Lukmanul Hakim: Pemerintah Harus Siapkan Solusi Integral

by
Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim (kedua dari kiri) menjelaskan, pihaknya telah menyusun naskah akademik UU JPH dalam Badan Penyusunan Hukum Nasional (BPHN) sejak tahun 2005. Foto: Adi Prawira.

“Kami tidak ingin ujung-ujungnya Majelis Ulama dituntut. Kami dituduh memaksakan kehendak. (UU JPH) Ini produk DPR. Jangan sampai Undang-Undang ini menjadi alat bunuh massal UMKM,” tegas Direktur LPPOM MUI tersebut.

Wartapilihan.com, Jakarta — Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengatakan, tidak ada satupun negara yang mengatur Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) seperti di Indonesia. Namun, ada yang tersembunyi dalam Pasal 44 UU JPH No. 33 Tahun 2014 bahwa perusahaan yang besar harus memberikan subsidi besar terhadap biaya sertifikasi halal.

“Jadi, UMKM itu tidak boleh gratis dalam pasal tersebut. Artinya, Oktober 2019 semua produk yang beredar di masyarakat wajib bersertifikasi halal,” ujar Ikhsan dalam bedah buku ‘Mere(i)butkan Sertifikasi Halal di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (11/12).

Menurutnya, kewajiban sertifikasi halal pada 2019 yang dibebankan kepada UMKM, seharusnya mendapatkan atensi khusus dari pemerintah. Solusi yang paling tepat adalah negara memberikan subsidi kepada UMKM.

“Jadi tidak hanya mengatur, tapi juga negara wajib bertanggungjawab. Inilah bentuk riil perlindungan negara terhadap agama bangsanya. Nah, Indonesia saat ini sudah melindungi, tinggal memfasilitasi saja,” katanya.

Dalam kesempatan sama, Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim menjelaskan, pihaknya telah menyusun naskah akademik UU JPH dalam Badan Penyusunan Hukum Nasional (BPHN) sejak tahun 2005.

“Perjuangan Undang-Undang ini tidak gampang. Panjang sejarahnya. Kalau Majelis Ulama dituduh merebutkan atau meributkan, kami akan walk out saat penyusunan UU ini di DPR. Tidak ada maksud kami meributkan, namun konteksnya apa?,” tanya Lukmanul.

Menurutnya, implementasi UU No. 33 Tahun 2014 sulit dilakukan di Oktober 2019. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), ada 3,6 juta produk pada tahun 2017. Karena itu, ia tidak ingin MUI dijadikan kambing hitam atas kewajiban Sertifikat Halal.

“Kami tidak ingin ujung-ujungnya Majelis Ulama dituntut. Kami dituduh memaksakan kehendak. Ini produk DPR. Jangan sampai Undang-Undang ini menjadi alat bunuh massal UMKM,” tegasnya.

Sementara, negara harus membiayai Rp1.350.000 dikalikan 3,6 juta UMKM dan dibutuhkan 25.000 auditor yang tersertifikasi MUI pada Oktober 2019 mendatang.

“Saya tidak ingin pemerintah dianggap melanggar Undang-Undang. LPPOM MUI baru melaporkan 30.000 UMKM yang tersertifikasi. Sementara ada kelompok hoaks mengatakan LPPOM MUI tidak bekerja. Padahal, sertifikasi ini bersifat voluntary dan kami tidak dapat memaksakan,” ujarnya.

Berdasarkan temuannya, banyak UMKM tidak mampu membiayai Sertifikat Halal. Sehingga, hadirnya pemerintah melalui BPJPH harus menjadi solusi secara integral atas pembiayaan sertifikasi halal. Lukmanul memertanyakan apakah UU 33/2014 dimaksudkan untuk melindungi konsumen atau untuk menambah pendapatan negara.

“Ini yang menjadi perdebatan kami beberapa waktu lalu dengan Pak Wapres di bulan Ramadhan. Artinya, jika pemerintah tidak mampu menjawab, maka UU ini yang ditujukan untuk melindungi konsumen tetapi justru untuk menambah pendapatan negara bukan pajak (PNBP),” tandasnya.

Sementara, Ketua Komunitas Konsumen Indonesia David Tobing mengingatkan agar pemerintah dapat mematuhi peraturan yang ada. Sebab, jika tidak, masyarakat dapat menggugat pemerintah.

“Aturan itu harus lebih baik ke depannya baik untuk konsumen maupun lembaga yang menjalankan fungsi-fungsinya,” ujarnya.

Tobing menjelaskan, konsumen berhak mendapatkan informasi pangan yang halal dan jujur. Hal itu sesuai dengan amanat UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 yang mewajibkan produsen memproses produk secara halal.

“Dari sisi sanksi, memang harus ditindaklanjuti. Jangan hanya menarik dari peredaran konsumsi atau administratif. Jika belum ada sanksi di UU JPH, maka dapat mengacu pada UU Perlindungan Konsumen dengan sanksi pidana dua tahun,” ujarnya.

Ketua GAPNI Rahmat Hidayat menambahkan, aturan yang dibuat dan disepakati bersama harus mampu diimplentasikan baik oleh pemerintah maupun produsen. “Nah, Undang-Undang Halal lebih normatif lagi menyatakan tidak boleh ada produk dengan titik kritis rendah tanpa Sertifikat Halal,” katanya.

Karenanya, negara tidak boleh menghindar dengan cara subsidi silang. Di saat yang sama, ketakutan para pengusaha terhadap kewajiban Sertifikat Halal akan hilang. “Tanggungjawab pemerintah sangat berat terhadap implementasi Undang-Undang (JPH) ini,” pungkasnya. Demikian seperti dilansir laman resmi LPPOM MUI.

Adi Prawira

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *