Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Jika di kubu oposisi Prabowo dianggap sebagai faktor buntutnya koalisi, maka di kubu Jokowi, rebutan posisi cawapres jadi problemnya. Masing-masing partai berebut jatah cawapres. Kenapa? Karena, jika Jokowi menang, wapres akan berpeluang jadi capres lima tahun mendatang.
Wartapilihan.com, Jakarta –Di pilpres 2024. Selama kurun waktu lima tahun, wapres bisa mempersiapkan diri. Ada fasilitas branding. Popularitas pasti tinggi. Tinggal naikin elektabilitas dengan program-program pemerintah. Tak perlu keluar duit untuk naikkan citra.
Apalagi jika Jokowi jatuh di tengah jalan. Maka, wapres jadi presiden. Otomatis. Itu perintah undang-undang. Strategis bukan?
Jokowi jatuh? Asumsi kejatuhan itu bisa saja terjadi. Jika dolar terus naik dan ekonomi berantakan, siapapun presidennya bisa jatuh. Ini sekedar berandai-andai. Apa yang terjadi besok, tak ada yang tahu. Itupun kalau Jokowi jadi nyapres dan menang. Boleh jadi Jokowi gak jadi nyapres. Kok bisa?
Jika PDIP dan Golkar kecewa? Gak dapat jatah cawapres, lalu hengkang dari koalisi? Bisa saja terjadi. Masih ada PKB, PPP, Hanura dan Nasdem. PKB terlalu lincah untuk dipegang komitmennya. PPP, masih bisa lirik yang lain. Dua partai sisanya sedang berat-beratnya menghadapi pileg 2019. Mesin partai gak bisa diandalkan dari kedua partai ini. Kecuali mesin media yang dimiliki Nasdem.
Sebelum pilpres 2019 digelar, Jokowi harus menghadapi tekanan dari hampir semua partai pengusung. Masing-masing menyiapkan cawapres. PDIP nawarkan Puan Maharani. Golkar mengajukan Airlangga Hartarto. Mulai ada ancaman jika Airlangga gak diambil jadi cawapres. Oleh siapa, kepada siapa, dan apa ancamannya? Masih opini. PPP pasang nama Romahurmuziy. PKB lincah bermanuver dengan sodorkan nama Muhaimin (Cak Imin). Meski PKB kelihatan mulai melunak. Tapi, belum tentu juga. Kelincahan Cak Imin untuk menciptakan langkah out of the box punya sejarahnya sendiri. Roma Irama dan Mahfilud MD lebih tahu soal ini
Jokowi mau ambil cawapres yang mana? Posisinya seperti buah simalakama. Ambil yang ini, partai ono marah. Bisa keluar dari koalisi. Ambil yang ono, partai ini teriak. Bingung juga. Ah, mosok Jokowi bingung? Jangan bantah.
Ini salah satu indikator yang buat Jokowi bingung. Saat ini Perindo ajukan yudisial review ke MK agar Jusuf Kalla (JK) bisa jadi cawapres kembali, dampingi Jokowi. Kabarnya, sosok JK akan jadi titik temu kesepakan parpol koalisi. Tapi, PDIP, Nasdem, Hanura dan PPP mendadak protes. Kenapa? Mereka tak ingin jatah cawapres diambil JK. Enak aja, gue yang punya partai, lu yang nikmati. Kira-kira begitu logikanya.
Kabar bahwa JK dianggap faktor pemersatu ternyata rumor. Seandainya benar, situasi politiknya sudah mulai berubah. Sejumlah partai koalisi istana tak legowo jika JK yang diambil jadi cawapres Jokowi.
Ini menunjukkan mulai ada dinamika menarik di istana. Konflik kepentingan untuk ambil jatah cawapres kelihatannya makin menguat. Ego partai mulai muncul jelang pendaftaran makin dekat waktunya. Jika Jokowi salah ambil, bisa jadi petaka. Tak hanya berkurang jumlah dukungan parpol, tapi boleh jadi malah tidak dapat tiket. Begitulah prediksi Fahri Hamzah. Apalagi jika kubu sebrang, pihak koalisi oposisi, mampu menampilkan capres yang potensial bisa kalahkan Jokowi. Kemungkinan akan terjadi hijrah dukungan besar-besaran.
Saat ini ada sejumlah tokoh kubu oposisi yang dianggap nyebrang ke kubu Jokowi, seperti Tuan Guru Bajang (TGB), Ali Muchtar Ngabalin dan Kapitra. Karena muncul asumsi, kubu oposisi kisruh dan makin melemah. Tapi, jika kubu oposisi nanti menguat dengan berhasil menghadirkan capres yang potensial, tak menutup kemungkinan akan terjadi hal sebaliknya. Tidak hanya tokoh yang hijrah dari kubu Jokowi ke oposisi, tapi juga parpol yang semula pendukung istana, akan balik badan.
Bagaimana nasib TGB, Ali Muchtar Ngabalin dan Kapitra? Mereka punya hak menentukan ijtihad dan nasib politiknya sendiri, tanpa anda harus ganggu dan ikut campur. Anda bsa kena delik Pelanggaran HAM.
Suasana politik istana jelang pendaftaran diprediksi akan makin kisruh jika Jokowi tak berhasil memuaskan semua partai pendukungnya.
Ada dua faktor yang potensial jadi penyebab makin kisruhnya istana. Pertama, jika bakal cawapres pilihan Jokowi mengecewakan parpol pendukung. Kedua, kuatnya bakal calon lawan Jokowi di pilpres 2019.
Siapa tokoh yang dianggap sebagai lawan kuat Jokowi di pilpres 2019. Berbasis pada survei, hanya Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo. Elektabilitasnya paling dinamis. Kalau salah satu tokoh ini dapat tiket lawan Jokowi, istana hampir dipastikan makin kisruh.