Jamaah (calon) haji Indonesia secara berangsur telah diberangkatkan. Ibadah istimewa ini dapat dimanfaatkan oleh semua Tamu Allah sebagai sebuah kesempatan untuk berguru ke ‘Sekolah Haji’.
Bak madrasah atau sekolah, ibadah haji memang memberikan banyak pelajaran di balik berbagai ritual di dalamnya. Mari kita cermati aneka hikmah di balik ritual talbiyah, ihram, thawaf, sa’i, wukuf, dan melempar jumrah.
Talbiyah adalah serangkaian kalimat persaksian seorang hamba kepada Allah: Labbaika, Allahumma labbaik. Labbaika, laa syarika laka, labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka, wal mulka laka. Laa syarika lak. (Yaa Allah, inilah hamba datang, hamba datang -memenuhi panggilan-Mu-. Hamba datang, tiada sekutu bagi-Mu, hamba datang. Sesungguhnya segala puji dan nikmat hanyalah untuk-Mu dan segala kekuasaan hanya ada pada-Mu, tiada sekutu bagi-Mu).
Apa pesan talbiyah yang jika dibacakan dengan sepenuh penghayatan akan sangat menggetarkan kalbu itu?
Pertama, “Labbaika, Allahumma labbaik” adalah ungkapan kepatuhan seorang hamba dalam memenuhi panggilan Allah. Jika jamaah haji bersaksi bahwa kehadiran mereka di Tanah Suci adalah sebentuk ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, maka apakah sikap yang sama akan bisa mereka peragakan kelak sepulang nanti di Tanah Air? Misalnya, apakah mereka akan selalu taat kepada semua hukum Allah?
Kedua, “ laa syarika laka”. Ini adalah persaksian bahwa Allah itu Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Kelak sepulang di Tanah Air, akankah persaksian itu bisa mereka pertahankan yaitu tetap mengesakan Allah kapan dan di manapun? Bisakah mereka tidak menyekutukan Allah, dengan –misalnya- menuhankan jabatan atau kekuasaan? Atau, menuhankan uang?
Ketiga, “innal hamda” adalah ungkapan pujian bagi Allah. Bahwa yang pantas mendapat puja dan puji hanyalah Allah. Maka, kelak di Tanah Air, bisakah mereka tak akan melakukan pekerjaan apapun jika itu hanya bertujuan untuk mendapatkan puja dan puji dari publik?
Keempat, “wan ni’mata laka” adalah pernyataan bahwa segala kenikmatan berasal dari Allah. Maka -kelak di Tanah Air- bisakah di saat mereka ingin mendapatkan nikmat (dunia), mereka akan melakukannya dengan cara-cara yang telah ditentukan Allah? Misalnya, bisakah mereka untuk tidak korupsi?
Kelima, “wal mulka laka” adalah pernyataan bahwa pemilik kekuasaan sejati adalah Allah. Maka, kelak di Tanah Air, bisakah mereka menahan diri untuk tak mengejar kekuasaan dengan menghalalkan segala cara? Lalu, ketika kekuasaan benar-benar telah di dalam genggamannya, apakah mereka akan menjalankannya dengan sepenuh amanah? Sebab, bukankah semua kekuasaan itu harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah yang Maha Kuasa?
Keenam, talbiyah ditutup dengan mengulangi lagi kesaksian “Laa syarika lak”. Ini sebuah penegasan bahwa kita tak menyekutukan Allah. Maka, kelak di Tanah Air, bisakah mereka akan selalu dalam posisi seperti itu yaitu bahwa di setiap menghadapi situasi yang potensial membawa ke kesyirikan mereka akan tetap teguh memegang prinsip tauhid?
Sungguh, dengan selalu menghayati dan mengamalkan spirit talbiyah, ada tiga ‘penyakit ruhani’ yang tak akan pernah bisa singgah di diri kita. Tiga penyakit itu adalah suka dipuji (sebagai bagian dari sifat sombong), gemar mencari kenikmatan secara tidak sah (sebagai bagian dari sifat serakah), dan ingin berkuasa secara tidak halal (sebagai bagian dari sifat iri).
Sombong, serakah, dan iri adalah tiga dosa pertama yang dilakukan makhluq Allah. Lihatlah di saat iblis diminta bersujud kepada Adam a.s., ternyata iblis menolaknya lantaran dia merasa lebih terhormat dari Adam a.s.. Di saat itu iblis mendemonstrasikan sifat sombong.
Cermatilah di saat Adam a.s. di surga. Dia diperbolehkan menikmati apa saja yang ada di dalamnya, kecuali satu yang harus dijauhinya. Tapi, serakah membuat Adam a.s. melanggar aturan itu.
Perhatikanlah di saat syariat telah mengatur bagaimana seharusnya Qabil dan Habil mendapatkan ‘pasangan hidup’-nya masing-masing. Tapi, lantaran sifat iri dibunuhlah Habil oleh Qabil untuk mendapatkan wanita yang seharusnya menjadi hak si Habil.
Sekarang, kita bergeser ke ritual haji yang lain. Di saat kita menanggalkan pakaian berjahit –berihram- apakah kita bisa menangkap pesan bahwa untuk selanjutnya –sepulang nanti di Tanah Air- kita akan selalu menanggalkan pakaian kemaksiatan?
Sebaliknya, apakah kita akan selalu mengenakan ‘pakaian takwa’? Apakah kita akan senantiasa mengerjakan semua yang diperintah Allah dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya?
Kemudian, ketika kita sa’i, bisakah kita menangkap pesan bahwa –sepulang nanti di Tanah Air- kapanpun akan selalu ‘berlari’ menuju Allah di antara rasa cemas dan harap?
Lalu, ketika kita wukuf di Arafah, bisakah kita menangkap pesan bahwa –sepulang nanti di Tanah Air- kita memahami bahwa Allah itu mengetahui segala apa yang ada pada diri ini sekalipun kita telah berusaha menyembunyikannya?
Lalu, ketika kita melempar jumrah, apakah kita berniat pula untuk di masa-masa selanjutnya –sepulang nanti di Tanah Air- akan selalu memerangi setan?
Agen Kebaikan
Di musim haji tahun ini, setelah masing-masing melewati berbagai ‘perjuangan’, banyak di antara saudara Muslim kita yang telah dapat memenuhi seruan mulia ini: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka” (QS Al-Hajj [22]: 27-28).
Sejalan dengan itu, kita berharap agar keseluruhan jamaah (calon) haji itu dapat menyempurnakan ibadah mereka selama di Tanah Suci. “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah” (QS Al-Baqarah [2]: 196). Hanya dengan cara itulah ibadah haji akan menjadi mabrur.
Terakhir, duhai para jamaah (calon) haji, berangkatlah dan bergurulah kepada ‘Sekolah Haji’. Penuhilah perintah Allah untuk mengambil manfaat darinya. Kelak setelah pulang ke Tanah Air, aplikasikan semua pelajaran itu. Jadilah agen kebaikan yang bisa mewarnai lingkungan manapun yang Anda tinggali. Pendek kata, konsistenlah dalam beramar makruf nahi munkar! []
M. Anwar Djaelani