Kriteria Pemimpin

by
Foto: Dok. Pribadi

Oleh: Herry M. Joesoef

Sebagai petunjuk jalan, ajaran Islam punya konsep yang jelas tentang kepemimpinan. Amanah kepemimpinan tidak bisa diberikan begitu saja kepada sembarang orang. Ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi oleh seorang calon pemimpin.

Wartapilihan.com, Jakarta –Ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam hal kepemimpinan ini. Di antaranya adalah berilmu, berfisik kuat, jujur, mendidik rakyatnya, dan tidak berambisi untuk mendapatkan jabatan.

a. Berilmu dan Fisik yang Kuat

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا ۚ قَالُوا أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ ۚ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ ۖ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa”. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 247)

Terjadi dialog antara Nabi mereka dengan umatnya. Umat meminta agar Nabi mereka berdoa agar Allah menurunkan seorang pemimpin untuk ditaati. Doa Nabi mereka dikabulkan dengan dikirimnya Thalut untuk menjadi raja. Sesungguhnya Allah lebih mengetahui tentang Thalut daripada kalian.

Keputusan Allah mengirim Thalut, selain karena ini sudah takdir dari-Nya, Thalut lebih berilmu, lebih cerdik, lebih banyak akalnya dari kebanyakan mereka, lebih kuat, serta lebih teguh dan berpengalaman dalam peperangan.

Thalut memiliki kekuatan dan kesempurnaan fisik daripada umatnya. Ayat ini memberi pelajaran pada kita bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki ilmu, cakap, kuat, dan kesempurnaan fisik serta jiwanya.

Kriteria Pemimpin

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (QS. Yusuf: 55)

Setelah Raja Mesir mendapat informasi bahwa Yusuf Alaihi Salam adalah seorang pemuda yang bersih tanpa cela, ia menyuruh para pembantunya untuk membawa Yusuf ke hadapannya. Setelah Yusuf dihadapkan dan berdialog dengannya, sampailah Raja pada kesimpulan, “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya di sisi kami.” Maka Yusuf pun meresponnya dengan ayat 55 surah Yusuf tersebut.

 

Dalam kaitan itu, Yusuf menyebut dirinya sebagai hafiizh (penyimpan yang dapat dipercaya) dan ‘aliim (memliki pengetahuan).

Atas dasar ayat diatas, para ulama membolehkan seorang yang shaleh menduduki jabatan pemerintahan, dengan syarat ia memang berkompeten dan dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, khususnya umat Muslim. Dalam tafsirnya Imam Qurthubi berkata, “Dalam ayat ini dalil boleh seorang yang memiliki keutamaan untuk bekerja pada orang faajir (jahat), dan penguasa kafir, dengan syarat ia mengetahui bahwa mereka akan memberinya kebebasan dalam menjalankan tugas yang tidak bertentangan dengan agama, dan dapat memberikan kemaslahatan sesuai yang dikehendaki-Nya. Adapun jika pekerjaannya tergantung keputusan orang faajir tersebut dan syahwat kejahatannya, maka tidak diperbolehkan bekerja padanya.”

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hal itu khusus untuk Yusuf, sekarang tidak diperbolehkan lagi. Jika mengikuti kompetensi yang dimiliki Nabi Yusuf Alaihis Salam dan tidak bertentangan dengan agama, maka apa yang dilakukan oleh beliau semestinya bisa diikuti oleh generasi-generasi berikutnya, sepanjang zaman. Tapi, tentu saja, sepanjang syarat yang dimiliki oleh Nabi Yusuf Alaihis Salam terpenuhi.

Banyak orang salah tafsir atas ayat tersebut, disangkanya Yusuf Alaihi Salam punya ambisi dan karena itu dia meminta jabatan. “Nabi Yusuf Alaihis Salam tidak pernah meminta-minta jabatan,” tutur KH. Dr. Muslih Abdul Karim, MA, pengasuh Pondok Pesantren Baitul Qur’an, Depok Jawa Barat, itu.

Menurutnya, Nabi Yusuf itu didatangkan, diajak dialog, lalu diberi peran di Kerajaan Mesir. Karena beliau punya kompetensi di bidang ekonomi, beliau mengajukan diri jika diberi jabatan maka jabatan tersebut sesuai dengan komptensinya. “Lalu beliau mengusulkan untuk jadi Menko Perekonomian,” simpul Ustad Muslih.

Dengan demikian, maka kasus Nabi Yusuf Alaihis Salam tidak bisa disamakan dengan orang-orang yang berambisi untuk suatu jabatan. Kasusnya beda, Nabi Yusuf Alaihis Salam itu diminta, lalu dia mengusulkan sesuai dengan kompetensinya.

 

c. Perhatian Pada Umat

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.(QS. At-Taubah: 128)

Seorang pemimpin akan membawa rakyat menuju kebaikan dan kebenaran dengan memberikan nasihat, memerintahkan perbuatan yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, dan menegakkan hukum hudud jika terjadi pelanggaran berat. Hal tersebut sesuai dengan firman-Nya:

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar. Dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (QS. Al-Hajj: 41)

 

Coba kita perhatikan kandungan makna ayat tersebut. Mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf,

mencegah perbuatan munkar, dikembalikan segala urusan kepada Allah. Itulah profil masyarakat Islami, antara pemimpin dan masyarakatnya berpadu dalam menegakkan nilai-nilai Ilahiyah.

Dengan profil masyarakat seperti itulah maka hubungan antara rakyat dengan pemimpin terasa harmonis. Pemimpinnya memberi teladan kepada rakyatnya, membimbing mereka untuk mentaati ajaran Ilahiyah. Ketika nilai-nilai Ilahiyah ditegakkan di tengah-tengah masyarakat, maka Allah pun akan menurunkan keberkahan kepada masyarakat dan daerah/negara tersebut.

 

d. Mencintai dan Dicintai Rakyat

Sebaik-baik dan Seburuk-buruk Pemimpin, disinilah titik-pangkalnya. ‘Auf bin Malik Radhiyallahu ‘anhu menarasikan:

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيل

Sebaik-baik pemimpin adalah orang-orang yang engkau cintai dan mereka pun mencintaimu; engkau mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untuk engkau.
Adapun seburuk-buruk pemimpin di antara kamu ialah orang-orang yang kamu membenci mereka dan mereka pun membencimu, juga yang engkau semua melaknat mereka dan mereka pun melaknat engkau semua. (HR. Muslim)

Mencintai dan dicintai rakyat. Betapa harmonisnya hubungan pemimpin dengan rakyatnya. Begitulah kepemimpinan Islami, saling mencintai dan saling mendoakan berdasarkan tauhid. Jika seorang pemimpin menyatu dan dengan rakyatnya, ia akan mudah menangkap apa saja kebutuhan rakyatnya. Dengan begitu maka ia akan mudah membuat dan memutuskan kebijakan yang tepat guna dan tepat sasaran. Lagi pula, seorang pemimpin yang dekat dengan rakyatnya tidak akan mendapatkan informasi yang bias, yang jamak dilakukan oleh para pembantu yang culas. Dengan dekat pada rakyat, seorang pemimpin dapat informasi dari tangan pertama, tidak ada sensor, tidak ada distorsi informasi. Akurat. Atas dasar informasi yang akurat itu keputusan yang diambil menjadi tepat sasaran dan tepat guna.

Dan doa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berikut ini selalu abadi sepanjang zaman:

اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ هَذِهِ أُمَّتِي شَيْئاً فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ. وَمَنْ شَقَّ عَلَيْهَا فَاشْفُقْ عَلَيْهِ. رواه مسلم.

Ya Allah, siapa saja yang memimpin/mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia.
(HR. Muslim)

Pemimpin dan rakyat disatukan dalam barisan jamaah masjid. Pemimpin yang menjadi pemakmur masjid tentu saja akan selalu berada di tengah-tengah rakyat yang dipimpinnya, lima waktu dalam sehari bertemu-muka sebagai jamaah masjid. Wajah-wajah rakyat selalu dikenang dan dihapal oleh pemimpinnya. Jika ada satu jamaah yang biasanya aktif lalu tidak kelihatan ikut berjamaah, sang pemimpin selalu menanyakan kabar mereka. Jika si Fulan sakit, dijenguk, didoakan dan diberi obat; jika si Fulan mengalami masalah ekonomi, ia dibantu agar bisa mandiri dan produktif; jika si Fulan mengalami masalah lainnya, ia dibantu dengan cara dicarikan jalan keluarnya.

Begitulah teladan yang diberikan oleh Nabi Muhammad Salallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan empat khalifah sesudahnya. Harmonisasi antara pemimpin dengan rakyatnya, saling mencintai dan saling mendoakan akan berbuah keberkahan di negeri atau wilayah yang mereka huni.

 

e. Tidak Memburu Jabatan

Ini hal yang prinsip dalam Islam, tidak memburu jabatan. Sebaliknya, dengan jabatan yang ada dia memaksimalkan perannya dan mendapat bantuan dari Allah melalui orang-orang yang juga amanah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ

Abu Said (Abdurrahman) bin samurah Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Ya abdurrahman bin samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa minta, kau akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu. (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)

 

Pesan moral dari hadits tersebut memberi pelajaran pada kita bahwa jabatan itu tidak perlu dikejar dan diburu. Jika kita mengejar dan memburu jabatan tersebut, maka Allah tidak akan membantu kita. Sebaliknya, jika kita tidak berambisi, maka Allah akan membantu untuk meringankan beban amanah tersebut.

 

Coba renungkan, berapa banyak orang yang berburu jabatan, dengan melakukan berbagai cara, yang haram pun diterjang. Akibatnya, banyak memakan korban, baik korban fisik maupun perasaan orang-orang, dengan cara melukai hati mereka. Dengan cara melukai hati dan fisik banyak orang tersebut, tentu saja Allah jadi murka, karena itu perbuatan maksiat yang mesti dijauhi. Ketika Allah murka, maka orang yang berambisi tersebut tidak diberi petunjuk sebagaimana orang-orang Mukmin.

 

Maka, semakin jadilah kesesatan orang-orang yang berambisi tersebut. Lebih sesat lagi, untuk melaksanakan ambisinya itu, bukan Allah yang ia mintai tolong, tapi makhluk selain Allah. Jadilah ia musyrik yang pelakunya tidak mendapat pengampunan dari Allah.

 

Betapa banyak calon pemimpin yang ber-KTP Islam, tapi, begitu mencalonkan diri untuk suatu jabatan, berbagai cara dilakukan, menyuap sana-sini, mendatangi para dukun, dan seterusnya. Keberkahan akan menjauh ketika suatu jabatan dipegang oleh mereka para pelaku kemusyrikan.

 

Inilah bahayanya orang-orang yang berambisi tersebut, karena pada akhirnya dia akan menghalalkan segala cara, yang membuat Allah murka. Kalau sudah begini, maka jauhlah ia dari pertolongan Allah. Semakin dalam kesesatan itu, semakin jauh dari Allah. Jangan berharap pemimpin seperti ini akan memperhatikan nasib umat yang menjadi penduduk terbesar di bumi Nusantara ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *