebagai calon, baik walikota, bupati, maupun gubernur. Ada calon yang bukan kadernya, tapi punya elektabilitas tinggi dan populer, biasanya malah dipinang oleh banyak partai. Calon yang seperti ini tidak akan mengeluarkan banyak uang dari kocek pribadi. Populer tidak serta-merta tingkat elektabilitasnya tinggi.
Yang menjadi persoalan adalah ketika seseorang yang merasa populis, sementara elektabilitasnya rendah, punya ambisi tak terbendung untuk menjadi calon pemimpin. Calon-calon seperti inilah yang biasanya jadi korban dari partai-partai pengusung. Yang berlaku adalah mahar dulu, dukungan belakangan. Ada lagi partai politik mengetrapkan sistem jaring, membuka pendaftaran kepada siapa saja, nanti akan diseleksi. Cara model begini tentu akan rawan karena “mahar” jadi permainan petak-umpet. Siapa yang besar maharnya, dialah yang akan dimenangkan.
Apa boleh buat, Undang-undang negara kita memberi amanah untuk melaksanakan demokrasi langsung ala Aristoteles (384 SM – 322 SM) yang hidup di masa Yunani Kuno. Dan untuk melaksanakan Pilkada Juni 2018 di 171 daerah (Kota, Kabupaten, dan Provinsi), anggaran yang disediakan oleh negara sebesar Rp 11,4 triliun. Sebuah anggaran yang tidak bisa dibilang kecil. Ini hanya untuk biaya pelaksanaannya saja. Tak terhitung berapa biaya yang dikeluarkan oleh para calon dan partai-partai politik pengusung.
Seorang pimpinan partai politik pernah mengatakan, bahwa untuk biaya minimalis calon gubernur sebesar Rp 300 miliar. Ini yang minimalis, dan belum tentu menang. Lalu, darimana dana sebesar itu? Jika partai-partai politik pengusung tidak punya dana, maka si calon harus cari sendiri. Jika Si calon tidak punya dana tapi punya potensi menang, umumnya para cukong mendekat. Si calon didanai oleh para cukong. Dan, tentu saja, tidak ada makan siang yang gratis. Nanti, jika sudah jadi, si cukong mulai minta ini dan itu untuk mengembalikan “investasi” yang telah ia tabur.
Kepada kaum muslimin, perlu merenungkan kembali makna dari ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sebuah jabatan. Beliau pernah memberi nasehat kepada Sahabat Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu:
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلُ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” (HR. Imam Bukhari: 7146-7147)
Pesan moral dari hadits tersebut adalah “Jangan berambisi untuk menjadi pemimpin, apalagi dengan berbagai daya dan upaya untuk meraihnya.” Tapi, jika dicalonkan atau dipilih atas kehendak masyarakat, maka terimalah sebagai sebuah amanah yang patut ditunaikan.
Ambisi menjadi seorang pemimpin mesti dihindari, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti umatnya, sebagaimana dinarasikan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR. Imam Bukhari: 7148)
Maka, sadarlah wahai orang-orang yang berambisi, karena ambisimu itu akan menuai penyesalan. Bukan hanya nanti di hari Kiamat, tapi jamak terjadi ketika sedang menjabat, bahkan sebelum mengikuti kompetisi yang belum tentu kemenangan berpihak kepadanya.
Herry M. Joesoef